"Ikut nulis kompetisi blog hanya di Kompasiana dan sepertinya selalu gagal," kataku sambal tertawa miris.
"Berangkatlah! Aku percaya padamu. Aku mencintaimu".
"Eh. Jangan lupa kalau  kepepet,  pakai  sarung ya," kata istriku.
Akupun tergelak. Apapun istriku selalu pandai membuat  joke untuk mencairkan suasana. Kepercayaan dan kejujuran baginya harga mati.
Terbanglah aku ke Yogyakarta. Walau agak sedikit takut karena Sang Merapi sedang menunjukkan keindahannya. Keindahan alam yang alamiah. Yang bermanfaat bagi manusia juga pada akhirnya mulai dari pasir serta untuk kembali meregenerasi tanah-tanah di kawasan Merapi agar kembali subur.
Setiba di Yogyakarta, akupun langsung ke hotel. Sebuah kota yang memiliki kenangan yang indah. Sebuah kota yang hampir saja menjadi tempat kuliah istriku, yang dulu bercita-cita kuliah di Jurusan Kehutanan UGM.
Tiba-tiba garis tangan berkata lain. Istriku kuliah di jurusan yang kini membawanya ke jenjang tertinggi pendidikan. Sudahlah itu, perjalanan hidup yang tak bisa kita lawan.
Di hotel, aku  check  in.  Dan sebelum diantar ke kamar. Oleh petugas hotel aku diminta menemui seseorang yang disebutkan yang membayari tiket pesawat dan juga hotel yang kutempati.
Jantungku  deg-degan tak karuan. Dengkulku goyang. Seorang perempuan terlihat duduk menghadap kolam renang, bertopi dengan rambut tergerai sebahu. Berbaju biru muda.
Jelang detik terakhir, aku hampir balik kanan. Tetapi hati kecilku berkata, "temuilah untuk membuka tabir rahasia perjalanan ini".
"Selamat sore," kataku dengan suara serak.