Ada alasan tertentu mengapa kita dilarang mengambil gambar atau memotret di area tertentu. Alasan yang utama pasti terkait dengan keamanan publik. Bandara adalah salah satu gerbang keluar masuk sebuah kota atau negara. Mengingat semakin maraknya tindakan terorisme, mungkin kita harus berpikir seribu kali jika hendak mengambil gambar di dalam bandara. Kita mungkin hanya ingin memamerkan perjalanan kita atau memamerkan interior bandara baru di kota kita. Tapi siapa yang tahu gambar yang kita upload menjadi sumber kelompok teroris untuk mengatur strategi penyerangan dalam bandara? Ngeri sekali, bukan?
Kembali ke persoalan kasus keributan Terminal 2F Bandara Soekarno Hatta di atas. Kita semua tahu kasus Prita Mulyasari dengan RS Omni Internasional Tangerang. Padahal Prita hanya curhat dengan temannya di email dengan menyebutkan secara detil nama orang-orang yang terkait dalam kasus tersebut. Lalu temannya mengunggahnya di media sosial, dengan alasan "berbagi agar orang lain tidak mengalami kejadian yang serupa." Lalu kasus yang belum lama menyangkut Florence Sihombing yang mencaci maki Sultan HB X dan masyarakat Yogyakarta--kasus ringan yang diawali dari kesalahan Florence sendiri, Kalau memakai istilah gaul, saya bilang nih orang udah kadung mokal duluan gara-gara kesalahannya sendiri, keki sendiri, terus dilampiaskan di akun Facebook dan dishare oleh temannya. Lagi-lagi teman yang men-share. Sama juga dengan kasus terminal 2F ini. Si orang yang merasa jadi korban curhat di Path miliknya, lalu oleh temannya yang baik diunggah ke Facebook. Dari situ, dalam sehari lebih dari 52.000 orang menshare cerita tersebut. Termasuk beberapa teman saya sendiri. Yang lebih mengejutkan, salah satu dari teman saya mengaku dia tidak tahu persis isi berita--cuma ikutan share aja. Biasalah--orang tidak peduli detil. Yang penting kata pembuka dan judul saja. Lebih parahnya lagi, tribunnews mengcopy paste isi postingan tanpa minta ijin dan langsung menerbitkannya di situs online mereka.
Waah, fatal sekali. Kalau pihak Angkasa Pura II memutuskan untuk menjalankan hak mereka berdasarkan UU ITE Bab VII Pasal 27-28 itu, saya tidak bisa membayangkan berapa orang yang kena jerat. Si calon penumpang bisa dituntut karena sengaja membawa barang yang masuk dalam daftar larangan. Ah, jangan bilang tidak tahu. Kan bisa mencari tahu, toh sekarang informasi mudah sekali didapat secara online. Sejak dulu aerosol sudah masuk dalam daftar ICAO dan IATA sebagai barang yang dilarang dalam penerbangan dan sampai sekarang belum berubah. Si calon penumpang ini tidak merasa bahwa dia terbang memakai fasilitas komersial, artinya dia bepergian bersama banyak orang, artinya setiap orang punya potensi menjadi pemicu jika ada kejadian error dalam perjalanan yang akan berlangsung. Berapa banyak penumpang Indonesia yang menyadari ini? Sedikit--sangat sedikit, saya yakin. Sebab mindset kita masih menganggap kita sudah membayar tiket, jadi kita punya kebebasan alias suka-suka gue. Aturan gue, dong, mau bawa snow spray, udah mahal tau, belinya. Eeeh, malah diambil. Terus barang diacak-acak petugas lagi, mentang-mentang berseragam, arogan, baru training aja, dipecat baru tau lo. Begitulah kurang lebih nada para komentator postingan ini. Belum termasuk kesalahannya adalah mengupload foto si petugas tanpa sensor, yang artinya dia melanggar privasi si petugas. Belum lagi dia menyebutkan permintaan kenalan stasiun TV, waah, berarti si nona ini betul-betul niat mempermalukan si petugas secara luas di media massa. Tadinya saya heran untuk apa IL yang berjilbab ini beli snow spray, tapi rupanya dia hanya membantu menyebarkan curhat temannya si IOW. Benar-benar teman yang baik IL ini. Sungguh beruntung IOW punya teman baik yang siap membantunya tanpa diminta. Sebagai bonus, sebagian besar komentator mendukungnya.
[caption caption="Sumber: http://suryamalang.tribunnews.com/2015/12/14/curhat-di-facebook-dibentak-bentak-petugas-bandara-soekarno-hatta?page=3"]
Sebelum saya menutup artikel ini, saya mengulangi kembali pernyataan di bagian awal bahwa saya tidak menyanggah atau membela salah satu pihak. Jika ada orang bertanya pada saya "gimana kalo kamu yang ngalamin kejadian ini". Biasalah--ini teknik jitu mendukung dan menutupi rasa malu karena sudah melakukan kesalahan di depan umum dan rasa malu karena sudah menyebarkan keburukannya sendiri. Saya akan menjawab "ooh, kemungkinan tidak akan terjadi, sebab sudah saya antisipasi." Caranya adalah mencari informasi sebanyak mungkin dari berbagai sumber mengenai barang yang dilarang dibawa dalam penerbangan. Jika saya belum yakin, saya akan meniru nasihat orangtua saya--membawa lakban dalam tas saya. Jika barang saya dibongkar, saya bisa membungkusnya kembali tanpa masalah. Lakban tidak termasuk dalam daftar benda yang dilarang dibawa ke kabin. Atau kalau tidak mau repot, saya bawa saja ke bagian wrapping. Cuma butuh Rp 50.000,00 untuk plastic wrapping dan Rp. 15.000,00 untuk tali pengikat.
Syukurlah, sampai sekarang saya belum pernah mengalami masalah seperti ini, baik pada saat melakukan perjalanan di dalam maupun di luar negeri. Baru-baru ini saya terbang dari Yogyakarta membawa sekardus besar benang rajut dan salak pondoh dalam tas plastik. Pada saat pemeriksaan di mesin scan, si petugas sempat menghentikan mesin untuk mengamati isi tas plastik saya. Setelah beberapa detik, dia tersenyum dan berkata, "Salak pondoh." dan memutuskan barang saya lolos pemeriksaan. Saya bercanda dengan membuka sedikit tas itu supaya dia bisa melihat bahwa isinya benar-benar salak, sambil berkata, "Snake fruit, kata orang bule." Dia menyeringai. Saya yakin banyak orang menggerutu jika diperlakukan seperti itu, tapi saya maklum saja karena itu memang tugas seorang avsec, kok. Lagipula salak tampak seperti granat nanas jika dilihat sekilas. Kardus benang rajut saya malah tidak diapa-apakan. Tidak rugi kan memberikan senyum pada petugas. Mereka bekerja melayani calon penumpang begitu banyak, dan butuh energi yang luar biasa besar menghadapi persoalan serta antisipasi kemungkinan yang akan terjadi. Sedikit kerjasama takkan merugikan siapa pun, sebab barangkali suatu saat kita yang berada di posisi mereka, bekerja di bidang jasa, dan kebaikan yang kita berikan pada orang asing pasti akan kembali kepada kita sendiri.
Jika kita masih mengalami kejadian yang tak menyenangkan pada saat berhadapan dengan pelayanan publik, ada prosedur pengaduan yang sesuai jalur hukum. Alangkah baiknya seandainya IOW mencari manager in charge petugas avsec dan melaporkan kejadian tersebut, bukannya curhat di media sosial. Lakukan saja prosedur itu, sabar sedikit, jangan emosi. Semua masalah pasti bisa dibereskan. Sekali masuk ke internet, selamanya akan ada di sana. Kita bisa saja menghapus postingan kita, tapi jangan lupa, kita selalu punya teman baik, dan teman-teman baik ini juga punya teman-teman baik lain, yang siap menyebarluaskan postingan kita dengan alasan 'supaya orang lain tidak mengalami kejadian serupa.'
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H