Guru tersebut sangat dihormati. Pasalnya murid-murid yang tak ingin menjadi wayang akan belajar. Bersyukurnya, murid yang jago matematika mau mengajarkan pada murid-murid yang nggak bisa menyelesaikan soal matematika.
Lah, kalau sekarang ada guru yang ditantang berkelahi oleh muridnya. Ada guru yang dipukul oleh muridnya. Bahkan ada guru yang sampai tewas dipukul oleh muridnya.
Aku jadi bingung. Apa yang sebenarnya terjadi pada anak-anak alias siswa-siswa ini. Apa yang mereka lihat pada sosok seorang guru?
Demikian pula dengan orangtua siswa. Aku juga tak habis mengerti kenapa sampai ada orang tua murid yang memukuli gurunya.
Apakah ini bentuk arogansi hak-hak? Ataukah ini bentuk arogansi siapakah aku? Entah aku tak tahu.
Aku tidak mengerti teori pendidikan, tetapi satu hal adalah pendidikan tidak hanya didapat dari sekolah tetapi juga dari keluarga dan lingkungan. Keluargaku sangat menghormati guru, kebetulan tetanggaku dulu ada yang guru. Setiap sore ketika main  ambulan di lapangan kampung ketika bertemu dengan si guru aku selalu mencium tangannya. Padahal  tu guru pernah menablekkan mistar kayu sepanjang satu meter ke telapak tanganku karena kuku hitam habis main tanah.
Anakku yang sulung mungkin mendapat DNA keterusterangan dari bapak dan ibunya. Akibatnya  ya itu si sulung sering mendapat teguran karena pernah menegur gurunya yang salah hitung.
Buku komunikasi guru dan orangtua murid milik si sulung penuh laporan gurunya. Mulai dari si sulung yang selalu berjalan ketika sudah menyelesaikan pekerjaannya hingga lebih senang duduk di belakang ketika sudah menyelesaikan ujiannya. Atau ketika si sulung hampir berkelahi dengan temannya, dengan tubuhnya yang di atas rata-rata tentu bakal bahaya bagi lawannya kalau dia ngamuk.
Semua laporan itu kami tanggapi dengan kepala dingin dan selalu kami diskusikan sebelum kesimpulannya disampaikan pada sulung agar mematuhi aturan sekolah dan menghormati gurunya. Bila merasa dirugikan bisa melapor ke wali kelas atau guru BP.
Istriku yang menjadi ibu sekaligus bapak kalau aku tak ada terkadang jengkel dengan tingkah polah si sulung. Kalau pertelepon kami selalu mengingatkan satu sama lain. Â Woiii. Â Jangan lupa itu kamu atau aku. Wak wak wak.
Jadi ingat ketika istriku waktu kecil mengejar tetangganya yang lelaki dengan bilah bambu karena merusak layangannya.