1.
Bulan Ramadhan lalu, dan kini memasuki Bulan Syawal. Masih terngiang di kuping dan merambat ke otakku, pernyataan Ustad yang memberikan Kultum menjelang Bukber. “Susah saat ini mencari anak yang sholeh. Baik yang sholeh maupun yang sholeha,” kata Ustad.
Pernyataannya Ustad tersebut membuatku pontang-panting membuka-buka Al-Quran. Aku berusaha untuk membumikannya. Ampuni aku, ya Allah ternyata aku belum menjadi dan bisa memproduksi anak yang sholeh dan sholeha.
Anak sholeh ternyata tidak bisa muncul dengan sendirinya. Anak sholeh butuh proses penanaman nilai-nilai Tauhid dan juga nilai sosial yang sangat luas.
“Oh. Aku yang sholatnya sering bocor. Aku yang tak pandai mengaji. Aku yang masih berbuat maksiat. Aku yang masih suka bohong. Aku yang masih tak bisa menjaga amanat. Aku yang masih tak bisa menjaga indraku,” lolongku dalam hati.
2.
Dalam perjalanan pulang ke rumah. Gejolak bayangan dosa-dosa berkelindan tak henti menghajar diriku. Dalam perjalanan itu akupun melihat orang dengan santainya merokok di depan umum. Melihat orang makan di depan umum. “Ini Bulan Ramadhan atau bulan biasa sih. Ah, biasa saja,” kata sang baik dalam hatiku. “Itu kurang ajar. Tidak menghormati orang yang berpuasa. Mereka itu akan dilaknat Allah karena tak puasa,” kata sang jahat dalam hatiku.
3.
Sampai di rumah. Anak dan istri sedang menonton “Kesempurnaan Cinta” dan kemudian dilanjutkan dengan “D’hijaber.” Ah, lelaki yang beruntung. Satria di Kesempurnaan Cinta dan Ilham di D’hijaber. Lelaki sempurna pikirku. Satu, Duren dengan dua anak yang memiliki tutur kata yang lemah lembut serta penyabar. Pekerja keras dan sholeh. Dua, Penghulu bujangan, ganteng yang memiliki tutur kata menyejukkan bagi perempuan. Ilmunya sip markosip. Selalu menjaga diri dari fitnah.
4.
Secara seketika itulah gambaran dua lelaki sholeh yang diperebutkan oleh perempuan. Siapa sih yang nggak mau dengan lelaki sholeh. Semua tentu ingin menjadi lelaki sholeh. Semua ingin nikmat hidup di dunia dan di akhirat. “Sudahlah itu hanya di sinetron. Tak ada lelaki sholeh. Yang ada adalah manusia yang terus bertempur dalam kehidupan di dunia untuk terus meniti jalan shirotol mustaqim. Sebuah pertarungan yang tak akan berhenti hingga ruh tercabut dari ragawi,” bisik hati baikku. “Sudahlah itu hanya cara agar diperebutkan oleh perempuan-perempuan cantik. Sesudah itu kau akan menjadi bandit di sisa perjalanan hidupmu,” bisik hati jahatku.
5.
Aku lelaki yang tak sempurna. Aku dulu memilihmu karena aku mencintaimu. Hingga kini pun aku mencintaimu. Aku mencintaimu apa adanya. Mungkin sudah karmaku.
6.
Paling tidak aku sudah pernah memutuskan untuk melamar dan menikahi seorang perempuan. Paling tidak aku tak pernah memberikan harapan pada para perempuan ketika bujang. Paling tidak aku sudah berani menjalani hidup dalam pernikahan.
7.
Sang istri yang khusuk menonton terlihat sangat antusias. Aku... Dua puluh tahunan bersama. Sang teman hidup pun bilang, “kau ini menggantungkan hidup.” Dosa-dosaku terus menumpuk. Sudahkah aku menjadi suami yang baik untuk istriku? Sudahkah aku menjadi bapak yang baik untuk anak-anakku? Sudahkah aku menjadi anak sholeh untuk kedua orangtuaku?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H