Mohon tunggu...
Joseph Osdar
Joseph Osdar Mohon Tunggu... Jurnalis - Wartawan

Lahir di Magelang. Menjadi wartawan Harian Kompas sejak 1978. Meliput acara kepresidenan di istana dan di luar istana sejak masa Presiden Soeharto, berlanjut ke K.H Abdurrahman Wahid, Megawati, SBY dan Jokowi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Alia, Dr Sedyaningsih, Puan Maharani, dan Bung Karno

26 November 2020   17:39 Diperbarui: 27 November 2020   13:35 935
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi permpuan yang sedang berbaris. (Foto: Pixabay/Dimitrivestikas1969)

Sejak Indonesia diserbu virus corona, saya lebih banyak tinggal di rumah. Selain karena virus corona, tempat saya sering banjir di musim hujan ini. 

Untuk mengisi waktu di rumah, antara lain membaca buku-buku. Beberapa buku yang menarik untuk dibaca dan kemudian saya beri catatan kecil untuk dijadikan bahan tulisan antara lain adalah, buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (Cindy Adams), Perempuan perempuan Kramat Tunggak (Menteri Kesehatan 2009 - 2012 Dr Endang R Sedyaningsih Mamahit) dan Puan Maharani - Matang dalam Kerja Politik (Rahmat Sahid).

Tentu juga saya juga sering mengulangi membaca buku-buku saya sendiri, yakni Sisi Lain Istana jilid I dan II serta Sarung Jokowi dan Wak, Wak, Wak. Masih ada lagi, yakni Melintasi Seribu Stasiun Kereta Api.

Dalam buku-buku ini saya menemukan persoalan prostitusi yang menarik untuk dikemukakan dalam tulisan ini. Dalam buku tentang Puan Maharani (sekarang Ketua DPR), Rahmat Sahid, lulusan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta, antara lain mengisahkan perjalanan kampanye pemilihan legislatif (Pileg) 2009 sampai ke rumah sakit kusta dan tempat-tempat pelacuran atau perempuan penjaja sek komersial di Banjarsari, Solo, Jawa Tengah.

Berjam-jam, tulis Rahmat Sahid, Puan Maharani berhandai-handai dengan para perempuan penderita kusta, difabel dan para PSK. 

"Di lokasi itu, Puan bercengkerama tanpa jarak dengan beberapa perempuan pekerja seksual itu. Dia bertanya tentang banyak hal, yang tentu saja agak tabu untuk dituliskan di sini," tulis Rahmat Sahid.

Kemudian Puan bercerita kepada tim kampanyenya hasil dialognya dengan para perempuan itu. Menurut Rahmat Sahid, Puan ingat tentang cerita Bung Karno mendapatkan laporan dari seorang asistennya yang menemukan foto Bung Karno di dalam sebuah bilik pelacuran. Ajudan Bung Karno menawarkan kepada Presiden RI pertama itu untuk menurunkan foto itu.

Tapi Bung Karno minta agar foto itu tidak usah diturunkan. "Biarlah foto berbingkai itu hadir untuk menyaksikan betapa menderita rakyatku yang harus mencari nafkah dengan cara seperti itu," cerita Puan penuh khitmat (halaman 67).

Puan, sebagai perempuan, tentu tidak akan setuju dengan praktik prostitusi itu. Puan, kata buku lagi, menyadari prostitusi adalah suatu realitas yang berusia ribuan tahun. 

"Pada Pemilu 2009, Puan memperoleh 242.054 suara. Pemilu 2014, mendapat 369.927 suara. (Tahun 2019, memperoleh 404.034. Tertinggi di antara para caleg dan kemudian jadi ketua DPR)," tulis Rahmat Sahid.

Bandit dan Dewa

Dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Cindy Adams menuliskan hasil wawancaranya dengan Bung Karno. Suatu sore, seperti biasa Bung Karno berjalan-jalan di halaman istana kepresidenan. Seorang pejabat kepolisian menghampirinya dengan sikap gelisah. Polisi itu dengan terbata-bata mealaporkan hasil pemeriksaan para petugas di wilayah pelacuran.

Polisi ini melaporkan dengan mengatakan ada kabar baik. Karena kabar ini sebagai bukti bahwa rakyat mencintai Bung Karno. Setelah didesak oleh Presiden RI pertama itu, sang polisi mengatakan, di kamar-kamar wilayah pelacuran itu banyak dipasang foto Bung Karno.

"Pak kami merasa gembira rakyat memuliakan Bapak.....Tapi apakah pantas foto seorang presiden digantungkan di dinding rumah pelacuran?.....Apakah foto-foto Bapak harus dipindahkan?," lapor polisi itu kepad Bung Karno yang kemudian melarang untuk memindahkan foto-foto drinya itu. "Jangan, " jawab Bung Karno, dalam buku terbitan Yayasan Bung Karno edisi revisi cetakan kedua 2007 halaman 4).

Kemudian Bung Karno berkata :"Tidak seorang pun di masa ini seperti Sukarno, selain sebagai sumber ilham, juga banyak menimbulkan banyak perdebatan . Aku dikutuk seperti bandit dan dipuja seperti dewa," kata Bung Karno ditulis penulis Amerika itu di halaman 4.

November 2010, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta, menerbitkan kembali sebagian disertasi Menteri Kesehatan (2009 2012), Dr Endang Rahayu Sedyaningsih untuk memperoleh doktor bidang kesehatan masyarakat di Universitas Harvard, Amerika Serikat. Bukunya diberi judul Perempuan perempuan Kramat Tunggak.

Dalam buku ini dilampirkan catatan hariannya dengan judul, Cuplikan Memo yang Tercecer. Tulisan ini kisa relasi manusia yang dalam dan mengharukan. Yakni pergaulan sang dokter dengan seorang perempuan pelacur asal Jawa Tengah, Alia, yang mencari nafkah di Kramat Tunggak Jakarta. Persahabatan terjalin selama Dr Sedyaningsih mengadakan penelitian dan hidup di antara pelacur Kramat Tunggak yang kini sudah ditutup (lama).

Enam bulan sebelum buku itu diterbitkan, Juni 2010, saya menemui Menkes Sedyaningsih Mamahit di kediaman resminya di Jalan Denpasar, Kuningan, Jakarta. 

Selama empat jam kami berbincang-bincang. Sebagian perbincangan ini saya tulis di Harian Kompas (29 Juni 2010, halaman 2, "Sisi Lain Istana" yang kemudian menjadi bagian dari Buku Sisi Lain Istana jilid I.

Menurut Sedyaningsih, Presiden (waktu itu) Soesila Bambang Yudhoyono, dalam sidang kabinet memberi komentar tentang tulisan saya ini. "Wah untung yang mengadakan penelitian di Kramat Tunggak, adalah Ibu Menkes, kalau menteri laki-laki bisa diasosiasikan yang lain-lain," ujar SBY yang disampaikan Sedyaningsih pada saya.

Alia, pelacur, seorang sahabat

Empat kata di atas ini adalah sub judul tulisan Dr Sedyaningsih dalam bukunya. "Hubungan saya dengan Alia memang unik," kata Sedyaningsih.

"Saya tertarik melihat tubuhnya yang besar, tegap, kulitnya gelap, rambut sebahu kriting kecil-kecil. Pendiam, tenang dan sangar. Kedua lengannya penuh luka-luka iris yang sudah memarut..... saya duga ia pecandu obat bius....," kisah Sedyaningsih.

Perkenalan selanjutnya Alia datang berobat ke dokter Sedyaningsih. Tapi karena cukup parah, Alia dibawa ke rumah sakit terdekat.....persahabatan pun terjalin dan hal ini dikisahkan dengan kalimat-kalimat yang penuh haru biru.

Suatu hari Alia membelikan Sedyaningsih buah lengkeng seharga Rp 10 ribu di Pasar Koja. Mereka berdua makan di kamar Alia. Bagi Alia tentu uang Rp 10 ribu adalah seluruh uang yang dimilikinya. 

"Saya amat terharu," kata Sedyaningsih dan kata-kata itu diulangi lagi dengan linangan air mata ketika bertemu saya di tempat tinggalnya sebagai menteri kabinet.

Setelah panjang lebar dan penuh liku-liku melintasi banyak peristiwa dan masalah hidup, .......Sedyaningsih harus kembali ke Amerika untuk melanjutkan studinya. 

"Ini terakhir kali saya jumpa Alia dan memberinya foto diri saya dengan bingkai dan gantungan kunci dengan logo Harvard University.....Ia sedih dan mengatakan tidak bisa memberi apa apa pada saya......Sungguh dia tidak sadar, apa yang telah dilakukan untuk saya selama ini adalah merupakan kenang-kenangan tak ternilai," ujar Sedyaningsih.

Sedyaningsih minta foto Alia yang kemudian menyodorkkan lima foto untuk dipilihnya. ....Kami berpelukan kemudian berpisah. ....Kapal kehidupan kami kembali berlayar mencari arah masing-masing di kehidupan ini," kisah Sedyaningsih.

Seminggu kemudian Alia menelpon Sedyaningsih ke rumahnya. Alia mengatakan menelpon dari rumah kakaknya di Bogor yang sedang sakit. Alia mengatakan, bulan depan akan pulang ke kampung di Jawa Tengah dan tidak akan kembali ke Jakarta.

"Tenggorok saya tercekat. Saya minta kepadanya, sebelum pulang ia datang ke rumah saya dan setelah sampai di kampung kirim surat. Alia menyanggupi," cerita Sedyaningsih.

Tapi kontak telefon itu ternyata terakhir Sedyaningsih mendengarkan suara Alia. Alia tidak datang ke rumahnya dan tidak mengirim surat padanya.

"Tahun berikutnya, sekembali dari Amerika saya mencari Alia di Kramat Tunggak. Tidak ada lagi nama Alia di sana. Benarkah Alia sudah kembali ke kampung atau pindah ke lokalisasi pelacuran yang lain? Atau tetap di Kramat Tunggak dengan nama lain? Mungkin saya tidak akan pernah tahu jawabannya." Inilah hidup manusia.

Dr Sedyaningsih meninggal dunia 2 Mei 2012, ketika jabatan menteri masih diembannya. Alia entah di mana di antara jutaan manusia Indonesia. (J. Osdar, Taman Cipulir Estate yang banjir di musim hujan)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun