IV. Allah Esa dan Tritunggal, Pandangan Thomas Aquinas menyempurnakan Karya St. Agustinus
Sebelum kita masuk pada gagasan Thomas Aquinas yang menyempurnakan karya St, Agustinus, baiklah kita lebih dahulu mengetahui Ajaran St. Agustinus tentang Trinitas;
Prakondisi: Keterbatasan Manusia dan ketakterbatasan Allah
Pertanyaan yang hendak diajukan di sini ialah apakah kita bisa mengetahui Allah? Jawaban lugasnya ialah "tidak!" Kita tidak dapat mengetahui Allah sebagaimana Ia persisnya ada. Allah tidak bisa disepertiapakan dengan cara apapun. Inilah kendala kita dalam membicarakan Allah, yaitu keterbatasan manusia dan ketakterbatasan Allah. Akan tetapi, meskipun sesuatu yang terbatas tidak bisa memahami yang tak terbatas, tetapi yang tak terbatas bisa memahami yang terbatas. Oleh karena itu, hubungan keduanya hanya mungkin atas prakarsa yang tak terbatas itu dengan memasuki wilayah yang terbatas itu. Dengan kata lain, hanya Allah sendirilah yang membuat dirinya mungkin dikenal dengan menjadi terbatas seperti manusia.
Dengan demikian, pengenalan akan Allah masih mungkin meski tidak bisa seluruhnya sebab manusia masih terikat dengan keterbatasannya. Pengenalan yang sesungguhnya akan Allah hanya akan terjadi setelah manusia mati sebagaimana St Paulus berkata, "Saudara-saudaraku yang kekasih, sekarang kita adalah anak-anak Allah, tetapi belum nyata apa keadaan kita kelak; akan tetapi kita tahu, bahwa apabila Kristus menyatakan diri-Nya, kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya" (1 Yoh 3:2).
Pertanyaan berikut ialah bagaimanakah status teologi? Teologi (Theos: Allah dan Logos: wacana, kata) atau pembicaraan tentang Allah merupakan upaya manusia membahasakan Allah dengan kesadaran penuh akan keterbatasannya sebagai makhluk historis (yang mewaktu dan menempati ruang). Dalam hal ini, kita tetap mengandalkan akal budi sebagai sesuatu yang menghubungkan kita dengan realitas non fisik atau realitas-realitas ilahi sebagaimana slogan terkenal dari st. Anselmus Canterbury (Fides Quaerenz intellectum).
St. Agustinus juga mengatakan bahwa melalui akal budi, Allah memberi penerangan untuk menuntun kita agar dapat mengenalnya. Penerangan ini dikenal dengan istilah illuminatio (ing: to illuminate). (http://fraterxaverian.org/blog/2019/10/18/Ajaran St. Agustinus Tentang Allah-tritunggal, diakses pada tanggal 2 Oktober 2020)
Itulah sebabnya kita bisa sedikit memahami (mendefinisikan) Allah dengan menyebutnya Pencipta, Bapa, Maha Pengasih, Maha Penyayang, yang Maha Esa, dll. Akan tetapi, segala atribut yang dikenakan kepada Allah tersebut tentu saja tidak sama dengan Allah pada dirinya sendiri. Allah pada dirinya sendiri tidak bisa disepertiapakan. Allah tidak tertampung dalam konsep. Dengan demikian, atribut yang kita kenakan pada Allah tersebut statusnya hanya merupakan yang paling mendekati sejauh kita bisa. Sebagai contoh misalanya ketika Anda hendak menggambarkan setan pada seorang anak kecil. Hal pertama yang muncul dalam kepala anda ialah bagaimana caranya agar setan tersebut bisa dipahami si anak dalam keterbatasan pengetahuannya. Maka anda menggambarkannya misalnya bahwa setan itu punya gigi panjang, rambut sampai di mata kaki, sehingga si anak dapat mengerti. Tentu saja gambaran seperti itu tidak sama dengan setan yang sesungguhnya. Ilustrasi ini mau mengatakan bahwa kata atau bahasa selalu terbatas dan tidak pernah sungguh-sungguh mewakili apa yang sebenarnya menjadi maksud kita. Di sini menjadi jelas bahwa pembicaraan tentang Allah tidak sama dengan Allah sendiri. Oleh karena itu, pertanyaan mengenai bagaimana mungkin satu sekaligus banyak (Tritunggal) menjadi tidak relevan. Demikian juga jika kita bertanya bagaimana mungkin Allah yang adalah Bapa melahirkan Putera? Apakah laki-laki bisa melahirkan? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tidak bermutu. Jawabannya sederhana yakni memangnya Anda tahu apa arti satu atau tiga pada Allah? Siapa yang sungguh mengenal Allah? 'Satu' atau 'tiga' tidak boleh diartikan seperti satu potong roti atau tiga buah pisang. Ingat, kata-kata yang kita gunakan untuk menggambarkan Allah selalu kurang dari yang sebenarnya kita maksudkan. Maka relasi Bapa-Putera tentu saja tidak seremeh hubungan biologis yang kita pikirkan.
Teolog spekulatif yang jenius, Thomas Aquinas menyempurnakan karya St. Agustinus. Dia mengembangkan sistem trinitaris yang amat logis. Pertama-tama dia bertolak dari apa yang menyatukan ketiga pribadi itu, yakni hakikat mereka. Dengan itu sejak dini ia memberi jaminan ciri ilahi dan kesatuan hakikat dari pribadi-pribadi. Kemudian ia mencermati apa yang muncul dari kesatuan itu. Dia mengikuti jalan yang telah dibuka Agustinus dan mengambil pikiran sebagai analogi sebagaimana dia adanya, dia mengetahui (Sabda, Putera) dan mencintai (hadiah, Roh Kudus). Sesudah dia menegaskan perbedaan antara Pribadi dengan bertolak dari pengasalan mereka (cara berbeda-beda satu dihasilkan atau berasal dari yang lain), Thomas lantas menyimak hubungan riil antara mereka.
Di sini Thomas Aquinas memperdalam dan dalam arti tertentu menyempurnakan intuisi Agustinus. Hubungan terjadi oleh karena kenyataan bahwa mereka diasalkan (Leonardo Boff, 1999: 68-69). Apabila orang mempertimbangkan dengan baik jenis hubungan yang ada antara mereka, maka menjadi jelas. Menurut Thomas Aqiunas justru relasi semacam itu yang membentuk realitas Trinitas dari dalam. Hubungan itu bersifat permanen dan subsisten (relations subsistentes) karena dalam Allah tak ada yang sifatnya kebetulan dan aksidental seperti pada makhluk. Agustinus telah melihat bahwa Pribadi-Pribadi sebagai subjek yang berinterrelasi, dan bahwa hubungan identik dengan hakikat. Namun Agustinus menyatakan secara jelas bahwa bahwa hubungan itu bersifat substansial.
Thomas Aquinas justru mendefinisikan Pribadi-Pribadi ilahi sebagai hubungan yang bereksistensi dalam dirinya sendiri, sebagai relationes subsistentes. Sebagaimana pribadi berarti keberadaan yang khas dalam kodrat manusia, kira-kira mempunyai arti demikian pribadi secara anolog. Dalam Trinitas keberadaan itu bersifat khas dalam kodrat ilahi. Keberadaan substansial ini selalu berada dalam hubungan yang kekal dengan keberdaan substansial yang lain. Jadi di sini kita berhadapan dengan Pribadi-Pribadi ilahi, yang sebagai keberadaan yang saling berelasi secara permanen dan kekal membentuk satu Allah dan satu kodrat ilahi. Dengan begitu Thomas Aquinas telah menyempurnakan dinamika spekulatif Agustinus dan menjadi teolog sistematis agung perihal misteri Trinitas. Â Dalam Kitab Suci, Yesus terang tampil sebagai seorang nabi yang menyampaikan firman-firman Allah dan Dia sendiri adalah firman Allah. Dalam diri Yesus Allah menyatakan diri secara tuntas dan definitive. (Tom Jacobs SJ. Imanuel, 1999: 251-252).