SN anehnya tidak menjadi kolaborator hukum untuk ikut menjerat mereka yang ia tuduh ikut terlibat itu. Perhitungan untung rugi rupanya sudah dikotak-katik setelah kasusnya bolak-balik diangkat ke permukaan. Kasus SN itu seperti gabus yang timbul tenggelam di permukaan air. Proses perkaranya menjadi dakwaan di pengadilan menjadi drama seru tersendiri yang selayaknya bisa menjadi sinetron.
Kisah SN mirip kisah dari pahlawan menjadi pesakitan -- "from Hero to Zero." Penampilannya yang tenang, percaya diri, mengungah muka tanpa ekspresi pada akhirnya berubah menjadi muka masam dan sedih karena nasibnya berakhir di Sukamiskin.Â
SN memang pantas menyebut teman-temannya tidak mendukung, meninggalkannya. Dari sisi itu, ia benar karena bagaimanapun ia diduga menjadi semacam "bendahara" yang handal entah untuk rekan partai maupun partainya. Tidak ada orang yang tahu selengkapnya. Merlin, tokoh kunci di kasus KTP-el sudah tewas bunuh diri di AS.
Maka menjadi pertanyaan publik untuk kasus mega korupsi itu. Apakah SN itu "apel yang busuk" atau SN itu mewakili "panenan yang busuk." Tahu bedanya? Apel yang busuk di sebuah keranjang harus dikeluarkan dari keranjang supaya apel yang lain tidak menjadi busuk juga. Seorang pelaku kejahatan korupsi harus dihukum agar memberikan efek jera kepada seluruh jajaran.
Tetapi bila SN tidak hanya sebuah "apel yang busuk (bad apple)" tetapi ia berada dalam satu keranjang apel yang busuk semua, maka ada panenan yang gagal (bad crop). Kita mengenal hal itu sebagai "korupsi berjamaah."
Donald R. Cressey (1917-1987) seorang sosiolog, kriminolog  mewawancari 133 tahanan di 3 lapas. Temuan peneliti itu terhadap alasan para tahanan yang menggelapkan uang menjadi klasik. Para tahanan itu telah melanggar suatu kepercayaan yang diberikan kepada mereka. Mereka memiliki kesulitan keuangan yang tidak bisa dibicarakan dengan orang lain. Lalu mereka memanipulasi kepercayaan itu dengan melihat dirinya sebagai pemakai harta yang dipercayakan kepada mereka. Mereka mempunyai alasan untuk melanggar kepercayaan. Cressy memperkenalkan konsep segitiga fraud yang sangat populer sampai saat ini.
Kecurangan (fraud) seperti korupsi terjadi dalam kondisi yang lazim disebut segitiga kecurangan (fraud triangle). Pada satu sudut segitiga itu ada tekanan, motivasi diri (pressure) untuk melanggar, mencuri uang dengan penyebab misalnya kebutuhan pengobatan keluarga, hutang, judi, narkoba. Pada sudut yang lain ada kesempatan (opportunity) untuk melakukan kecurangan, misalnya ada kelemahan sistem, kelemahan pengawasan. Di sudut yang ketiga ada pembenaran (razionalitation) atas tindakan yang dilakukan.
Para pelaku korupsi bisa saja beralasan bahwa korupsi itu mempercepat proses persetujuan suatu proyek sehingga tidak merugikan negara. Bisa juga alasannya, negara Indonesia itu kaya, maka korupsi sekian milyar tidak menjadi soal. Bisa juga dikatakan bahwa banyak orang melakukan korupsi, jadi korupsi itu sudah lazim. Berbagai alasan itu menunjukkan suatu norma pribadi, etika yang buruk, meskipun alasannya sepintas masuk akal.
Dalam pembelaan SN, rasionalisasi itu berujud kepada pembelaan terhadap citra dirinya yang telah berjasa kepada negara selama ini. SN juga menunjukkan bahwa ia bukan elite yang tiba-tiba tetapi ia adalah seorang rakyat biasa yang merangkak dari bawah. SN juga menuduh rekan-rekannya menikmati uang negara sedangkan ia sendiri yang dihukum berat. Tentu saja semua itu pembenaran.
Tekanan untuk melakukan kecurangan itu sikap melanggar kepercayaan, amanah jabatan. Maka SN bisa dipandang sebagai sebuah"apel busuk"yang harus disisihkan dari sistem, maksudnya dihukum.Â