Di tepian tebing terukir kisah
tentang waktu kecilku dulu
katanya "tebing ini adalah saksi bisu
yang bisa ungkapkan kepedihan hati
andai dapat ia lakukan, sayangnya nihil
Aku dilahirkan pada tahun dan masa pecahnya persaudararan;
akibat bengisnya rezim kemerdekaan kala itu
aku dibopong dalam selimut kain peluhÂ
berlumuran bubuk mesiu dan keringat darahÂ
yang membanjiri pori-pori kulit detak nadi pengharapanku
Dingin dan panas kutembusi, sebagai satu-satunya jalan
menuju hidup baru. Di seberang kali sana rumahku berada
Takdir hidup tak ada yang tahu
pikir tak selamanya sejalan,
di sanalah rumahku dibakar dalam dingin udara malam
Panas api meruntuhkan dingin, membungkam jeritan suara Mama dan Papa
rumahku habis, sirna ditelan udara malam
sembari kumenatap dalam diam wajah Mama dan Papa pergi
pergi bersama puing-puing rumah, membawa luka dan duka rezim ini
semua telah gugur jatuh di tebing ini, hilang dan sirna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H