Argumentasi pertama, berpusat pada persoalan pengenalan akan Allah dan eksistensi-Nya. Thomas Aquinas mengakui bahwa pengenalan akan Allah bersifat kodrati; itu berarti bahwa pengenalan itu sudah tertanam dalam diri manusia, tetapi pengenalan itu bukanlah menunjukkan bahwa Allah yang dikenal dalam kodrat adalah Allah yang ada dalam diri-Nya sendiri atau Allah yang dikenal dari diri-Nya sendiri (realitas hakiki Allah). Thomas Aquinas mendasarkan argumentasi ini pada pembedaan yang dibuat oleh Aristoteles, yaitu di satu pihak sesuatu yang dikenal jelas pada dirinya sendiri tetapi tidak dikenal jelas untuk kita, dan dipihak lain sesuatu yang dikenal jelas pada dirinya sendiri dan dikenal jelas untuk kita. Bila kita mengatakan bahwa Allah itu adalah sesuatu yang dikenal jelas pada diri-Nya tetapi tidak dikenal jelas untuk kita, maka itu berarti, hakekat Allah itu sendiri. Allah pada hakekat-Nya jelas pada diri-Nya sendiri, tetapi tidak dikenal jelas untuk kita. Hakekat-Nya tidak kita kenal, tetapi bisa kita pikirkan. Apa yang kita pikirkan belum tentu sesuatu yang ada secara real. Dengan demikian, argumentasi ini melawan pikiran Anselmus dari Canterbury yang menegaskan bahwa Allah itu sesuatu "Ada" yang lebih besar dari apa yang dapat kita pikirkan. Kalimat Anselmus berbunyi berikut; "Et quidem credimus, te esse aliquid quo nihil, maius cogitari possit (dan kami percaya bahwa Engkau adalah sesuatu yang lebih besar dari pada itu tak dapat dibayangkan). Pengertian Anselmus menunjukkan bahwa Allah sebagai yang lebih besar dari pada yang dapat kita pikirkan belum jelas untuk kita atau belum kita kenal, dan hal ini justru adalah hakekat-Nya yang tidak dapat kenal.
Thomas Aquinas menegaskan perlunya pembuktian akan adanya sesuatu yang menyentuh hakekat Allah. Untuk itu Thomas Aquinas berpegang pada ungkapan kedua yang ditimba dari pikiran Aristoteles, yaitu bahwa Allah pada hakekatnya jelas dalam diri-Nya sendiri dan dikenal jelas untuk kita. Thomas Aquinas bertolak dari analisa bahasa, bahwa predikat yaitu eksistensi atau realitas keberadaan predikat "est dalam kata kerja "esse", identik atau termasuk dalam "subjek" (subjeknya; Deus). Dengan bertolak dari logika ini kita perlu membuktikan adanya Allah. Kita menaruh perhatian pada predikatnya yaitu pada eksistensi-Nya atau realitas keberadaan-Nya yang dikenal jelas untuk kita atau yang kita kenal jelas. Eksistensinya terlihat dalam karya-Nya yang dapat dialami dalam dunia ciptaan. Melalui hasil karya Allah yang dialami dalam dunia ciptaan pembuktiaan akan adanya Allah ditempuh. Melalui pembuktian itu adanya Allah dapat dikenal jelas untuk kita.
Argumentasi kedua; berhubungan dengan pembedaan antara apa yang dikenal jelas dalam dirinya dan dikenal jelas untuk kita dari suatu pihak, dan dipihak lain apa yang menyentuh prinsip umum dan prinsip khusus. Sudah dikatakan bahwa pengenalan akan Allah sudah tertanam secara kodrati dalam diri manusia. Pendirian ini menunjuk kepada suatu prinsip umum dan prinsip umum ini meliputi juga pemahaman bahwa Allah kebahagiaan manusia, karena manusia dari kodratnya rindu akan kebahagiaan. Prinsip umum bahwa Allah adalah sebab kebahagiaan yang diusahakan manusia belum mengatakan apakah Allah ada atau Allah tidak ada. Prinsip umum ini memang jelas dalam pengertiannya, tetapi tidak dikenal jelas untuk semua manusia. Prinsip umum ini harus dibuktikan melalui satu prinsip khusus yaitu suatu ilmu pengetahuan khusus yang digunakan untuk membuktikan bahwa Allah dapat dikenal. Prinsip khusus itu adalah theologia sebagai ilmu pengetahuan khusus.
Argumentasi ketiga, berhubungan dengan pernyataan bahwa Allah adalah kebenaran. Di sini Thomas Aquinas mendasarkan argumentasinya pada pendirian Agustinus bahwa apa yang berasal dari kebenaran adalah kebenaran itu sendiri. Peryataan ini bagi Thomas Aquinas belum jelas apakah Allah adalah kebenaran. Kebenaran memang dikenal jelas dari dirinya sendiri, karena ia terikat dengan sebab pertama sebagai realitas ada mutlak, tetapi masih tidak jelas untuk kita. Karena itu adalah satu keharusan untuk membuktikan apakah kebenaran yang berasal dari Allah adalah Allah sendiri. Untuk itu dibutuhkan suatu jalan pembuktian metafisik yang diambil alih oleh Thomas Aquinas dari pemikiran Aristoteles dalam buku Aristoteles physic. Dalam buku metaphysic Aristoteles termuat ajaran tentang sebab pertama, potensi aktus dan sebab yang tidak dapat digerakkan, dan satu bagian dari buku metaphysic Airstoteles ini diangkat oleh Thomas Aquinas untuk pengantar kedalam suatu ilmu baru yang disebut Thomas Aquinas sebagai Sacra Doctrina (ajaran suci).
Persoalan kedua, dikaji dari artikel kedua dari tema yang sama. Artikel itu berbunyi; "Utrum Deum esse sit demonstrabile" (Apakah dapat dibuktikan bahwa Allah ada) Thomas menjawab bahwa Allah dapat dibuktikan. Cara bagaimana Allah dapat dibuktikan adalah cara induktif (metode induktif) yang bertolak dari cara pembuktian Aristoteles. Thomas Aquinas mau memberi jawaban atas tiga keberatan yang mengatakan bahwa Allah tidak dapat dibuktikan.
Keberatan pertama, berasal dari pendirian bahwa eksistensi Allah adalah perkara iman. Dan hal yang menyentuh bahwa perkara iman tidak bisa dibuktikan. Keberatan kedua, berasal dari pendirian bahwa pengertian tentang hakekat Allah adalah satu istilah tengah dalam pembuktian silogisme. Istilah ini berbicara tentang "apa-nya" (hakekat-Nya) dan tentang hakekat-Nya atau apanya Allah itu kita sungguh tidak tahu. Kita hanya tahu bahwa sesuatu itu bukan Allah, sebagaimana yang dikatakan oleh Johanes Damascenus yang mengatakan bahwa Allah tidak dapat dibuktikan. Keberatan ketiga, berhubungan dengan keberatan terhadap metode pembuktian induktif. Metode ini menunjukkan bahwa Allah dapat dibuktikan melalui hasil karya-Nya dalam dunia ciptaan. Ciptaan sebagai hasil karya Allah tidak mempunyai hubungan dengan hakekat Allah karena Allah tidak berakhir dan tidak fana, sementara hasil karya ciptaan-Nya fana dan berakhir. Karena itu tidak lah dapat dibuktikan bahwa Allah ada.
Terhadap tiga keberatan itu Thomas Aquinas menunjukkan kemungkinan metode untuk membuktikan adanya Allah. Ia mengambil alih posisi Aristoteles yang memperlihatkan adanya dua metode yaitu metode deduktif dan metode induktif. Metode deduktif bertolak dari apa yang dikatakan Thomas Aquinas "demonstration propter quid". Itu berarti bahwa orang membuktikan sesuatu dari dasar yang membawa akibat. Dasar adalah sebab yang ditempatkan dalam term tengah dalam pembuktian silogisme. Dasar menyentuh pengertian tentang "apa itu" (hakekat). Metode induktif bertolak dari apa yang disebut Thomas Aquinas "demonstratio quia". Itu berarti bahwa orang membuktikan sesuatu, dengan bertolak dari akibat yang menghantar kepada sebab. Thomas berpendapat bahwa membuktikan Allah secara deduktif adalah tidak mungkin, karena kita tidak mengenal "apa-Nya (hakekat) dari Allah. Hanya metode induktiflah yang cocok utntuk membuktikan eksistensi Allah. Skema induktif dalam silogisme adalah sebagai berikurt premis mayor, premis minor, dan premis umum atau konklusi. Melawan keberatan pertama Thomas Aquinas mengatakan bahwa Allah ada dan bahwa Dia dapat dikenal berkat bantuan akal budi dan iman. Iman mengandaikan pengenalan kodrati sebagaimana rahmat mengandaikan kodrat dan pemenuhan mengandaikan hal yang dapat dipenuhi.
Tak satu pun menghalang bahwa apa yang dapat dikenal dan diketahui pada dirinya sendiri diterima sebagai sesuatu yang dimani oleh orang yang tidak mengerti pembuktian. Melawan keberatan kedua, Thomas menegaskan bahwa tertutup kemungkinan untuk menggunakan metode deduktif dan terbuka pada kemungkinan untuk penerapan metode induktif, sebab dalam metode induktif bukan dibuktikan hakekat-Nya Allah, tetapi nama-nama atau terminology yang dikenakan pada Allah dan nama untuk-Nya dapat ditemui dan dapat dibuktikan dalam hasil karya ciptaan Allah. Melawan keberatan ketiga, tentang kelemahan metode induktif, Thomas Aquinas menjelaskan bahwa pengenalan akan Allah dengan bertolak dari hasil ciptaan-Nya, selalu tinggal tidak sempurna. Dasarnya ialah bahwa hasil ciptaan-Nya memang menghantar kita kepada dasar utama dari seluruh ciptaan itu, dan kita tidak mengenal dasar utama ini secara sempurna. Karena itu, pengenalan dengan Allah sebagai dasar utama juga tidak lengkap.
Persoalan ketiga, termuat dalam artikel yang ketiga berbunyi "Utrum Deus Sit" (Apakah Allah ada). Persoalan ini di pecahkan oleh Thomas Aquinas dengan Lima jalan pembuktian (quinque viae). Lima jalan pembuktian itu berdasarkan pada pengalaman dunia material (metode induktif) yang menuntun kita kepada pengenalan bahwa Allah ada. Sebelum kita menyebutkan Lima jalan pembuktian, Thomas Aquinas berhadapan dengan dua keberatan yang mengatakan bahwa Allah tidak ada. Keberatan pertama mengatakan bahwa Allah tidak ada karena kejahatan tetap ada diatas dunia. Bila ada Allah mengapa ada kejahatan? Keberatan kedua berasal dari pendirian yang mengatakan bahwa Allah adalah suatu prinsip yang berlebihan dan tidak perlu. Manusia tidak membutuhkan-Nya, karena sudalah cukup bahwa kodrat alam dan manusia dengan akal budi dan kehendaknya menjadi prinsip untuk menjelaskan manusia dan dunia. Keberatan ini dijawab tuntas oleh Tomas Aquinas dalam Lima pembuktian tentang Allah. Lima pembuktian tentang Allah itu adalah sebagai berikut;
Gerak. Â Thomas Aquinas berkata "prima autem et manifestior via est, quae sumitur ex parte motus" (Tetapi jalan yang pertama dan paling mencolok mata adalah jalan yang bertolak dari gerakkan). Thomas Aquinas mengatakan bahwa penggerak dan yang digerakkan berjalan tanpa akhir. Harus ada penggerak pertama yang tidak digerakkan oleh yang lain. Penggerak pertama tidak lagi menjadi penggerak yang digerakkan. Penggerak pertama yang tidak lagi digerakkan ini justru di beri nama Allah.
Sebab-akibat. Thomas Aquinas berkata "secunda via est ex ratione causae efficientis (Jalan kedua diambil dari pengertian tentang sebab yang membawa akibat). Jalan kedua ini erat berhubungan dengan jalan pertama. Di dalam duni material terdapat satu tata tertib. Tata tertib itu adalah sebab yang membawa akibat atau dengan kata sederhana, hubungan sebab akibat yakni hubungan sebab-akibat. Itu berarti bahwa sesuatu yang diakibatkan berasal dari satu sebab atau penyebab. Penyebab ini disebut penyebab yang membawa akibat. Menurut Thomas Aquinas ini tidak mungkin. Thomas berkesimpulan bahwa pasti ada sebab pertama yang tidak disebabkan oleh yang lain. Sebab pertama itu diberi nama Allah.