Mohon tunggu...
Yosep Mau
Yosep Mau Mohon Tunggu... Penulis - Debeo Amare

Hic et Nunc

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar "Beretika" Emanuel Levinas di Tengah Pandemi Covid-19

22 September 2020   10:03 Diperbarui: 22 September 2020   10:10 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dunia saat ini digoncang dengan wabah Covid-19. Sejak 17 November 2019, ketika seorang warga dari Provinsi Hubei, Cina dilaporkan telah terinfeksi virus corona jumlah warga terinfeksi semakin meningkat dari hari ke hari. Peningkatan jumlah ini tidak hanya terjadi di Cina, tetapi juga di luar Cina, bahkan virus ini telah menyebar ke seluruh dunia. Kasus Covid-19 pertama di luar Cina, dilaporkan di Thailand pada 13 Januari 2020. 

Di Indonesia kasus Covid-19 pertama diumumkan pada 2 Maret 2020. Berdasarkan data terakhir yang dilansir dari harian kompas Sabtu, 19/9/2020, ada total kasus pasian Covid-19 sebanyak, 236.519 orang sejak pasien pertama pada Maret lalu, 170.774 orang di antaranya sembuh dari penyakit itu. Total kematian akibat Covid-19 mencapai  9.336 orang.

Semakin masifnya kasus Covid-19 di Indonesia tentu membawa dampak yang tidak sepele. Berbagai bidang kehidupan masyarakat terkena imbas dari kasus ini. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa merasakan dampaknya. Beberapa dampak  yang paling terasa dan terlihat adalah di bidang sosial dan ekonomi. Ada begitu banyak persoalan yang muncul dalam dimensi sosial maupun ekonomi semasa pandemi.

Dalam tulisan ini, saya mencoba untuk berbagi semangat dengan harapan yang besar agar kita sebagai anak-anak bangsa dari negeri tercinta ini semakin menyadari situasi pandemi dan memberikan upaya-upaya walaupun kecil namun berdampak besar bagi banyak orang.  

Oleh karena itu saya mengajak kita semua untuk berselancar dalam satu teori "etika tanggungjawab " dari Emanuel Levinas, yang didasarkan pada pertanyaan bagaimana etika tanggung jawab memberi ruang pada eksistensi kehidupan kita untuk bergerak dalam dimensi sosial dan ekonomi di tengah pandemi.

Etika tanggungjawab Emanuel Levinas dalam Dimensi  Sosial dan ekonomi

Terkadang ada statmen yang mengatakan demikian" kaum muda merupakan tulang punggung dari setiap bangsa dan negara". Kalimat ini, sering menjadi semangat bagi kaum muda untuk merealisasikan dirinya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Namun jika demikian, bagaimana dengan kaum tua? 

Jika yang muda dikatakan tulang punggung, lalu yang tua termasuk dalam tulang yang mana? Hhhh... saya menyadari bahwa tentu ada begitu banyak arti dan makna yang terkandung dalam pernyataan kaum muda sebagai tulang punggung, tetapi mungkin lebih kepada situasi atau konteks yang berbeda.

Terlepas dari itu, saya ingin mengatakan bahwa hal paling mendasar yang dibutuhkan dalam dunia masa kini adalah kebersamaan/communio. Kita diajak untuk bersama- sama melewati pandemi ini tanpa menyoroti oknum-oknum atau lembaga-lembaga terkait untuk bekerja sendiri. Maka dari itu sangat penting bila pemikiran dari Levinas digunakan untuk membaca konteks kehidupan kita, cara berpikir dan cara bertindak ataupun disposisi keadaan kita di masa pandemi.

 Filsafat emanuel Levinas pada dasarnya mengambil alih pandangan Heidegger tentang ontologi dan tentang hubungan yang dijalin manusia dengan Ada.[1] Levinas dalam dua karyanya Totalitas dan Tak Berhingga  dan Lain dari Pada Ada Atau di Seberang Esensi, merumuskan pemikirannya dengan radikal. 

Dalam karya pertamanya ia lebih menekanka aspek ontologis yang ditampilkan dari wajah sendiri sedangkan dalam karyanya yang kedua ia lebih konsekuen dalam suasana metafisis.[2] Sehingga membawanya pada pemikiran subjektivitas. Dalam hal ini ia mempertanyakan; 

apakah subjektivitas masih dapat dimengerti sebagai kesadaran atau eksistensi? Ternyata tidak. Subjek bukanlah pour-soi (bagi dirinya), katanya sekarang, melainnkan I' un-pour-I' autre (seorang untuk orang lain). Subjek menjadi subjek karena bertanggungjawab atas orang lain.[3]

Levinas kemudian mempertegaskan lagi konsep pemikirannya bahwa; saya bertanggung jawab atas perbuatan orang lain, malah saya bertanggungjawab atas pertanggungjawaban orang lain.[4]

 konsep etika tanggungjawab inilah yang menjadi dasar bagaimana kita mendalami Covid-19 dari perspektif sosial. Sebagaimana yang diketahui bahwa kebijakan pertama yang diambil oleh pemerintah secara luas dalam menghambat penyebaran Covid-19 adalah dengan tidak berjabatan tangan. 

Dalam hal ini terlihat ada persoalan mengapa, karena masyarakat yang biasa bersalaman bahkan saling berpelukan ketika bertemu teman, kerabat, rekan kerja, dan lainnya kini hanya cukup dengan mengatupkan tangan sebagai gantiya. Berbeda? Pasti. Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat dengan rasa kekeluargaan yang tinggi tentu merasa aneh dan ada sesuatu yang kurang jika tidak bersalaman.

Selanjutnya, pemerintah menghimbau warga untuk menerapkan social distancing (pembatasan sosial) sebagai upaya untuk mengurangi penyebaran virus. Work from home (WFH) dan study from home (SFH) merupakan contoh konkritnya. Kegiatan perkantoran dialihkan ke rumah. 

Para karyawan membawa pekerjaan mereka ke rumah. Bahkan pertemuan atau rapat dilakukan secara online lewat berbagai plafrom video conference yang tersedia. Kegiatan belajar mengajar mulai dari tingkat SD hingga Perguruan Tinggi dialihkan dari pembelajaran tatap muka bersama pengajar ke model pembelajaran online atau e-learning. 

Menyoroti kebijakan study from home, apakah kebijakan ini adil bagi siswa yang tidak memiliki akses internet yang cukup memadai? Penutupan sekolah-sekolah dapat memperburuk kesenjangan akses pendidikan. Siswa dari keluarga miskin merupakan pihak yang paling terdampak dari kebijakan ini karena mereka tidak memiliki sarana dan akses yang menunjang kegiatan belajar, ini menjadi masalah ekonomi yang serius. 

Dikhawatirkan panjangnya waktu belajar di rumah akan membuat siswa sulit menguasai materi belajar sehingga standar capaian belajar siswa yang telah ditentukan oleh pihak sekolah menjadi tidak terealisasi. Jumlah anak putus sekolah pun dapat meningkat akibat kesulitan yang dihadapi anak dan remaja untuk kembali dan tetap bersekolah setelah penutupan sekolah .[5]

Semakin meluasnya daerah penyebaran dan meningkatnya jumlah pasien Covid-19  maka beberapa daerah dengan angka lonjakan kasus yang tinggi seperti Jabodetabek, Bandung, Surabaya, dll, mulai memberlakukan kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).[6] Hal ini membuat masyarakat semakin terisolasi dan terasing dari sesama mereka. Bagi perempuan ini bisa menjadi beban ganda bagi mereka. Di rumah, mereka harus bekerja sekaligus mengurus keluarga dan rumah tangga dalam waktu yang bersamaan. 

Dimasa pandemi Covid-19 masyarakat berlomba-lomba meningkatkan kebersihan dengan lebih sering mencuci tangan dan menjaga imunitas tubuh agar tetap kuat dengan menerapkan pola hidup sehat. Kedua hal ini tentu harus didukung dengan sarana yang memadai. 

Misalnya ketersediaan sabun cuci tangan, hand sanitizer, dan asupan gizi yang cukup lewat makanan yang dikonsumsi setiap hari.  Pemerintah dalam hal ini tanggap terhadap kesehatan masyarakat. Pada kesempatan lain pemerintah juga memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat untuk kelangsungan hidup mereka selama masa pandemi. Sebagai bagian dari perbaikan ekonomi rumah tangga.

Tindakan-tindadakan di atas telah menjadi bagian dari etika tanggungjawab. Beberapa dari kita  secara tidak langsung telah mengambil bagian dalam pencegahan ini, lewat komitmen untuk tinggal di rumah dan bahkan menjadi relawan dalam membantu pemerintah dan seluruh komponen masyarakat untuk menangani covid-19.

Persoalan memang ada tetapi persoalan ini dilihat dari tindakan positiv bagaimana kepedulian orang lain terhadap sesamanya dalam hal ini adalah pemerintah, tim medis dan seluruh komponen masyaralat yang menghimbau agar setiap orang atau warganya menaati aturan dengan menahan diri untuk tidak melakukan aktivitas di luar rumah jika tidak terlalu mendesak. 

Kegiatan-kegiatan sosial dibatasi tidak bermaksud untuk meniadakan relasi, tetapi untuk menyampaikan tanggungjawab kita terhadap orang lain, tepatnya memberikan kesadaran bahwa kehidupan setiap orang pada masa ini, adalah tanggungjawab bersama.

Akhir Kata

 Covid-19 menjadi sebuah bencana bagi dunia di mana segala sistem kehidupan mengalami kemunduran dari bidang ekonomi, politik, sampai pada bidang sosial. Berbagai upaya dari setiap individu maupun universal diperjuangkan untuk dan demi berakhirnya pandemi ini. 

Setiap upaya pasti tidak sesempurna apa yang diharapkan. Persoalan tentang penolakan dari setiap protokol diabaikan inilah tantangan bagi kita. Namun di balik itu semua,  masih ada titik balik dari berbagai pihak yang tetap bertindak untuk mengatasi pandemi ini. 

Sudah menjadi kepastian bahwa apa yang dilakukan oleh berbagai pihak demi terselesainya pandemi merupakan bagian dari kesadaran. Kesadaran itu dimaknai sebagai etika dari hidup yang bertanggungjawab tidak hanya untuk diri sendiri tetapi untuk orang lain. Dengan demikian Etika tanggung jawab Levinas menjadi bukti yang relevan untuk setiap zaman. Manusia tidak harus bertanggungjawab atas dirinya tetapi juga atas kehidupan orang lain. Salam Sehat.

Daftar Rujukan

Bertens.K. Sejarah Filsafat Kontemporer Prancis Jilid II. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2014.

Riyanto, Armada. Relasionalitas. Yokyakarta: Kanisius, 2018.

Internet:

kompas

kompas

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun