Dua kakak beradik itu selalu menyambut kami yang akan masuk ke ruang kuliah. Mereka selalu memegang koran lokal dan koran nasional. Mereka sudah tahu kakak mana yang akan membeli korannya. Mana kakak-kakak yang cuma numpang baca saja. Idak beli.
Namanya Irfan dan Hamid. Irfan sang kakak dan Hamid adiknya. Hamid ketika kami masih semester II masih mengenakan seragam sekolah SD. “Masuk siang jam 10. Kalau pagi jualan koran dulu. Tuk nambah-nambah hidup,” ujar Hamid ketika ditanya oleh Mansyah temanku.
Dua kakak beradik itu mengelilingi fakultas-fakultas yang ada di Bukit Besar. Lokasi kuliah yang nyaman karena tanahnya berundak dan masih memiliki pohon-pohon besar. Entah setiap ditanya sudah ke fakultas mana saja. Jawabannya selalu sama, “mulai dari sini” kata Irfan.
Kami berlima yang memang sering dijadikan sasaran beli untuk koran yang dibawa oleh dua kakak beradik yang berprofesi loper ini. Koran Sriwijaya Post dan Kompas yang biasa dibeli. Belinya pun patungan. Siapa yang lagi kaya alias dapat kiriman lebih dari orangtua tak perlu dikomando biasanya menyumbang paling besar. Aku, Ratno, Prastya, Yono, dan Mansyah bersahabat sejak masuk kuliah.
Biasanya kalau hari Jumat kami beli dua atau tiga Koran Kompas karena ada sisipan Tabloid Bola. Koran Kompas Minggu biasanya diamankan oleh keduanya untuk dibawa hari Senin untuk kami baca. Atau kami beli sendiri untuk membunuh waktu di kamar kos di hari Minggu. Di Kompas kami menunggu ulasan bola dari Sindhunata.
Semester III kami terkejut. Walaupun Irfan dan Hamid masih tetap berjualan koran tetapi Hamid sudah tidak memakai seragam sekolah lagi. Ratno yang bertanya, “Mid ngapo kau idak sekolah lagi apo. Kalau kelas tigo kan biasonyo sekolahnyo pagi,” tanya Ratno. “Berhenti Kak aku, emak dan bapak dak biso lagi biayai. Kakak jugo sebenernyo sudah berenti sekolah SMP,” ungkap Hamid sambil memandangi Irfan.
Aku, Ratno, Prastya, Yono dan Mansyah cuma bisa tercenung. Bingung mau membantu nggak ada duit. Bisanya cuma jadi pelanggan korannya saja.
Kami sendiri terkadang untuk makan kalau lagi apes ya harus berpandai-pandai. Pernah aku cuma ada uang seribu perak yang akhirnya kubelikan martabak manis dan bisa bertahan selama 36 jam. He he he. Mansyah lebih gila lagi. “Malam ini kita cari belut di got. Laper ini. Nasi ada. Sayurnya kangkung rawa itulah. Rebus. Terus ada cabe ama garam jadilah,” jelasnya. Mancing belutlah kami malam-malam. Dan langsung dibakar saja. Celeguk. Kalau kepepet lapar semua enaklah.
Yono malah edan. Makan nasi di kawasan kampus. Ambil tempe dan tahu empat biji. Ngakunya dua, duanya lagi disembunyikan ditumpukan nasi. Tapi Yono jujur kok. Di kamarnya ada catatan berapa kali dia makan seperti itu. “Aku bayar kalau sudah nak tamat,” katanya. Kami pun cuma ngakak saja.
Semester IV lagi-lagi kami terkejut karena Hamid sekarang jualan koran sendirian. Kakaknya tidak ikut lagi jualan. “Kakak matanya sudah kabur nian. Susah melihat. Jadi di rumah bae,” cerita Hamid. Lagi-lagi kami pun terperangah.
“Ya Allah cobaan apa yang engkau berikan pada keluarga ini. Mereka orang kecil ya Allah. Untuk sekolah saja mereka tak mampu. Apalagi kalau untuk operasi mata. Berilah mereka kekuatan dan kesabaran ya Allah,” doaku ketika usai sholat Dzuhur di masjid kampus.
Keesokan harinya, kami pun mengumpulkan uang untuk menyumbang kakak Hamid. Semester demi semester terus berlanjut. Hingga akhirnya, di semester VIII, Mansyah terlebih dulu ujian skripsi disusul oleh Yono, Ratno, Prastya dan terakhir aku.
Kami pun tak pernah bertemu lagi dengan Hamid. Semua menjalani hidup, berkubang, bertarung untuk hidup menghidupi istri dan anak.
Hingga suatu waktu ketika aku menghantarkan Exel anak bungsuku yang kuliah di Bukit, akupun bertemu dengan Irfan di pinggir jalan di tuntun oleh seseorang. Walaupun kondisinya sudah berubah tetapi chemistry aku dan dia nyambung. Refleks kelebatan masa-masa kuliah pun membayang.
“Dikdok –panggilan sayangku untuk Exel anak bungsuku—berikan ini pada orang yang dituntun itu ya. Sampaikan semoga bisa bermanfaat,” kataku pada Exel sambil memberikan beberapa lembar uang yang kupunya.
Anakku pun langsung berlari dan menghampiri Hamid. Kemudian menggenggamkan uang yang kuberikan pada tangan Hamid. Exel tak banyak tanya padaku dan kemudian langsung kembali naik motor buntutku, lalu menuju warung model.
Ketika kami berdua makan Model Haji Dowa di kawasan Taman Bukit Besar, Exel memberanikan diri bertanya, “bapak kenal dengan wong tadi ye?” tanya Exel. Akupun menjawab, “ia dia dulu yang jualan koran di tempat bapak kuliah”. Exel pun tak mau lagi bertanya. Kami pun menikmati model dengan kuah udang yang maknyusss. “Eh ada duit dak untuk bayar model ini,” tanyaku pada Exel karena seluruh uangku tadi kuberikan pada Irfan. Exel pun ketawa ngakak. “Ado tapi jangan nambah pempek dak cukup duitnyo”. “Kalo duitnyo kurang tinggal telepon emak be kan lagi ngajar di Bukit,” kataku. Exel pun ketawa. “Itulah bapak galak dak mikir kalo ngenjuk wong tu. Emak tu lah jadi bumper”.
Irfan dan Hamid adalah pembuka jalanku dalam menulis. Irfan dan Hamid adalah pengantar warna dalam pikiranku. Terkelebat, waktu itu aku dan dosenku pernah berpolemik artikel soal pemikiran birokrasi Max Weber di harian lokal. Redaksi harian lokal tersebut lalu memberi kesempatan pada kami untuk masing-masing, sama-sama menulis satu artikel sebagai penutup.***esn***
Selamat Ulang Tahun ke-51 Kompas. Ada banyak pelajaran dari artikel-artikel yang berbobot kala itu seperti tulisan Arief Budiman dan Jaya Suprana serta Kwik Kian Gie. Demikian pula ulasan Mas Trias dari dulu sampai sekarang soal politik keren. Dan banyak tulisan lainnya. Kompas minggu biasanya dibaca berulang kali sampai lecek.
Catatan, nama teman sengaja diubah demikian pula dengan pengantar koran yang aku lupa namanya, tetapi tidak mengubah esensi. Dua loper koran itu nyata.
Salam Kompasiana
Salam Fiksiana
Salam KOMPAL
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H