Media sosial adalah panggung. Orang bisa tampil anonim. Tapi banyak orang mencoba mendirikan panggung untuk dirinya sendiri melalui media sosial. di panggung yang dia dirikan itu, dia berbicara, berkomentar, tampil. Tentu saja bebas menurut penilaiannya sendiri. Sayang panggung itu panggung pribadi yang meskipun tidak minta bayaran penontonnya tetapi aktornya caper nya luar biasa. Setiap isu cepat disambar dengan komentar komentar. Hebatnya, komentar yang mendukung, mengiyakan tidak laku karena tidak ada 'nilai jual' buat situs berita.Â
Panggung itu milik,... ya benar, ...artis, politikus dan mereka yang disebut selebrita.  Ciri-cirinya begini. Bikin komentar yang tajam, keras dan vulgar tidak masalah. Komentar jangan mendukung pemerintah, tapi sebaliknya. Jangan mendukung orang lain yang bukan mentor. Narsis? harus. Membuat malu diri sendiri karena komentarnya bodoh tidak masalah. Wong namanya komentar. Orang jawa bilang ndelok (kendhel alok) - menonton itu cirinya berani berkomentar.  Itulah ciri komentar politikus yang suka menonton. Lawannya tentu saja mereka yang bekerja karena bekerja sambil berbicara itu lumayan sulit.
Artis, selebrita lain lagi. Bikin isu yang mewah, wah, heboh. Tontonan realiti yang sangat laku di AS ditiru di sini. Jupe, almarhum, termasuk yang pandai mengolah emosi media dengan komentarnya, pertengkarannya dengan artis lain, kisah cintanya.
Lalu panggung itu menjadi panggung hukum. Orang dicemarkan nama baiknya, terus menuntut. Tuntut ini dibalas tuntutan itu.Â
Jadi panggung itu bermanfaat atau tidak? Panggung itu layak ditonton bersama dan dimaknai? Tentu saja tidak. Panggung itu berisik. Bukan musik tetapi derau, bising. Noise. Jaman abad pertengahan di Eropa, orang yang harga dirinya terganggu akan menantang lawannya beradu pedang atau pestol sampai salah satunya kalah.Â
Mana berani mereka yang membuat panggung dan berdiri di atasnya berperilaku jantan seperti itu. Mereka umumnya akan berlindung di balik pengacara.
Panggung itu juga cerminan dari 'budaya' crybabies- budaya cengeng, berkeluh kesah, suka mengadu dan menuntut yang marak di AS. Kita bisa mengamati bahwa mereka yang tidak suka mengadu atas pencemaran nama baik adalah tokoh tokoh yang pada umumnya kita layak hormati.
Jaman 'now' itu banyak derau. Tutup telinga, tutup mata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H