Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Al Severe

13 Februari 2018   06:31 Diperbarui: 13 Februari 2018   07:50 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hantaman Ombak di Pantai Pasir Padi I Foto Dokumentasi Pribadi

Pagi ini sulit sekali aku membuka mata, baru tertidur dini hari.  Namun, kuping tak mampu berkompromi dengan lagu dangdut menggelegar yang disetel oleh Santi, penjaga warung makan di depan kamar kos.

Kalau  hatiku  sedang  rindu

Pada  siapa  ku  mengadu

Kalau  hati  bertanya  selalu

Berlinanglah  airmataku

Akan  kucari  walau  ke  mana

Kini aku  berkelana, ke  ujung  dunia  akan  kucari *)

Masih sarungan aku membuka jendela dan melongokkan kepala sambil berteriak.

"Santi tolong kecilin  suaro lagu  tu aku baru mau tidur!".

Sepertinya Santi  cuek  saja. Terlihat, dengan santai  dia mengikuti irama sambil menyapu di depan warungnya. Akhirnya aku memilih kalah dan mandi setelah itu langsung berangkat ke kampus. Di depan warung Santi menyapa, dan menawarkan sarapan pagi tetapi aku yang masih mengantuk, ngeloyor, menyeberangi jembatan untuk ke kampus.

***

Merindu adalah penyakit yang sangat susah disembuhkan secara medis maupun nonmedis. Sampai saat ini, sakit merindu belum ada obatnya. Bagi mahasiswa yang terkena penyakit merindu kalau tak bisa mengatasinya maka indeks prestasi bakal jeblok alias cuma mendapat 12 sks setiap semesternya.  Bakal dilantik menjadi MA alias mahasiswa abadi.

Bagiku yang baru beberapa minggu terjangkit penyakit merindu karena ditinggal oleh Prameshwari terasa sangat menyakitkan.  Yup,  Prameshwari alias Mesh telah menjangkitiku menjelang akhir kuliah semester ganjil.

Telegram sudah dikirim dua kali tetapi belum ada balasan dari Mesh yang kini berada di Tanjung Bunga Pangkal Pinang, Bangka. Telegram telah dikirim melalui Warung Telkom di dekat universitas.  Alamat jelas seperti yang dituliskan oleh Mesh di secarik kertas ketika berpisah di Talang Betutu telah kutuliskan dengan huruf cetak.  Sudah dijelaskan kalau telegram sudah dikirim melalui Pos Indonesia karena jangkauannya tidak lagi dalam hantaran Telkom. Berdasarkan data yang masuk dari Telkom Pangkal Pinang, telegram sudah dikirim dan diterima.

Pikiranku melayang. Tubuhku lunglai. Hari-hari seperti ada yang hilang. Hampa.

Hampir tak pernah mengumbar cerita dengan teman-teman mengenai Mesh.  Semua teman sepertinya tahu kalau aku sedang rindu dengan kekasih yang nun jauh di sana. Tak berkabar berita menimbulkan sakit kronis yang bisa berubah menjadi kanker, mengerogoti hati dan pikiran.

"Prameshwari sekarang di mana? " tanya Gung di depan kos usai makan malam di warung Santi.

"Bangka, Pangkal Pinang," jawabku.

"Jumat, Sabtu, Minggu tak ada kuliah. Berangkatlah ke Pangkal Pinang. Senin dan Selasa sekali-kali boloslah kuliah. Motor sudah kuisi penuh. Ini ada titipan dari Mul, Eka, Ratno dan aku untuk kau berangkat besok. Naiklah feri di 35 Ilir. Pakailah motor kobra tu. Sudah aku kecilkan spuyernya. Jadi  idak  lagi minum bensin  tu  motor," kata Gung sambil menyerahkan amplop sokongan teman-temanku.

Aku tercekat. Bergetar. Sebegitu perhatiannya teman-teman di pinggiran Sungai Sahang ini padaku. Padahal kuyakini teman-teman itu menyisihkan uang dari penghematan yang mereka lakukan.  Sebuah pengorbanan yang membuatku bergidik.

Aku menolak, tetapi Gung memasukkan amplop itu ke kantong bajuku.  "Memberi, membantu itu ya sekarang ini. Jangan pernah kita membantu itu menunggu siap. Kita tidak akan pernah siap. Tidak akan ada yang tahu perjalanan hidup kita ke depan. Berangkatlah. Eka  samo  Ratno sudah  belike tiket feri untuk besok sore.  Ado  di amplop itu," kata Gung.

"Satu hal yang mesti kau ingat. Dirimu dan makhluk putih cantik itu beda jauh. Bagaikan bumi dan langit. Boleh kau nikmati kebahagiaan ini tetapi juga pada satu waktu kau harus rela kalau dia melepaskanmu. Ingat itu!!!" tambah Gung sang filsuf.

Malamnya aku gundah. Gelisah mengingat pengorbanan teman-teman. Diriku seakan-akan terbelah. Satu sisi aku rindu dengan Mesh, di sisi lain aku ingat dengan teman-teman yang terpaksa mengecangkan ikat pinggang.

Pada akhirnya aku cuma ingat perkataan Gung,  "Jangan pernah kita membantu itu menunggu siap. Kita tidak akan pernah siap. Tidak akan ada yang tahu perjalanan hidup kita ke depan".

Pagi menjelang. Aku menggeliatkan tubuh ketika teman-teman membangunkanku. "Bangun  oi.  Yang lagi lemes. Yang lagi jatuh cinta. Ha ha ha ha," kata Mul.

Teman-teman terlihat gembira. Mereka tertawa dan tersenyum melihat aku belingsatan bangun.

"Mandilah. Jam satu ke pelabuhan. Motor  biasonyo  masuk feri duluan. Truk diatur belakangan di geladak.  Feri berangkat jam  limo  sore tergantung  banyu  pasang," kata Ratno.

Kami sarapan dan tertawa-tawa dengan cerita merindu masing-masing.  Eka yang harus mengalami kerusakan tape mobil yang  reverse  terus menerus ketika pacaran dalam mobil di Bagus Kuning, pinggiran Sungai Musi. Kaset GN'R**) milik Eka sampai kusut tak ketulungan.  Mul yang terpaksa seminggu makan berlauk tempe usai mentraktir gadis yang ditaksirnya di nasi kampus POM IX.

Atau Gung yang harus bolak balik 2 kali dari kampus ke Perumnas Kenten hanya untuk mengantarkan buku catatan sang  cewek  idaman. Ratno yang nekat meminjam payung milik dosen di perpustakaan fakultas kala hujan ketika sang pacar takut kehujanan ketika nyari angkot.

Sungguh mereka menguatkanku, ternyata begitu banyak cerita lucu dalam merindu. Dan aku kini ada dalam perjalanan panjang melintasi Sungai Musi menyebrangi Selat Bangka ke Muntok.

Menjelang subuh aku terbangun. Kerlap kerlip Pelabuhan Muntok terlihat. Jantungku berdegup kencang tanpa alasan. Apakah hari ini takdirku bertemu dengan Mesh?

Setelah mobil dan truk keluar dari  ramp  feri. Giliran motor yang keluar.

Akupun memacu motor keluar pelabuhan.  Aku melihat sekeliling terlebih dulu untuk melihat petunjuk arah ke Pangkal Pinang.  Jalur Muntok-Pangkal Pinang sepanjang 138 km kulahap sekitar 1,5 jam.  Aku hanya berhenti di Kelapa untuk mengganjal perut makan mie goreng dan menambah bensin King Kobra.

Setiba di Pangkal Pinang aku berhenti sejenak di warung untuk bertanya arah Tanjung Bunga. Aku memacu motor sepanjang 11 km lagi.

Sesampai di Tanjung Bunga yang merupakan daerah tepi pantai, tanpa mau kehilangan waktu aku mencari Posko Praktek Belajar Lapangan mahasiswa FK. Prameshwari ternyata tak ada. "Tadi dia izin dengan Ketua untuk ke Pasir Padi. Dia pergi sendirian setelah pelayanan kesehatan," kata seorang mahasiswa yang ada di Posko.

Akupun balik ke arah Pangkal Pinang dan setelah 2,5 km aku berbelok ke kanan. Pantai Pasir Padi.

Kuparkirkan motor di bawah pohon cemara. Aku memandang pantai yang memanjang. Matahari terik bersinar. Hembusan angin laut menyapaku.

Setelah berjalan kaki sekitar 3 menit aku melihat sosok perempuan berdiri menghadap pantai, memandang laut lepas.  Deburan ombak yang menghantam bibir pantai sama sekali tak menggoyahkannya. Ombak yang menerjang seakan-akan diterimanya dengan ikhlas. Dirinya seakan memang ingin dihantam, dibasahi air laut.

Rambut ikalnya yang hitam meriap terhembus angin. Tubuhnya berdiri tegak. Bahunya lurus.

Kaki jenjangnya menjejak kuat di akar pohon yang menonjol keluar.

Perempuan itu tak sedikitpun menoleh ke belakang. Kuyakini dia adalah Prameshwari.  Perempuan yang menjangkitiku dengan penyakit kangen al severe. Kangen maha berat.

Seorang perempuan yang kucari dalam tiga minggu terakhir. Perempuan yang kutunggu kabar beritanya. Perempuan yang berkali kukirimi telegram tetapi tak berbalas.

Aku berdiri berjarak sekitar lima meter. Pohon cemara di sisi kananku menjadi sandaranku untuk menikmati pemandangan indah ini. Aku sengaja tak langsung menyapanya. Aku ingin menikmati dirinya selama mungkin.  Tombo  rinduku

Tiba-tiba Prameshwari menoleh ke samping kiri. Hidung mancung dan bibir tipisnya ditambah gerai rambutnya yang tertiup angin membuatku terpukau, seperti adegan  slow  motion.

"Sudah puaskah kau menikmati gerai rambutku? Sudah puaskah kau menikmati siluet tubuhku?".

Aku tak bisa berbicara. Mulutku terkunci.

"Loh kok diam saja? Kamu dari Palembang ke sini kan ingin menemuiku atau ..." kata Mesh sambil mendekat.

"Iiihh... kok tahu kalau aku...". Belum selesai kalimatku, dia memotong bicara.

"Aku tahu karena bau keringat khasmu setelah ombak menerjang dan angin berbalik. Hidungku masih bagus," kata Mesh sambil tertawa renyah.

"Mengapa kau tak membalas telegramku".

"Aku sengaja".

"Mengapa?".

"Biar kau merasakan. Apakah kau benar-benar kehilanganku? Kalau kau kehilanganku maka kau akan berusaha menemuiku atau paling tidak kau akan menghubungiku. Dua telegrammu sudah kuterima. Aku menyimpannya".

"Akh... kau mengujiku...".

"Perhatikanlah ombak yang bergulung-gulung. Mereka saling berkejaran. Ada yang terpecah. Ada yang berhasil sampai ke bibir pantai. Itulah cinta. Dia akan dikejar hingga ujung pantai ini. Terima kasih kau sudah mengejar ombak cintaku sampai ke Pantai Padi," kata Mesh.

Kami pun melepas rindu dengan menikmati satu dogan berdua. Tubuhku seperti tenang dan damai. Mendengar ceritaku bisa sampai ke Pasir Padi dengan motor pinjaman serta sumbangan teman-teman, Mesh tertawa lepas.

"Itulah teman yang baik," kata Mesh.

Jelang sore akupun mengantarkan Mesh ke Tanjung Bunga dengan King Kobra. Sesekali sengaja motor aku rem mendadak sehingga Mesh terdorong ke punggungku.

"Nakal...!" bisik Mesh di telingaku.                     

 Di Posko teman-teman Mesh menggoda.

"Demi cintaku padamu, Dik Pramesh, kurela hanyut di Sungai Musi, kuseberangi Selat Bangka, demi bertemu denganmu, oh... kekasihku," kata seorang teman Mesh yang berlagak seolah-olah sedang membaca puisi.

Tak tahan digoda, Mesh pun melemparkan tas punggungnya ke arah temannya yang berpuisi tadi. Seluruh anggota Posko pun tertawa.

Akupun mohon pamit dan mengarahkan King Kobra ke Pangkal Pinang untuk mencari rumah Budi. Ada sepucuk surat dari Budi yang harus kusampaikan kepada keluarga Budi yang intinya adalah agar aku diperkenankan menginap di rumahnya selama aku di Pangkal Pinang.

Entah mengapa, senyum selalu merekah dari bibirku.

Mungkin karena penyakit kangen al severe yang menjangkitiku telah menemukan obat ampuhnya, Prameshwari.

*) Lagu: Rindu. Penyanyi: Rita Sugiarto. Pencipta: Achmad Vad'aq

**)GNR : Gun N Roses

logo-terbaru-kompal-2018-5a82218edd0fa80ff84b3412.jpg
logo-terbaru-kompal-2018-5a82218edd0fa80ff84b3412.jpg

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun