Mohon tunggu...
Joseph Osdar
Joseph Osdar Mohon Tunggu... Jurnalis - Wartawan

Lahir di Magelang. Menjadi wartawan Harian Kompas sejak 1978. Meliput acara kepresidenan di istana dan di luar istana sejak masa Presiden Soeharto, berlanjut ke K.H Abdurrahman Wahid, Megawati, SBY dan Jokowi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Memasuki Alam "Gaib" Diponegoro

30 Juni 2021   14:18 Diperbarui: 30 Juni 2021   17:55 1448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selarong ini menjadi markas besar Diponegoro dalam perang Jawa 1825-1830. Perang yang menewaskan lebih dari 200.000 orang Jawa, 8.000 serdadu Belanda (Eropa) dan 7.000 serdadu bantuan lokal (dari berbagai wilayah Nusantara).

Untuk memenangkan pemberontakan terbesar dalam sejarah perang melawan kolonial ini, Pemerintah Belanda harus mengeluarkan biaya 25 juta gulden atau sekitar 300 juta dollar Amerika Serikat.

Setelah 30 tahun mengadakan penelitian, Peter Carey menerbitkan banyak buku tentang Diponegoro. Pada 19 Desember 2007, Peter Carey meluncurkan buku riwayat Diponegoro di Universitas Leiden, Belanda. Tahun 2015 Penerbit Buku Kompas, menerbitkan dalam Bahasa Indonesia, buku Peter Carey berjudul Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855). Beberapa kali buku ini dicetak ulang.

Buku Peter Carey, sejarahwan Universitas Oxford, Inggris, berjudul Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785 - 1855 yang diterbitkan Penerbit Kompas, cetakan pertama 2015 (dokpri)
Buku Peter Carey, sejarahwan Universitas Oxford, Inggris, berjudul Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785 - 1855 yang diterbitkan Penerbit Kompas, cetakan pertama 2015 (dokpri)
Saya mencatat kata-kata Peter Carey dalam buku ini. "Masalah-masalah yang dihadapi Diponegoro pada masa hidupnya : korupsi pejabat, langka negarawan, intrik politisi, kemrosotan nilai budaya, dan keharusan 'revolusi mental' atas dasar budi pekerti dan kesetaraan sosial pada jamannya yang marak kolonialisme dan kapitalisme, masih menjadi tantangan kita pada jaman reformasi ini."

Catatan ini mengingatkan saya pada tulisan almarhum budayawan Radhar Panca Dahana di Kompas, Selasa 21 Januari 2020 ketika virus corona mulai merebak.

Berjudul Sakratul Maut Seni-Budaya, budayawan ini menulis, "Bagaimana kemudian di masa presiden pengganti SBY?... Membuat seni dan kebudayaan seperti kucing sakit ..... Pengangkatan seorang tokoh muda, misalnya, ....... jadi menteri yang mengurus hal itu adalah kenyataan mengecewakan". Ada caatan pula, yakni "mengurus gerak seni-budaya" tidak sama dengan melakukan kegiatan jual beli barang seni seperti lukisan.

Sebelum perang pecah Pangeran Diponegoro banyak bertapa, bersemedi, bertirakat dan bermeditasi di berbagai tempat di bagian selatan Yogyakarta. Antara lain di Gua Song Kamal, Gua Seluman, Guwa Suracala, Mancingan, Gua Langse, Parangkusuma, dan Gua Secang (di Selarong).

Masalah Pajak dan wabah

Di Parangkusuma, Parang Tritis, menjelang berakhirnya tahun 1805, Diponegoro mendapat bisikan suara yang diduganya dari Sunan Kalijogo, yang meramalkan kehancuran Yogyakarta dan awal runtuhnya Jawa tiga tahun mendatang.

Di sini pula Pangeran mendapat mandat untuk mengobarkan perang Ratu Adil, walau pun tidak lama dan tidak akan berhasil mengusir kolonial. Tapi, kata bisikan itu, perang ini akan merepotkan.

Tiga tahun kemudian, 5 Januari 1808, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendles datang ke Jawa dan memimpin pemerintahan Hindia Belanda sebagai boneka Perancis (sampai 1811). Disusul pemerintahan Inggris di bawah Letnan Jenderal Thomas Stanford Raffles sampai 1816. Dua pemerintahan kolonial ini memporak porandakan Jawa (wilayah kraton Solo dan Yogya). Jawa terombang-ambing.

Suasana dua pemerintahan ini bagaikan sebuah mesiu yang dipasang bagi meledaknya pemberontakan besar di Jawa yang dipimpin Diponegoro.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun