Senja itu menyemburatkan warna jingga. Cuaca cerah. Dari jendela pesawat terlihat warna kesukaanku itu menembus awan. "Cantik!" gumamku.
Itulah mengapa aku selalu mengambil jadwal terbang pagi dan ataupun sore. Aku selalu berdoa dan berharap aku bertemu dengan semburat jingga jika aku terbang.
***
Belasan tahun aku tak kembali ke Yogyakarta. Sebuah kota yang penuh kenangan di zaman pelatihan penelitian. Sebuah kota yang membuatku betah berlama-lama menikmati suasananya. Akupun lebih memilih untuk berjalan kaki di Bulak Sumur dan Malioboro atau di Colombo dan Gejayan sambil menikmati Merapi di kejauhan.
***
Perempuan bertubuh langsing itupun gemulai menari di Malioboro. Kelentikan tangannya. Langkahnya yang lembut seakan tak menjejak bumi.
***
Perempuan yang sedang menunjukkan kebolehannya itulah yang mengundangku. "Foto aku!" pintanya. "Tak bisa," jawabku. Â "Aku sedang tidak ada duit untuk sekedar membeli tiket dari Atung Bungsu ke Halim Perdana Kusuma".
"Aku kirim tiketnya. Aku kirim duit untukmu," ujarnya. Akupun terdiam sesaat. Â "Kirimlah nomor rekeningmu," perintahnya. Kurang dari satu jam semuanya beres, ringkasan tiket sudah diterima dan juga duit untuk jalan.
Di Halim jelang malam, perempuan itu sudah menunggu. Tubuhnya masih seperti belasan tahun lalu. Padahal umurnya kuyakini sudah mendekati atau melewati 40. "Makan Bakso A Fung dulu. Kau pasti belum makan atau kau mau makan yang lain. Kalau kau mau bubur ayam Kali Pasir pasti sudah tutup," jelasnya sambil terbahak.
Belum juga berubah gayanya. Selalu melayani. Dulu dia juga yang mengambilkan piring dan juga mengambilkan makanan ketika aku masih berjuang di depan desktop Garuda yang berlayar hijau di sebuah universitas di Yogyakarta.
"Ayo!".
"Naik kereta kita ya malam ini," ungkapnya. Aku cuma bisa tersenyum. Kereta eksekutif Argo Lawu pun lantas membawa kami ke Yogyakarta. Tidak ada kata. Tidak ada cerita. Kami semua diam hingga akhirnya subuh tiba di Yogyakarta.
Kami pun berjalan-jalan mengitari Gejayan dan Colombo. Sambil sekali-kali mampir diantara tempat makan untuk mengganjal perut sebelum istirahat di hotel.
Jelang sore. Beriaslah dirinya sedangkan aku mempersiapkan kamera untuk memotretnya di Malioboro.
***
Â
Aku pun memandikannya dengan blitz. Dari berbagai sudut akupun mengambil tubuhnya. Dari berbagai sudut aku mengambil ritme gerakannya. Dirinya benar-benar menyihirku untuk mengambil yang terbaik untuknya.
***
Dini hari usai mandi air hangat. Masih dibalut dengan handuk. Dirinya duduk di kursi. Tato mawar merah di betis kanannya terlihat mencolok.
Tatapanku ke tatonya membuat dirinya jengah. "Ini gara-gara Slank," katanya tersenyum.
"Potretlah aku kini."
Tanganku meraih kamera. Tetapi tangannya menahan tanganku. "Potretlah aku seutuhnya dengan mata dan jiwamu. Simpanlah di memorimu!".
Nafasku memburu. Darahku berdesir. "Masih cukupkah aku," tanyaku. Tidak ada suara. Hanya gerakan tangannya yang membimbingku. Hanya geliatnya yang membimbingku.
***
"Jangan pulang dulu. Temanilah aku di Jakarta. Aku ingin istirahat".
"Apa kau menyesal".
"Tidak," jawabku.
Semilir angin di Pantai Ancol membuat ribuan kenangan membuncah. Membuat ribuan gambar diterbangkan angin.
Dengan berpegangan tangan aku dan dirinya menikmati jembatan Pantai Ancol. Ada yang sedang berenang. Ada yang sedang lari. Ada yang main sepeda.
Kami berjalan seakan tak menghiraukan aktivitas sekeliling. Kami pun seakan tak dianggap.
Tibalah di pertengahan jembatan. Ada dermaga yang menjorok ke laut. Dermaga Hati, namanya.
Tangannya ku lepas. Awalnya dirinya sempat menolak. Tatapan mataku membuatnya percaya. Dirinya pun berjalan sendiri. Menatap ke laut dan kemudian menatap ke pintu Dermaga Hati.
"Gemboklah. Buanglah anak kuncinya ke laut," kataku bergetar hampir tak terdengar.
"Jangan tengok ke belakang. Majulah! Lakukanlah! Aku tak pernah menyesal".
Perempuan itu dengan gemulai mengeluarkan gembok dan menguncinya. Anak kuncinya pun dilemparkan ke laut.
Perlahan-lahan tubuhnya menyerpih. Uap panas Pantai Ancol membawanya masuk ke dunia lain. Mataku berkaca.
***
"Aku tak menyesal bertemu denganmu. Aku tak menyesal ketika aku berkata kawinilah aku di antara hujan deras di atas becak yang membawa kita dari Gejayan ke Mess di Selokan Mataram. Simpanlah foto utuhku sebelum kau pulang ke Puncak Punggung Bukit Barisan Sumatra. Aku sudah lama sekali mencarimu. Aku bahagia bisa menemukanmu kembali. Majulah terus aku kan selalu mendoakanmu," bisiknya sepanjang jalan di jembatan ke dermaga.
***
***
Catatan:
Atung Bungsu adalah bandara perintis di Kota Pagaralam, salah satu kota di Bukit Barisan Sumatra, Sumatra Selatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H