Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Selamat Ulang Tahun ke-51 Kompas] Loper Koran yang Mengubah Diriku

28 Juni 2016   21:25 Diperbarui: 28 Juni 2016   21:44 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keesokan harinya, kami pun mengumpulkan uang untuk menyumbang kakak Hamid. Semester demi semester terus berlanjut. Hingga akhirnya, di semester VIII, Mansyah terlebih dulu ujian skripsi disusul oleh Yono, Ratno, Prastya dan terakhir aku.

Kami pun tak pernah bertemu lagi dengan Hamid. Semua menjalani hidup, berkubang, bertarung untuk hidup menghidupi istri dan anak.

Hingga suatu waktu ketika aku menghantarkan Exel anak bungsuku yang kuliah di Bukit, akupun bertemu dengan Irfan di pinggir jalan di tuntun oleh seseorang. Walaupun kondisinya sudah berubah tetapi  chemistry  aku dan dia nyambung. Refleks kelebatan masa-masa kuliah pun membayang.

“Dikdok –panggilan sayangku untuk Exel anak bungsuku—berikan ini pada orang yang dituntun itu ya. Sampaikan semoga bisa bermanfaat,” kataku pada Exel sambil memberikan beberapa lembar uang yang kupunya.

Anakku pun langsung berlari dan menghampiri Hamid. Kemudian menggenggamkan uang yang kuberikan pada tangan Hamid. Exel tak banyak tanya padaku dan kemudian langsung kembali naik motor buntutku, lalu menuju warung model.

Ketika kami berdua makan Model Haji Dowa di kawasan Taman Bukit Besar, Exel memberanikan diri bertanya, “bapak kenal dengan  wong  tadi ye?” tanya Exel. Akupun menjawab, “ia dia dulu yang jualan koran di tempat bapak kuliah”. Exel pun tak mau lagi bertanya. Kami pun menikmati model dengan kuah udang yang  maknyusss. “Eh  ada duit  dak  untuk bayar model ini,” tanyaku pada Exel karena seluruh uangku tadi kuberikan pada Irfan. Exel pun ketawa ngakak. “Ado  tapi jangan nambah pempek  dak  cukup duitnyo”. “Kalo  duitnyo  kurang tinggal telepon emak  be  kan lagi ngajar di Bukit,” kataku. Exel pun ketawa. “Itulah bapak  galak  dak  mikir  kalo  ngenjuk  wong  tu. Emak  tu  lah jadi bumper”.

Irfan dan Hamid adalah pembuka jalanku dalam menulis. Irfan dan Hamid adalah pengantar warna dalam pikiranku. Terkelebat, waktu itu aku dan dosenku pernah berpolemik artikel soal pemikiran birokrasi Max Weber di harian lokal. Redaksi harian lokal tersebut lalu memberi kesempatan pada kami untuk masing-masing, sama-sama menulis satu artikel sebagai penutup.***esn***

Selamat Ulang Tahun ke-51 Kompas. Ada banyak pelajaran dari artikel-artikel yang berbobot kala itu seperti tulisan Arief Budiman dan Jaya Suprana serta Kwik Kian Gie. Demikian pula ulasan Mas Trias dari dulu sampai sekarang soal politik keren. Dan banyak tulisan lainnya. Kompas minggu biasanya dibaca berulang kali sampai lecek. 

Catatan, nama teman sengaja diubah demikian pula dengan pengantar koran yang aku lupa namanya, tetapi tidak mengubah esensi. Dua loper koran itu nyata.

Salam Kompasiana

Salam Fiksiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun