Mohon tunggu...
Ananto W
Ananto W Mohon Tunggu... Administrasi - saya orang tua biasa yang pingin tahu, pingin bahagia (hihiHI)

pernah bekerja di sektor keuangan, ingin tahu banyak hal

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Rasionalisasi Korupsi SetNov

30 Mei 2018   07:30 Diperbarui: 30 Mei 2018   07:51 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Dalam pembelaannya Setia Novanto (64), terpidana korupsi el KTP membuat puisi (merdeka.com) mengenai dirinya  dengan judul "Di Kolong Meja":

Di kolong meja tersimpan cerita
seorang anak manusia menggapai hidup
gigih dari hari ke hari
meraih ilmu dalam keterbatasan
untuk cita-cita kelak yang bukan semu
tanpa lelah dan malu
bersama debu menghirup udara kelabu

Di kolong meja muncul cerita sukses anak manusia yang semula bersahaja
akhirnya bisa diikuti siapa saja
karena cerdas caranya bekerja

Ia mengungkapkan dengan penuh haru, bahkan menangis, riwayat hidupnya yang merangkak dari bawah. Ia adalah anak kelima dari 8 saudara. Orangtuanya bercerai sehingga SN pindah dari Surabaya ke Jakarta. Ia meneruskan kuliah di fakultas ekonomi -- akuntansi di Surabaya dan untuk bisa membiayai kuliahnya, ia menjadi sopir tempat kos. 

Karakternya yang ulet, tidak mengenal malu membawa ia menjadi tukang cuci mobil di sebuah delaer mobil di Surabaya. Kariernya meningkat menjadi tenaga penjual sampai menjadi kepala penjualan wilayah Indonesia Timur.

Kemudian ia kembali ke Jakarta menyambung hidup dengan berbagai bisnis sampai ia berhasil menjadi sarjana penuh di ibukota. Sebut saja berbagai usaha yang pernah ditekuninya : perternakan, pengadaan bahan baku tekstil, kertas, kontraktor bangunan, industri pabrik kayu, transportasi, perdagangan, SPBU, lapangan golf bertaraf internasional, dan bisnis hotel.

Ia mengakui Sudwikatmono menjadi pembina usaha, Hayono Isman sebagai pembina politik dan Wismoyo Arismunandar sebagai pemberi wawasan untuk berjuang demi negara (detik.com). Kemudian SN berhasil mendekat ke Cendana.

Sisanya adalah sejarah sukses seorang yang ulet dan bermotivsi untuk terus maju. Apabila SN membukukan kisah hidupnya itu maka pembaca akan menaruh simpati yang besar atas keuletannya. Ia bisa beralih dari bisnis ke politik tentu menunjukkan sikap terus belajar yang tinggi. Jaringan yang berhasil dimasukinya tentu juga luar biasa. SN juga dikenal pandai dalam menghindari berbagai tuduhan kasus yang menimpanya di jaman Orba sampai jaman Reformasi.

Kemudian baru di kasus KTP-el, SN tidak bisa menyelamatkan dirinya. Mungkin ia sudah ditinggalkan oleh jaringan politik yang berhasil dibangunnya di partai Golkar. Kemungkinan yang tidak bisa dielakkan adalah kasus korupsi KTP --el itu sesungguhnya suatu kasus raksasa. KPK bilang kasus itu merugikan negara sampai Rp2,3 trilyun.

Kasus yang besar itu tentu tidak dilakukan oleh satu orang SN saja. Tidak mengherankan apabila dalam puisinya SN menyinggung mereka yang diduganya belum disentuh oleh hukum. SN pertaman-tama menyindir para penegak hukum yang diibaratkan sebagai "pembantu" sebagai "pura-pura tidak tahu ada debu yang belum tersapu." Siapa yang menjadi "biangnya debu sengaja tidak disapu."

Teman, rekan atau entah siapa disebutnya sebagai "pecundang" yang berseumbynyi sembari cuci tangan, cuci kaki, cuci muka, cuci warisan kesalahan. Malahan SN menulis dengan nada keras mereka sebagai "banci" yang tega melihat teman sebagai korban.

SN anehnya tidak menjadi kolaborator hukum untuk ikut menjerat mereka yang ia tuduh ikut terlibat itu. Perhitungan untung rugi rupanya sudah dikotak-katik setelah kasusnya bolak-balik diangkat ke permukaan. Kasus SN itu seperti gabus yang timbul tenggelam di permukaan air. Proses perkaranya menjadi dakwaan di pengadilan menjadi drama seru tersendiri yang selayaknya bisa menjadi sinetron.

Kisah SN mirip kisah dari pahlawan menjadi pesakitan -- "from Hero to Zero." Penampilannya yang tenang, percaya diri, mengungah muka tanpa ekspresi pada akhirnya berubah menjadi muka masam dan sedih karena nasibnya berakhir di Sukamiskin. 

SN memang pantas menyebut teman-temannya tidak mendukung, meninggalkannya. Dari sisi itu, ia benar karena bagaimanapun ia diduga menjadi semacam "bendahara" yang handal entah untuk rekan partai maupun partainya. Tidak ada orang yang tahu selengkapnya. Merlin, tokoh kunci di kasus KTP-el sudah tewas bunuh diri di AS.

Maka menjadi pertanyaan publik untuk kasus mega korupsi itu. Apakah SN itu "apel yang busuk" atau SN itu mewakili "panenan yang busuk." Tahu bedanya? Apel yang busuk di sebuah keranjang harus dikeluarkan dari keranjang supaya apel yang lain tidak menjadi busuk juga. Seorang pelaku kejahatan korupsi harus dihukum agar memberikan efek jera kepada seluruh jajaran.

Tetapi bila SN tidak hanya sebuah "apel yang busuk (bad apple)" tetapi ia berada dalam satu keranjang apel yang busuk semua, maka ada panenan yang gagal (bad crop). Kita mengenal hal itu sebagai "korupsi berjamaah."

Donald R. Cressey (1917-1987) seorang sosiolog, kriminolog  mewawancari 133 tahanan di 3 lapas. Temuan peneliti itu terhadap alasan para tahanan yang menggelapkan uang menjadi klasik. Para tahanan itu telah melanggar suatu kepercayaan yang diberikan kepada mereka. Mereka memiliki kesulitan keuangan yang tidak bisa dibicarakan dengan orang lain. Lalu mereka memanipulasi kepercayaan itu dengan melihat dirinya sebagai pemakai harta yang dipercayakan kepada mereka. Mereka mempunyai alasan untuk melanggar kepercayaan. Cressy memperkenalkan konsep segitiga fraud yang sangat populer sampai saat ini.

Kecurangan (fraud) seperti korupsi terjadi dalam kondisi yang lazim disebut segitiga kecurangan (fraud triangle). Pada satu sudut segitiga itu ada tekanan, motivasi diri (pressure) untuk melanggar, mencuri uang dengan penyebab misalnya kebutuhan pengobatan keluarga, hutang, judi, narkoba. Pada sudut yang lain ada kesempatan (opportunity) untuk melakukan kecurangan, misalnya ada kelemahan sistem, kelemahan pengawasan. Di sudut yang ketiga ada pembenaran (razionalitation) atas tindakan yang dilakukan.

Para pelaku korupsi bisa saja beralasan bahwa korupsi itu mempercepat proses persetujuan suatu proyek sehingga tidak merugikan negara. Bisa juga alasannya, negara Indonesia itu kaya, maka korupsi sekian milyar tidak menjadi soal. Bisa juga dikatakan bahwa banyak orang melakukan korupsi, jadi korupsi itu sudah lazim. Berbagai alasan itu menunjukkan suatu norma pribadi, etika yang buruk, meskipun alasannya sepintas masuk akal.

Dalam pembelaan SN, rasionalisasi itu berujud kepada pembelaan terhadap citra dirinya yang telah berjasa kepada negara selama ini. SN juga menunjukkan bahwa ia bukan elite yang tiba-tiba tetapi ia adalah seorang rakyat biasa yang merangkak dari bawah. SN juga menuduh rekan-rekannya menikmati uang negara sedangkan ia sendiri yang dihukum berat. Tentu saja semua itu pembenaran.

Grafis Pribadi
Grafis Pribadi
Segitiga kecurangan itu memberi rerangka yang sederhana terhadap proses kecurangan. Pada aspek pelakunya, jelas etikanya buruk. Moralnya buruk karena melanggar kepercayaan atas amanah jabatan yang diberikan. Pada aspek kesempatan, kecurangan mengingatkan agar sistem dan prosedur ditetapkan dan dilakukan pengawasan yang baik. Hukum yang kuat dan tegas, tidak memandang bulu.   

Tekanan untuk melakukan kecurangan itu sikap melanggar kepercayaan, amanah jabatan. Maka SN bisa dipandang sebagai sebuah"apel busuk"yang harus disisihkan dari sistem, maksudnya dihukum. 

Namun bisa juga, ini yang mengkhawatirkan, SN adalah bagian dari fenomena yang disebut sebagai "panenan yang gagal." Dalam fenomena itu, seluruh jajaran rekan kerja, misalnya Komisi Anggaran, sudah "busuk."satu panenan yang gagal karena busuk seharusnya dibuang. Norma pribadi ditunjukkan dengan fenomena "apel busuk" sedangkan norma sosial ditunjukkan dengan fenomena "panen gagal."

Mahmud MD mengatakan bahwa kita ini mempunyai pejabat-pejabat yang moralnya buruk. Itu fenomena panenan yang gagal. Menakutkan, bukan ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun