Rabu sampai Jumat (tanggal 20 sampai 22 Desember 2020), saya ikut rombongan mendatangi Gunung Tidar dan Candi Wukir. Keduanya di Magelang, Jawa Tengah.
Tempat-tempat ini diyakini banyak orang sebagai kawasan mistis, termasuk hal-hal untuk mencari petunjuk untuk memperoleh "kekuasaan politik".
Para tokoh dalam rombongan ini tidak mau ditulis identitas mereka. Selain itu sebagian rombongan juga mendatangi tempat pemakaman para raja-raja Mataram Islam di Kota Gede, Yogyakarta, dan Kelenteng Sam Poo Kong di Semarang (bagian ini akan saya tulis tersendiri).
Sebelum ke Tidar dan Candi Wukir, lima orang anggota rombongan olahraga jalan kaki pagi di jalan raya Dusun Gopal, Borobudur. Wilayah Borobudur ini mengingatkan asal pimpinan saya di suratkabar harian pagi, Kompas, Jakob Oetama (almarhum).
Ketika masih tinggal di Magelang, saya sering ke wilayah ini. Kini, 60 tahun kemudian, suasana bangunan, jalan dan alam sekitar candi sudah berubah. Tapi keramahan penduduk yang saya sapa masih tetap sama seperti dulu. Saya terharu.
Ekonomi sudah gerak
Perjalanan dimulai dari Jakarta ke sebuah hotel di dekat Candi Borobudur. Enam setengah jam perjalanan dengan bus pariwisata dan singgah di sebuah rumah makan sate kambing di Kota Tegal yang ramai. Sepanjang perjalanan di jalan tol, banyak bertemu dan beriringan dengan truk-truk pembawa peti kemas.
"Ini tanda ekonomi kita sudah berjalan laju," ujar anggota rombongan yang tidak mau disebut identitasnya.
Keluar dari wilayah Kabupaten Semarang dan menjelang memasuki Kabupaten Magelang, saya memandang hutan, gunung-gunung, sungai, jurang, bangunan-bangunan di tepi sepanjang jalan sambil mendengarkan suara pengusaha Sucipto dan fortune teller (ahli nujum atau peramal) Acai Feriyanto melantunkan lagu Sewu Kuto (Didi Kempot) dan Musafir (Panbers).
Dalam perjalanan pulang, saya mendengar lantunan lagu seorang pengamen di sebuah rumah makan di kota Semarang, Dodie (35 tahun dan tinggal di Jalan Papandayan, dekat Akademi Kepolisian Semarang), mengatakan ia melantunkan lagu Salam Dari Sana.
"Ini lagu dari Indonesia timur," kata Dodie.
Menurut teknik seni suara, Sucipto, Acai, Dodie dan Alor jauh bagusnya dari suara para penyanyi aslinya. Bahkan lafal atau aksen mereka ini tidak persis dengan para penyanyi aslinya. Mereka juga tidak berusaha menyamakan suara termasuk tekniknya dengan para penyanyi aslinya.
Tapi dari alunan suara mereka menyampaikan kalimat-kalimat syair lagu yang mereka bawakan bisa membawa hati saya bersatu dengan pemandang alam dan kehidupan yang saya lihat sepanjang perjalanan tiga hari ini. Saya seperti sedang mendengarkan sebuah dongeng kehidupan dengan seluruh jiwa raga saya.
Ganjar dan Sutanto Mendut
Dalam perjalanan saya mengkontak lewat telepon dua orang yang saya kenal, yakni seniman dan budayawan Sutanto (Tanto) Mendut dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Kebetulan sekali, tempat-tempat yang kami datangi berkaitan dengan kedua tokoh ini.
Perjalanan ini membuat saya bisa melupakan sejenak, ketakutan, kekhawatiran, kepanikan serta hal-hal tidak enak lainnya karena pandemi virus Corona. Saya merasakan di atas pandemi ada misteri kekuatan damai dan cinta kasih dari Sang Transenden, Tuhan Allah dan alam yang bernyanyi.
Selain itu saya juga tersentak penuh keharuan dalam perjalanan pulang ke Jakarta, ketika rekan saya bernama Alor melantunkan lagu ciptaan sahabat saya, Franky Sahilatua (almarhum), berjudul Pancasila Rumah Kita. Saya terharu dan keluar air mata di pipi.
Saya jadi ingat, ketika lagu ini dilantunkan di Gedung Parlemen, Senayan beberapa tahun lalu, Presiden RI 2001 -2004, Megawati Soekarnoputri terisak tangis sambil membawakan kembali beberapa kalimat syair Pancasila Rumah Kita.
Ketika bus rombongan kami melintasi wilayah Kabupaten Semarang dan memasuki kota Magelang, hujan turun. Namun ketika mendekati wilayah sekitar Candi Borobudur, tidak ada hujan, matahari bersiap-siap untuk melepaskan sinarnya yang terakhir Rabu senja itu.
Aura cinta kasih Borobudur
Tapi fortune teller (ahli nujum, peramal) Acai Feriyanto setelah beberapa kali saya tanya, mengatakan, di stupa itu nampak sinar aura berbentuk cincin matahari pagi berwarna kuning.
"Itu adalah aura atau pancaran energi positif yang penuh damai dan cinta kasih. Aura yang muncul sejak ratusan tahun lalu itu menarik banyak orang dari berbagai suku, bangsa, agama, di dunia ini datang ke tempat ini," ujarnya. "Maka Candi Borobudur merupakan salah satu keajaiban dunia," ujarnya lanjut.
Sejak Maret hingga Juni 2020, Candi Borobudur ditutup bagi para pengunjung. Setelah dibuka, 25 Juni 2020 hingga Januari 2021, jumlah pengunjung dari dalam dan luar negeri sekitar 996.000 orang (selama tahun 2019 jumlah pengunjung sekitar 4,39 juta orang). Ini menurut General Manajer Taman Wisata Candi Borobudur I Gusti Putu Ngurah.
Sekira pukul 09.30 WIB, rombongan tiba di Kampung Magersari, di kaki utara Gunung Tidar , Magelang. Suasana kampung tempat tinggal teman saya di SMP, Sriwati, sudah jauh berbeda (sekitar 60 tahun lalu).
Pendakian ke puncak gunung setinggi 500 meter di atas permukaan laut itu berlangsung sekitar 35 menit. Cukup melelahkan dan menguras keringat. Rombongan mendatangi makam Syek Subakir, makam Kyai Sepanjang, dan kemudian di puncak mengunjungi Tugu Paku Tanah Jawa, makam (patilasan) Pangeran Purbaya (dari masa kerajaan Mataram Islam) dan makam Ki Semar. Ini adalah kunjungan religi.
Saya sudah tidak melihat lagi meriam yang dulu sering saya lihat di puncak Tidar ini ketika saya sering naik ke gunung ini pada masa kecilku. Lestari tidak bisa menjelaskan tentang meriam yang sudah tidak nampak lagi di puncak gunung ini.
Di awal tahun 1960-an, ketika tinggal di kaki gunung ini, saya sering mendengar cerita tentang Gunung Tidar sebagai paku bumi atau pusat bumi.
"Kalau gunung ini meletus atau diratakan bumi ini akan kiamat," demikian kalimat yang sering saya dengar.
Menjelang jam 12 siang, rombongan kami berada Candi Gunung Wukir, Dusun Canggal, Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, sekitar tiga kilometer selatan Muntilan, Magelang, Jawa Tengah . Secara resmi pemerintah RI menyebutkan candi di kaki Gunung Merapi bagian barat ini berasal dari abad ke-8, masa pemerintahan raja-raja Mataram Hindu.
Sebelum sampai ke tempat ini, seorang anggota rombongan yang tidak mau disebut identitasnya mengatakan, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo pernah jatuh di jalan menuju candi yang penuh cerita mistis ini. Tapi salah satu juru kunci candi ini, Fadly Ananto (Anto), bercerita rinci tentang terpelesetnya Gubernur Ganjar ini seraya menunjukan lokasinya.
"Cerita yang sangat menarik tentang candi itu disampaikan oleh Mas Tanto Mendut," jawab Ganjar.
Sementara sang juru kunci candi, Fadly Ananto (Anto), mengatakan, terpelesetnya Ganjar terjadi sebelum pemilihan gubernur Jateng Oktober 2018.
"Pak Ganjar menang," ujar Anto. "Beliau terpeleset, beberapa menit setelah saya menawarkan untuk memegang tangannya, tapi beliau menolak," lanjut Anto, sang juru kunci.
Menurut Anto, Ganjar datang ke candi ini karena mendapat saran dari Sutanto Mendut. Anto mengatakan "ya" ketika saya sampaikan apakah kedatangan Ganjar dan sampai terpeleset di jalan dekat Candi Gunung Wukir itu menunjukan kemauan baik sang gubernur untuk berdekatan dengan rakyat.
"Paling tidak, orang senang Pak Ganjar mau datang ke Candi Gunung Wukir. Di candi inilah para raja-raja dulu melakukan permenungan sebelum memutuskan hal-hal penting," ujar Anto, sang juru kunci yang beberapa kali mengalami hal "ajaib" di candi yang tidak jauh dari tempat tinggalnya itu.
bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H