Buku ketiga yang saya baca berjudul "Menata Ruang Laut dengan Peta Laut Indonesia", karya Nurhidayat (seorang perwira tinggi TNI Angkatan Laut) yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas Jakarta tahun 2023.
Dalam bukunya ini Nurhidayat, antara lain menuliskan seperti ini, "Untunglah sejak reformasi terjadi perubahan signifikan bangsa ini dalam memandang potensi kemaritiman, ... Pemerintah di bawah kendali Presiden Abdurrahman Wahid membuat kebijakan penting dengan membentuk Departemen Ekplorasi Laut (DEL), pada Oktober 1999. Ir Sarwono Kusumaatmaja ditunjuk sebagai Menteri Eksplorasi Laut pertama".
Kemudian Nurhidayat bicara tentang pariwisata yang dikaitkan dengan perlunya penataan ruang laut dengan peta laut Indonesia. Dikatakan, perairan laut di Indonesia ini unik dan sangat menarik bagi wisatawan asing.
"Setiap tahun terdapat ribuan kapal pesiar  raksasa yang berlayar di seluruh dunia. Seharusnya Indonesia bisa meraih keuntungan dari kunjungan kapal pesiar yang biasanya membawa ribuan penumpang. Akan tetapi masih banyak kendala bagi kapal pesiar asing  berlayar ke Indonesia. Mulai dari perizinan, infrastruktur  pelabuhan, sampai peta laut. Pada tahun 2016, sebuah kapal pesiar batal merapat dan menurunkan penumpang di Benoa  (Bali) karena tidak mendapatkan data akurat dan resmi tentang situasi dan kondisi Pelabuhan Benoa...," demikian kata Nurhidayat.
Nurhidayat menuliskan pula, dalam upaya mewujudkan pembangunan kemaritiman Indonesia, khususnya dalam mengelola potensi laut, pemerintah telah mencanangkan lima pilar utama. Di sini saya kutip pilar pertama saja, yakni pembangunan kembali budaya maritim Indonesia. Bangsa Indonesia harus menyadari bahwa masa depan sangat ditentukan oleh bagaimana mengelola laut.
Kata pembangunan kembali budaya maritim dan kesadaran akan pentingnya laut ini perlu saya beri catatan kecil. Para pejabat pemerintahan di Indonesia harus punya penghayatan atau pengalaman terhadap laut.Â
Ini bisa dibangun antara lain dengan hal kecil dulu, yakni dengan pernah naik kapal selama beberapa hari dan berlayar dari pulau ke pulau. Alami dulu mabuk laut seperti yang dilakukan oleh OD-SK.
Nurhidayat juga mencatat, berbagai data menyebutkan laut Indonesia merupakan habitat dari 76 persen terumbu karang dunia yang sangat berpengaruh terhadap populasi ikan di seluruh dunia. "Budidaya perikanan seperti raksasa yang masih tertidur. Padahal jika mampu dikelola  dengan baik, bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat," ujarnya.
Apa yang dikatakan Nurhidayat itu bila disambungkan dengan tulisan B. Limbong akan memperkuat kalimat ini, "Ironis, sebagian besar nelayan Indonesia masih dalam keadaan miskin permanen." Sampai hari ini. Ini kata saya, penulis.
Kalimat ini mengingatkan saya tentang peristiwa kecil dalam rapat di sebuah perusahaan surat kabar. Ketika bos besar surakabar itu mempertanyakan tentang ide besar pemerintahan saat itu (2016), sang pemimpin redaksi mengatakan, "ide besar sudah ada yakni Indonesia jadi poros maritim dunia."