Hormat menghormati berpuasa menjadi polemik yang makin indah. Dikatakan indah karena ternyata memang perbedaan itu indah. Yuk merenung sebentar. Berikut deskripsinya.
Isteriku memang orangnya serba direncanakan. Tidak ada yang tidak direncanakan. Semua kegiatan semuanya sudah direncanakan jauh dari jam. Bangun tidur sudah masak air dan juga membuatkan teh dan sarapan untuk diriku dan anak-anak.
Betino itu multytasking. Kalolanang, hadeuuuh susah,” katanya yang membuat aku cuma senyum bae.
Belum lagi kalau dia harus mengajar pagi hari yang jaraknya sekitar 32 km dari pusat kota. Dia akan ke warung terlebih dulu. Membelikan sayuran dan tempe atau tahu plus kerupuk atau kemplangtunu. Tulisan yang diletakkan di atas sayuran mentah menjadi pedoman mau diapakan sayuran itu. Mau ditumis, atau disantan, semua ada dalam tulisan tersebut. Biasanya ada wawak yang datang jelang siang yang akan mengeksekusi tulisan tersebut.
Yup. Istriku, perempuan yang ketika meninggalkan rumah maka anak-anaknya dan juga suaminya kalau pulang kuliah dan pulang kerja bisa langsung makan. Dia sendiri biasanya makan di sore hari setelah pulang dari mengajar. He he he he.
Pernah satu hari dia bilang. “Aku besok puasa ya,” katanya. Kujawab, “silahkan”. “Aku puasa untuk membayar puasa Ramadhan yang bolong karena mens,” tambahnya.
Aktivitasnya walau puasa masih seperti biasa. Siapkan sarapan dan seterusnya. Kalaupun mendapat jadwal ngajar pagi ya tetap berangkat pagi karena mobil gratis pagi berangkat pukul 07.00 pagi. Berbukanya ya saat bedug Maghrib ataupun azan Maghrib berkumandang ketika sampai di rumah. Biasanya juga sudah SMS sama aku atau anak-anak untuk minta dibelikan sesuatu. Paling penting air dingin alias air es.
Besoknya puasa lagi. Besoknya puasa lagi. Besok dan besok, besok dan besoknya masih tetap puasa hingga selesai hutang puasa Ramadhan-nya.
Ketika puasa, dan tidak mengajar dia tetap beraktivitas seperti biasa. Kadang ke mini market. Melewati warung makan yang buka terang-terangan, melewati orang yang makan di tempat umum. Bahkan ngobrol dengan temannya yang makan siang di depannya. Kalaupun ditanya kenapa tidak makan, dijawab sedang berpuasa.
Istriku kalau soal puasa ini lagi-lagi sepertinya biasa saja. Bahkan waktu sekolah dulu malah sering puasa Senin dan Kamis. “Intinya untuk ibadah dan diberi kekuatan dan kemudahan oleh Allah agar aku bisa cepat menyelesaikan pelajaran”, ujarnya. Aktivitasnya ya masih seperti biasa. Ketika diskusi kelompok, kalau ada teman yang makan dan minum, ditawari makan dijawab dengan, “maaf puasa”.
Dibulan Ramadhan yang penuh berkah ini polemik soal warung makan yang buka siang hari tanpa penghalang alias beber, Satpol PP yang merazia warung makan. Pendapat ini dan itu. Hadeuhhh. Pusing palak Barbie.