"Kau kejam. Kau sudah membuat jantungku bekerja dengan keras. Turun dari mobil segera!"
"Kau kujemput di jalan". "Kau sudah janji hari ini". "Kau cepat sekali meninggalkanku pagi ini".Â
Itulah yang diucapkan dengan histeris oleh Werdadhani melalui telepon
Harus diakui kalau subuh tadi aku pergi tanpa pamit padanya. Aku sudah mencium keningnya. Tetapi dia tak bangun. Aku sudah memeluknya juga masih tak bangun. Justru Werdadhani mempertontonkan keindahan nguletnya di tempat tidur.
Aku bisa memaklumi kalau dalam beberapa hari terakhir dia mendapat tekanan yang sangat keras dari pekerjaannya. Walau pekerjaannya terlihat mudah tetapi karena pekerjaannya itulah, orang lain bisa sembuh, bisa diobati dengan tepat oleh dokter yang merawat.
Pada saat bersamaan. Bisa saja Werdadhani menjadi pihak yang ditekan kalau terjadi keraguan dalam penegakan diagnosis. Terlihat mudah tapi tidak mudah.
Tidur adalah kemewahan yang sangat jarang didapatnya.
Subuh tadi, aku yang melihat keindahannya itu, tak tega untuk membangunkannya. Aku justru menikmatinya. Aku memasak air panas untuk teh, membuatkan nasi goreng cinta.
"Sekarang kalau ada orang tidak bisa masak itu kelewatan. Â Bumbu sudah jadi, banyak dijual di warung ataupun minimarket sejuta umat. Kalau ada orang tidak bisa masak itu cuma malas saja," ujarnya suatu siang ketika bersama-sama menonton acara memasak di tv berlangganan. Itulah yang membuatku selalu bereksperimen memasak kalau dirinya sedang tak ada di rumah. Hiks.
Aku pagi ini ada panggilan mendadak untuk mengambil foto dan video di Puncak Punggung Bukit Barisan Sumatra. Aku sudah menulis surat mengenai alasan kepergianku yang kutempelkan di kaca rias kamar. Sudah kutuliskan "selamat sarapan" di pintu kamar. Sudah kutuliskan "selamat mandi" di pintu kamar mandi. Di meja makan sudah kutuliskan "selamat sarapan".
Teriakannya di telepon membuatku tercenung. Terkunci mulutku seribu bahasa. Kemaring sore kami tertawa lepas di rumah. Mukanya bahkan terkadang bersemu merah karena mesra. Diteras dihias rintik hujan kami sudah merencanakan untuk makan siang di rerumputan taman kota.
Yup. Nasi dua rendang memang bisa bikin kalap.
"Aku kalau cuma mau makan nasi dua rendang bisa makan sendiri. Aku butuh kamu. Aku butuh kamu. Kau kejam. Turunlah dari mobil!" teriaknya.
Akupun berdiri di pinggir Jalan Lintas Tengah Sumatra setelah meminta berhenti pada sopir mobil travel. Werdadhani memang suka meledak-ledak. Itulah dirinya yang paling indah.
Anak lelakiku pernah bilang, "Ibu tak akan bisa bekerja tanpa Bapak. Titip Ibu," kata anak lelakiku yang kini ada di surga.
Setelah dijemput nanti aku akan meminta maaf pada istriku. "Aku egois," gumamku dalam hati menyesali kepergianku tanpa izin pagi tadi.
Salam Kompal
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H