"Saya tertarik melihat tubuhnya yang besar, tegap, kulitnya gelap, rambut sebahu kriting kecil-kecil. Pendiam, tenang dan sangar. Kedua lengannya penuh luka-luka iris yang sudah memarut..... saya duga ia pecandu obat bius....," kisah Sedyaningsih.
Perkenalan selanjutnya Alia datang berobat ke dokter Sedyaningsih. Tapi karena cukup parah, Alia dibawa ke rumah sakit terdekat.....persahabatan pun terjalin dan hal ini dikisahkan dengan kalimat-kalimat yang penuh haru biru.
Suatu hari Alia membelikan Sedyaningsih buah lengkeng seharga Rp 10 ribu di Pasar Koja. Mereka berdua makan di kamar Alia. Bagi Alia tentu uang Rp 10 ribu adalah seluruh uang yang dimilikinya.Â
"Saya amat terharu," kata Sedyaningsih dan kata-kata itu diulangi lagi dengan linangan air mata ketika bertemu saya di tempat tinggalnya sebagai menteri kabinet.
Setelah panjang lebar dan penuh liku-liku melintasi banyak peristiwa dan masalah hidup, .......Sedyaningsih harus kembali ke Amerika untuk melanjutkan studinya.Â
"Ini terakhir kali saya jumpa Alia dan memberinya foto diri saya dengan bingkai dan gantungan kunci dengan logo Harvard University.....Ia sedih dan mengatakan tidak bisa memberi apa apa pada saya......Sungguh dia tidak sadar, apa yang telah dilakukan untuk saya selama ini adalah merupakan kenang-kenangan tak ternilai," ujar Sedyaningsih.
Sedyaningsih minta foto Alia yang kemudian menyodorkkan lima foto untuk dipilihnya. ....Kami berpelukan kemudian berpisah. ....Kapal kehidupan kami kembali berlayar mencari arah masing-masing di kehidupan ini," kisah Sedyaningsih.
Seminggu kemudian Alia menelpon Sedyaningsih ke rumahnya. Alia mengatakan menelpon dari rumah kakaknya di Bogor yang sedang sakit. Alia mengatakan, bulan depan akan pulang ke kampung di Jawa Tengah dan tidak akan kembali ke Jakarta.
"Tenggorok saya tercekat. Saya minta kepadanya, sebelum pulang ia datang ke rumah saya dan setelah sampai di kampung kirim surat. Alia menyanggupi," cerita Sedyaningsih.
Tapi kontak telefon itu ternyata terakhir Sedyaningsih mendengarkan suara Alia. Alia tidak datang ke rumahnya dan tidak mengirim surat padanya.
"Tahun berikutnya, sekembali dari Amerika saya mencari Alia di Kramat Tunggak. Tidak ada lagi nama Alia di sana. Benarkah Alia sudah kembali ke kampung atau pindah ke lokalisasi pelacuran yang lain? Atau tetap di Kramat Tunggak dengan nama lain? Mungkin saya tidak akan pernah tahu jawabannya." Inilah hidup manusia.