Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menang Tak Balik Kiri

16 Agustus 2016   00:16 Diperbarui: 16 Agustus 2016   00:29 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bukit Tunjuk dilihat dari Kota Lahat di siang hari | Foto dokumentasi OtnasusidE

Puncak Punggung Bukit Barisan Sumatra. Di sepanjang bukit Barisan Sumatra dari Aceh hingga ke Lampung zaman dulu dikenal dengan nama Swarnadwipa. Banyak kisah gaib dan juga mistis yang melingkupinya.

Satu yang membuat Swarnadwipa menjadi sangat terkenal adalah adanya Padepokan Bukit Tunjuk yang hanya muncul di musim kemarau. Padepokan ini seakan-akan menjadi pusat penggemblengan para calon pendekar yang akan mengharumkan nama Swarnadwipa dalam blantika dunia persilatan nusantara.

Tidak mudah memang untuk masuk menjadi murid padepokan. Demikian pula dengan gurunya juga tidak mudah untuk menjadi sang guru di padepokan. Semua tokoh-tokoh dunia persilatan yang sudah sepuh dan mumpuni olah jiwa dan kanuragan mulai dari Aceh hingga ke Lampung berkumpul di Padang. Mereka sejak hujan terakhir di musim hujan sudah memulai perjalanan dari daerahnya masing-masing menuju Padang.

Tidak ada aturan yang baku kapan mereka harus berangkat. Hanya naluri mereka saja yang menentukan waktu keberangkatan di hari terakhir musim hujan di daerah masing-masing. Ada yang menggunakan kuda, rakit dan juga berjalan kaki. Semua dilakoni untuk bertemu melepas kangen di Padang.

Para pendekar sepuh berangkat tak sendiri. Mereka membawa murid-muridnya yang selama ini mereka gembleng sendiri. Para murid inilah yang akan bertanding dengan wasit dari para pendekar sepuh itu sendiri di Padang. Tidak ada kongkalikong apalagi sogok menyogok. Semua transparan. Telanjang. Siapa yang kalah di lapangan harus diterima dengan lapang dada.

Menjelang matahari tepat di ubun-ubun kepala. Banua, pendekar dari Nias yang kali ini menjadi pemimpin laga meminta agar semua yang hadir untuk berkumpul di tanah lapang. Pohon kayu bambang yang tegak lurus yang sengaja di bawa dari Lahat terlihat hampir lurus tersinar matahari. Puluhan pendekar sepuh dan ratusan muridnya menahan nafas menunggu pergerakan matahari yang akan mencapai puncak tegak lurus di kayu bambang.

Ketika matahari lurus menyinari bambang. Dan tak ada lagi bayangan. Saat itulah sorak sorai dari seluruh yang hadir pun meledak. “Inilah saatnya,” kata Banua sambil memegang tongkat kebesaran Swarnadwipa. Sebuah tongkat perlambang persatuan yang dipercayakan oleh semua pendekar sepuh untuk dijaga dengan segenap jiwa dan raga.

Satu persatu murid berlaga di arena pertarungan yang di tengah-tengahnya ada kayu bambang. Mereka yang kalah telak terkena pukulan ataupun tendangan biasanya akan langsung menyerah. Sang guru biasanya akan melempar kain putih ke lapangan tanda menyerah.

Proses pemilihan calon murid yang akan masuk ke Padepokan Bukit Tunjuk pun selesai. Tinggal mencari pemimpin murid-murid ini. Biasanya ini yang paling susah karena memilih yang terbaik diantara yang baik.

Akhirnya setelah seleksi, muncul dua pendekar muda, Alif dan Raden Komang. Alif dilatih oleh Gandewa dan Raden Komang diajar oleh Mas Jati. Keduanya bertempur habis-habisan. Ini merupakan partai final. Bertukar pukulan dan tendangan. Hingga jurus ke 9 keduanya masih berusaha untuk tegar berdiri. Memar di sekujur tubuh mereka terlihat jelas.

Gandewa sang guru Alif belum memberikan tanda. Demikian pula dengan Mas Jati guru Raden Komang tak pula memberikan kode sedikitpun. Mata para pendekar sepuh yang menjadi wasit pun mulai saling pandang. Ki MJK memandang Sampun Sepuh sebagai orang yang paling dituakan. Mamang Tjip pun tak kalah gelisah melihat pertarungan Alif dan Raden.

Tahu dirinya menjadi pusat perhatian dan dimintai pendapat, Sampun Sepuh pun lalu bereaksi. “Satu jurus lagi. Siapa yang masuk terlebih dulu dialah pemenangnya,” ujar Sampun Sepuh berwibawa pada Alif dan Raden yang terlihat sudah gontai tetapi tetap berusaha tegar.

Banua sebagai pemegang tongkat kebesaran Swarnadwipa pun memukulkan tongkat ke pinggir arena sebagai bentuk persetujuan. Angin keras bertiup membelah arena yang melingkar dan membuat pohon bambang yang ada di tengah arena pun terbelah dua.

Ada dua kemungkinan bagi pendekar muda ini.  Pertama,  menahan laju lawan agar tak masuk.  Kedua,   langsung menyerang memasuki arena lawan sebagai tanda menguasai wilayah lawan dan langsung dinyatakan sebagai pemenang. Pohon bambang yang terbelah pun terlihat membelah lingkar arena menjadi empat bagian. Sebagian terbagi oleh tongkat Swarnadwipa dan sebagian lagi terbagi oleh pohon bambang yang terbelah.

Alif dan Raden pun berpikir keras. Keduanya lalu mengambil nafas dan mengatur di perut menarik energi langit . Keringat bercucuran. Lebam di tangan dan muka terlihat jelas. Sepertinya keduanya akan seimbang. Alif tiba-tiba melangkah berlahan dan kemudian secepat kilat berusaha masuk ke wilayah Raden. Raden pun dengan sigap menyambutnya dengan satu tendangan ke arah kayu bambang.

Belum lagi kaki Alif masuk ke wilayah Raden, kayu bambang sudah melayang terbang sepertinya akan menghajar perut Alif. Dengan sigap Alif melompat dan justru memanfaatkan kayu yang melesat sebagai tumpuan untuk masuk ke wilayah Raden.

Semua mata memandang takjub karena Alif diduga mampu mengecoh dan memancing Raden agar menendang kayu bambang. Alif pun sudah berada di wilayah Raden. Tetapi ternyata semua mata kembali terbelalak.

Raden pun masuk ke wilayah Alif melalui jalur bawah ketika Alif sibuk mengelak dan terbang di atas Raden. Sunyi. Hanya desiran angin yang terdengar pasca adu tangkas dan cepat keduanya. Ratusan yang menonton pertarungan keduanya, pun tercekat suaranya.

“Imbang,” kata Banua memecahkan keheningan. Para juripun mengamini tak ada yang protes. Demikian pula dengan guru masing-masing pendekar yang bertarung. Ratusan orang yang menonton pun bergumam.

Harus ada satu matahari dalam setiap pertarungan di musim kemarau ini. Tidak boleh ada matahari kembar. Baru kali ini dalam sejarah Swarnadwipa, pertarungan hingga jurus kesepuluh.

Akhirnya Sampun Sepuh pun meminta pada Banua untuk menentukan pemenangnya. “Terserah mau kau apakan kedua pendekar itu. Harus ada pemenangnya,” kata Sampun Sepuh.

Banua pun mengumumkan akan melakukan uji konsentrasi pada kedua pendekar yang akan menjadi ketua kelompok Padepokan Bukit Tunjuk di musim ini. “Olah fisik kanuragan sudah. Sekarang tinggal olah konsentrasi dan logika saja,” kata Banua.

“Persiapkan diri kalian! Konsentrasi.” Satu celegukan batok kelapa belum juga ada perintah. Satu tabung bambu nira pun lewat. Jelang matahari ke peraduan. Tiba-tiba terdengar suara menggelegar, “Balik kiri gerak,” dari mulut Banua.

Alif pun membalikkan badannya sedangkan Raden Komang tak bergerak sedikitpun. Banua pun langsung mengatakan, “Raden Komang pemenangnya. Raden Komang ketua kelompok pendekar yang akan digembleng di Padepokan Bukit Tunjuk.”

Salam Baris Berbaris

Salam Paskibraka

Salam dari Puncak Punggung Bukit Barisan Sumatra, Lahat Sumatra Selatan

Salam Kompasiana

Salam KOMPAL

Logo KOMPAL milik Admin
Logo KOMPAL milik Admin

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun