Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru Bermistar Satu Meter

17 Maret 2018   09:21 Diperbarui: 17 Maret 2018   18:45 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: www.notonthehighstreet.com

Dulu waktu SD kami paling takut dengan guru. Dari jauh kalau ada guru lewat biasanya kami menyingkir. Ada guru lewat kami berhenti dan memberi salam. Sungguh, dulu guru bagi kami adalah orang yang sangat dihormati sekaligus ditakuti.

Duduk di kelas dengan tangan di atas meja. Semua rapi. Duduk di kelas dengan sikap hormat setiap kali guru masuk ke dalam kelas. Berdoa sebelum memulai pelajaran.

Membaca, berhitung mulai dari menambah mengurang, mengali dan membagi dipelajari mulai dari kelas satu sampai kelas tiga. Di kelas satu, bagi yang tak bisa membaca di kelas satu, ini budi, ini ibu budi, ini bapak budi  ya  harus berdiri di depan kelas sampai sekitar 40 siswa menyelesaikan membaca satu satu, satu halaman mata pelajaran.

Kalau berdiri depan kelas malunya minta ampun. Aku sendiri pernah mengalami bersama sekitar 20 siswa lainnya. Salah seorang teman yang tinggal di dekat rumah melaporkan kalau aku berdiri di depan kelas tidak bisa membaca.

Tahukah hukumannya adalah aku kena jewer di kuping dan di paha. Kuping panas memerah dan pahaku membiru.

Usai Maghrib aku pun di  drill  untuk dapat membaca tanpa mengeja lagi. Pokoknya harus baca lancar jaya. Tidak lagi pakai eja mengeja perkata.

Pagi dibangunkan pukul 04.00 kemudian mandi pagi air sumur yang dinginnya brrrrrreeerrrr. Belajar lagi dan kemudian baru ke sekolah. Ini dilakukan seminggu berturut.

Apakah itu penyiksaan? Tidak  tuh bagiku. Karena kalau tidak begitu aku tidak akan bisa baca tulis. Sedih ia. Tetapi orangtuaku bilang, "kalau kau mau bisa apapun maka kau harus belajar keras".

Bu R yang aku ingat,  he he he  di kelas dua. Dengan mistar kayu sepanjang satu meter setiap hari Senin dia akan berdiri di depan kelas dan akan memeriksa satu persatu kuku-kuku siswa. Bagi yang lupa potong kuku terima nasib kena pukul  tuh telapak tangan.

Demikian pula dengan hitung kali-kalian. Bu R akan dengan tegas sebelumnya untuk memberikan tugas kepada siswa-siswanya kalau besok akan ada hapalan kalian. Jadi jangan harap akan lolos bagi yang tak hapal. Satu-satu siswa akan dipilih secara acak bukan berdasarkan absen untuk maju ke depan.

Bagi yang lolos akan tersenyum. Bagi yang gagal kita disuruh memilih untuk tegak sampai seluruh siswa selesai atau duduk dengan merelakan paha ditablek satu kali dengan mistar satu meter. Aku milih tegak sampai bel pulang sekolah dipukul karena siswa terakhir yang maju ke depan kelas untuk hapalan kalian persis menjelang bel terakhir.

Penyiksaan. Tidak juga, buktinya semua teman-teman bisa menghapal kali-kalian satu sampai sepuluh.

Aku tak habis pikir bagaimana kalau anak-anak zaman  now  itu diajar guru-guru zaman  old.  Mungkin guru dan murid akan tawuran. Guru dianggap melanggar hak asasi murid.

Guru bagi kami dulu adalah orangtua. Aku diajarkan oleh orangtua untuk menghormatiku guru. Tidak ada guru yang akan menjerumuskan siswanya, demikian petuah yang didapat dari orangtuaku.

Dengan pengalaman seperti itu maka ketiga anakku, aku  drill  untuk dapat membaca sebelum masuk taman kanak-kanak dan juga berhitung mulai dari tambah, kurang, kali dan bagi. Akhirnya rata-rata mereka masuk TK sudah bisa baca, tambah, kurang dan untuk hapalan perkalian kelas 2 SD sudah hapal semua dan pembagian pun sudah bisa dengan mencorat-coret terlebih dulu.

Seiring dengan perbaikan ekonomi keluarga mereka akhirnya dikursuskan oleh ibunya, Bahasa Inggris dan les matematika K. Ibunya bilang biar mereka punya salah satu pisau untuk hidup. Istriku dulu waktu kuliah ngajar privat Bahasa Inggris yang bisa beli emas dan dijual ketika kepepet waktu melanjutkan kuliah.

Kembali ke diriku sewaktu di SMP malah dihukum jemur satu kelas di lapangan sekolah karena begedang di meja dan bernyanyi ketika mata pelajaran kosong. Sungguh kami dulu satu kelas bandel.

Tidak ada satupun seingat penulis yang marah ataupun dendam dengan guru-guru yang memberikan hukuman tersebut. Justru seingat penulis waktu dihukum jemur kami semua tertunduk malu dilihatin oleh teman-teman dari kelas lain. Kami semua menerima kesalahan kami bergendang dengan meja dan bernyanyi ketika mata pelajaran kosong.

Jangan salah  loh guru-guru itu pada dasarnya orang yang baik.  He he he.  Aku yang kelas tiga SMP berbadan kurus karena sakit, harus membawa susu seliter plus roti dan makanan lainnya malah oleh guru-guru diberi waktu untuk keluar lima menit untuk minum dan makan kalau tubuhku lagi membutuhkan di luar jam istirahat sekolah.

Proses penyembuhan itu sampai aku SMA dan guru-guru juga memberikan kesempatan yang sama padaku untuk makan dan minum ketika tubuhku membutuhkan. Sebuah pengalaman yang indah.

Begitupun dengan istriku sewaktu SD ternyata pernah dihukum pula keluar dari kelas karena tidak pakai sepatu warna hitam dan berkuku panjang. Di SMA malah pernah di usir dari kelas karena bersin-bersin dan terlambat datang ke sekolah.

Bagi yang sekolah setingkat SMA di jalan yang bernama burung di Palembang tentu ingat dengan guru berinisial S di eras 80-an. Guru ini mengajar matematika. Muridnya akan menjadi wayang di depan kelas kalau tidak dapat menyelesaikan soal matematika di papan tulis. Mereka akan terselamatkan alias duduk kembali kalau ada siswa yang bisa menyelesaikan soal matematika.

Guru tersebut sangat dihormati. Pasalnya murid-murid yang tak ingin menjadi wayang akan belajar. Bersyukurnya, murid yang jago matematika mau mengajarkan pada murid-murid yang nggak bisa menyelesaikan soal matematika.

Lah, kalau sekarang ada guru yang ditantang berkelahi oleh muridnya. Ada guru yang dipukul oleh muridnya. Bahkan ada guru yang sampai tewas dipukul oleh muridnya.

Aku jadi bingung. Apa yang sebenarnya terjadi pada anak-anak alias siswa-siswa ini. Apa yang mereka lihat pada sosok seorang guru?

Demikian pula dengan orangtua siswa. Aku juga tak habis mengerti kenapa sampai ada orang tua murid yang memukuli gurunya.

Apakah ini bentuk arogansi hak-hak? Ataukah ini bentuk arogansi siapakah aku? Entah aku tak tahu.

Aku tidak mengerti teori pendidikan, tetapi satu hal adalah pendidikan tidak hanya didapat dari sekolah tetapi juga dari keluarga dan lingkungan. Keluargaku sangat menghormati guru, kebetulan tetanggaku dulu ada yang guru. Setiap sore ketika main  ambulan  di lapangan kampung ketika bertemu dengan si guru aku selalu mencium tangannya. Padahal  tu  guru pernah menablekkan mistar kayu sepanjang satu meter ke telapak tanganku karena kuku hitam habis main tanah.

Anakku yang sulung mungkin mendapat DNA keterusterangan dari bapak dan ibunya. Akibatnya  ya  itu si sulung sering mendapat teguran karena pernah menegur gurunya yang salah hitung.

Buku komunikasi guru dan orangtua murid milik si sulung penuh laporan gurunya. Mulai dari si sulung yang selalu berjalan ketika sudah menyelesaikan pekerjaannya hingga lebih senang duduk di belakang ketika sudah menyelesaikan ujiannya. Atau ketika si sulung hampir berkelahi dengan temannya, dengan tubuhnya yang di atas rata-rata tentu bakal bahaya bagi lawannya kalau dia ngamuk.

Semua laporan itu kami tanggapi dengan kepala dingin dan selalu kami diskusikan sebelum kesimpulannya disampaikan pada sulung agar mematuhi aturan sekolah dan menghormati gurunya. Bila merasa dirugikan bisa melapor ke wali kelas atau guru BP.

Istriku yang menjadi ibu sekaligus bapak kalau aku tak ada terkadang jengkel dengan tingkah polah si sulung. Kalau pertelepon kami selalu mengingatkan satu sama lain.  Woiii.  Jangan lupa itu kamu atau aku. Wak wak wak.

Jadi ingat ketika istriku waktu kecil mengejar tetangganya yang lelaki dengan bilah bambu karena merusak layangannya.

Jadi ingat ketika aku harus berlari sendirian di lapangan voli sekolah sebanyak tiga putaran karena lupa membawa kaos olahraga.

Masih adakah orangtua yang akan memukul guru kalau guru anak kita tersebut berusaha mendisiplinkan anak kita atau muridnya? Masih adakah murid yang sok jago melawan gurunya?  Ahh.  Semoga tulisan sederhana ini mampu membuka lembaran sejarah orangtua murid ketika sekolah dulu. Sekolah itu penuh kenangan jangan malah dibuat yang tak menyenangkan. Setiap sekolah itu punya cerita.

Kalau sudah begitu aku akan tersenyum mengingat waktu SD, Bu R berdiri di depan kelas dengan mistar kayu sepanjang satu meter yang kini mungkin sudah sulit dicari. Aku pun akan tertawa  ngakak  sewaktu SMA kelas satu, kami yang lelaki harus berlari dari lantai bawah ke lantai tiga karena guru akan datang ke kelas kami. Kami waktu itu menang main bola kaki lawan kelas lain mulai dari kelas satu, dua dan tiga. Mainnya ada  isi  dan uang itu lalu kami tempel di seluruh jendela dan pintu kelas. Uang itu harus kami selamatkan karena seluruh kelas berjuang menang main bola kaki.

Salam Kompasiana

Salam Kompal

KOMPAL
KOMPAL

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun