Lembayung senja 17 Desember terukir begitu indah bagai lukisan Da Vinci. Tapi hatinya tak seindah suasana nabastala kala itu. Dibalik tirai booth berlatar biru dia memutar kisah perihal hati yang dipatahkan oleh sosok yang diyakini garis jodoh. Segala madah 1/2 malam kini berbalik menghantam kalbu. Sebait tanya pun terangkai dari bibirnya, "mungkinkah Tuhan tak menginginkanku berbagi cinta dengan kaum Adam?" kalimat itu menyadarkanku akan satu hal kalau panah asmara telah menembus lapisan endokardium, hingga memancarkan luka yang terucap melalui rintikkan air dari pelupuk matanya.
  "Po ... kali ini lukanya menyebar keseluruh urat nadiku. Perihnya bagai satu ton tuan rawit diblend ke jantungku. Mengapa aku harus tersandung pada sosok yang mustahil diaminkan?" ucapnya penuh senduh.Â
  "Sudah kukatakan padamu jangan terlalu mendalami peranmu. Kau bukan pemeran utama di chapter kisahnya kau hanya peran pengganti!" sabda itu hanya flasback yang sudah tak mungkin memperbaiki segala luka. Dia jatuh cinta pada sosok Adam yang bertahta dibalik kokohnya tembok biara. Sosok yang  tak mungkin diaminkan karena Ia calon mempelai Kristus. Mereka hanya berkencan lewat sebait doa dan pesan singkat melalui sekuntum ayat Roma dan Mazmur yang tereja melalui layar WA.
  Aku kerap melantunkan petuah padanya, jangan terlena ucapan kadang itu hanya sekedar coretan chat semata. Arus canda mulut lebih menghanyutkan daripada arus sungai Nil. Namun cintanya begitu dalam pada sosok itu hingga dia lupa jarak diantara mereka terbentang begitu jauh. Kini ruang kalbunya diutak-atik panah asmara hingga membuatnya hancur sehancur gelas yang pernah dia jatuhkan. Dalamnya cinta tak sedalam luka yang menikam ruang jantungnya. Hatiku biasa saja melihat pemandangan itu seolah aku telah membatu akan rasa empati. Mungkin karena aku kerap memutar alarm padanya. Saat itu Aku hanya mendekapnya dengan kasih sembari menyeduhkan secangkir kopi hitam tanpa gula.Â
  Baginya kopi dan air sepasang mempelai sempurna hingga tak hadirkan gula ataupun susu. Tapi senja itu dia meronta padaku. "Mengapa kau seduhkan secangkir kopi hitam tanpa gula ? Aku tersenyum tipis. "Bukankah pahitnya kopi hanya terasa kala diteguk setelah itu akan hilang dan larut di diususmu. Begitupun luka yang kau rasakan kini, sesaat saja hadirkan luka perlahan pasti sembuh." Aku begitu soktoi dengan kata-kata itu. Kalau berada diposisinya mungkin aku akan lebih hancur darinya hanya saja hatiku telah membatu bagai karang.Â
  Sejenak dia ingin bertukar hati denganku namun sayang kita tak punya kuasa untuk itu. Aku hanya bisa menghiburnya dengan melantunkan sisi komedi dalam diriku. "Ayo ... kita ke LP2H, tuan Planaria telah menunggu kehadiran PIPO (Pi dan Po)." Candaku sejenak menghipnotis piluh hingga memancarkan sinar dari pipinya. Jiwaku bergelora melihat pancaran sinar itu walau tak setulus yang biasa dia tebarkan padaku.
  Mulutnya memutar sebait kalimat penuh makna. "Lembaga pemulihan patah hati tak akan bisa memulihkan nadi yang telah patah. Aku bukan tuan Planaria yang hanya butuh detik memulihkan luka. Bagaimana aku bisa sembuh Po ... sementara lukanya menjalar sampai ke sel tulangku. Engkau tahu aku adalah alfa yang begitu ingin menjadi omega dilaman cintanya." Aku terdiam seribu haru.Â
 Aku adalah saksi betapa dia menginginkan sosok dibalik tembok biara walau kenyataan membabatnya habis-habisan. Tak ada lagi nasihat dan canda yang tereja dari mulutku selain memintanya berdoa pada Empunya Surgawi karena Dialah yang menghadirkan segala rasa. Dan aku tak lupa menjadikan dia lirik dari sebait doaku.Â
  Dia wanita yang begitu baik, berparas indah, lemah lembut, dan cintanya begitu tulus. Tetapi itu bukan jaminan tuk memalingkan pujaan dibalik biara itu. Selama ini hanya cinta setengah hati yang dia dapatkan. Walau kenyataan mendekapnya dengan balutan luka, sebaris ayat Mazmur terus dimadahkan untuk sosok dibalik tembok biara itu.
 Kiranya diberikanNya kepadamu apa yang kau kehendaki dan dijadikan berhasil segala yang kau rancangkan. Firman itu menjadi kidung paling indah dikeheningan malamnya. Aku heran kok ada hawa sebaik dia, sabarnya bak Ayub cintanya tulus bagai Habibi. Mungkin karena terlalu baik hingga mudah terbawa arus canda bibir. Kebaikan itu menggemparkan ruang penasaranku, "bukahkah engkau telah dipatahkan oleh lelaki itu lantas mengapa engkau selalu mendoakan kebahagiaannya?