"Tulisan apa?" tanya Prameshwari setelah keluar dari kelenteng.
"Akh... Â mau tau aja."
"Awas  ya nanti kubalas," kata Prameshwari sambil menunjukkan muka cemberut.
Pulang ke Tanjung Bunga hari beranjak sore dan mendung menggelayut di langit. Â Kata pepatah mendung tak selalu berarti akan turun hujan. Â Tapi ini justru hujan deras. Jaket denim yang kupakai akhirnya aku berikan pada Mesh. Karton yang dibeli tadi ternyata sudah dibungkus plastik demikian pula dengan peralatan tulis lainnya. Mesh menolak ketika kutawari untuk berteduh.
"Lebih baik langsung pulang karena hari sudah mulai gelap," katanya.
Aku tak mau memacu motor karena pasti akan membuat Mesh kedinginan. Tiba-tiba ada beban yang rebah ke punggungku. Tubuh itu begitu lembut seperti lagu Teresa Tang tadi. Aku tak berani membayangkan muka dan tubuhnya yang tertimpa titik hujan.
Kedua tangannya didekapkan ke dadaku.
"Apakah dadamu cukup hangat didekap tanganku?" bisiknya di telingaku.
Aku kelu.
Hangat? Salah! Wow... Â panas malah, yang menjalar memenuhi rongga dadaku, tembus ke hati dan jiwaku.
Motor berhenti di halaman Posko. Sewaktu turun, Mesh terlihat menahan dingin dengan mengatupkan gerahamnya.