Mohon tunggu...
Ananto W
Ananto W Mohon Tunggu... Administrasi - saya orang tua biasa yang pingin tahu, pingin bahagia (hihiHI)

pernah bekerja di sektor keuangan, ingin tahu banyak hal

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Media Sosial adalah Panggung

6 Maret 2018   10:10 Diperbarui: 6 Maret 2018   10:11 779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Media sosial adalah panggung. Orang bisa tampil anonim. Tapi banyak orang mencoba mendirikan panggung untuk dirinya sendiri melalui media sosial. di panggung yang dia dirikan itu, dia berbicara, berkomentar, tampil. Tentu saja bebas menurut penilaiannya sendiri. Sayang panggung itu panggung pribadi yang meskipun tidak minta bayaran penontonnya tetapi aktornya caper nya luar biasa. Setiap isu cepat disambar dengan komentar komentar. Hebatnya, komentar yang mendukung, mengiyakan tidak laku karena tidak ada 'nilai jual' buat situs berita. 

Panggung itu milik,... ya benar, ...artis, politikus dan mereka yang disebut selebrita.  Ciri-cirinya begini. Bikin komentar yang tajam, keras dan vulgar tidak masalah. Komentar jangan mendukung pemerintah, tapi sebaliknya. Jangan mendukung orang lain yang bukan mentor. Narsis? harus. Membuat malu diri sendiri karena komentarnya bodoh tidak masalah. Wong namanya komentar. Orang jawa bilang ndelok  (kendhel alok) - menonton itu cirinya berani berkomentar.  Itulah ciri komentar politikus yang suka menonton. Lawannya tentu saja mereka yang bekerja karena bekerja sambil berbicara itu lumayan sulit.

Artis, selebrita lain lagi. Bikin isu yang mewah, wah, heboh. Tontonan realiti yang sangat laku di AS ditiru di sini. Jupe, almarhum, termasuk yang pandai mengolah emosi media dengan komentarnya, pertengkarannya dengan artis lain, kisah cintanya.

Lalu panggung itu menjadi panggung hukum. Orang dicemarkan nama baiknya, terus menuntut. Tuntut ini dibalas tuntutan itu. 

Jadi panggung itu bermanfaat atau tidak? Panggung itu layak ditonton bersama dan dimaknai? Tentu saja tidak. Panggung itu berisik. Bukan musik tetapi derau, bising. Noise. Jaman abad pertengahan di Eropa, orang yang harga dirinya terganggu akan menantang lawannya beradu pedang atau pestol sampai salah satunya kalah. 

Mana berani mereka yang membuat panggung dan berdiri di atasnya berperilaku jantan seperti itu. Mereka umumnya akan berlindung di balik pengacara.

Panggung itu juga cerminan dari 'budaya' crybabies- budaya cengeng, berkeluh kesah, suka mengadu dan menuntut yang marak di AS. Kita bisa mengamati bahwa mereka yang tidak suka mengadu atas pencemaran nama baik adalah tokoh tokoh yang pada umumnya kita layak hormati.

Jaman 'now' itu banyak derau. Tutup telinga, tutup mata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun