Saya lupa siapa yang pernah bilang begitu. Saya rasa yang mengatakan itu pernah naik kapal penumpang umum selama berapa hari dan beberapa malam dari Jakarta sampai paling tidak di sebuah pelabuhan di Kalimantan Timur.
Orang yang mengatakan itu tentu pernah menikmati ombak lautan di perairan Indonesia yang menggoyang-goyang kapal penumpang umum. Orang itu tentu pernah mabuk laut dan muntah-muntah. Pernah bukan?
Saya sendiri pernah mengalami mabuk laut ketika dalam perjalanan selama dua minggu dengan kapal barang Watudambo pada Januari 1974 dari Tanjungpriok (Jakarta) ke Bitung (Sulut).
Miskin Permanen Nelayan Indonesia
Saya menuliskan tentang laut ini juga didorong oleh tiga buku yang pernah saya baca tahun 2023 lalu. Pertama, tulisan Sri Sultan Hamengkubuwono (HB)  X, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta berjudul, "Membangun Jati Diri Bangsa: Dalam Konstelasi Geopolitik Internasional Dan Globalisasi" (terbit tahun 2014).Â
Beberapa kalimat dari tulisan tentang perairan laut di Indonesia Sultan HB X mengatakan, "Wawasan Nusantara Bahari dilontarkan dalam Deklarasi Djuanda  tahun 1957 sebagai simbol pemersatu bangsa, di mana wilayah maritim kembali menjadi masalah yang menarik, tetapi nasib dan konsep itu belum mengalami kemajuan".
Buku kedua karya Bernhard Limbong berjudul "Poros Maritim" (terbit tahun 2015). Doktor ilmu hukum lulusan Universita Pajajaran Bandung ini lahir di Samosir, Sumatera Utara, 23 Mei 1955.
Dalam kata pengantarnya B Limbong mengatakan, dari berbagai penelitian, nilai ekonomis kekayaan sumber daya alam laut di Indonesia melebihi potensi kekayaan kekayaan di darat. Data juga menyebutkan, kekayaan laut di Indonesia mencapai tujuh kali lipat APBN Indonesia saat ini. Bahkan ada yang menyebutkan, kekayan laut Nusantara tidak akan pernah habis.
"Pertanyaanya, apakah kekayaan laut itu mampu didayagunakan sebagai modal pembangunan untuk mencapai kemajuan ekonomi national yang berujung pada kesejahteraan seluruh rakyat?" Demikian tulis Limbong.
"Di situlah letak masalahnya. ... Ironisme ini terlihat nyata pada potret sebagian besar nelayan Indonesia  yang masih bergelut dalam kemiskinan permanen," demikian lanjut kata Limbong yang saya cuplik.