"Tidak, dia dari Malaysia," jawab Mas Swan kepada Pak Jakob. Bukan saya yang menjawab.
Saya mengatakan, berangkat dari Kuala Lumpur, tadi pagi. “Wah, boleh you, bisa cepat sampai di sini," kata Pak Jakob berkomentar.
Selanjutnya, kami bertiga terlibat dalam pembicaraan serius mengenai masalah kasus majalah Monitor yang dipimpin Arswendo Atmowiloto kala itu.
Saya lebih banyak diam dan mendengar. Saat itu saya baru tahu saya dipanggil karena ada masalah majalah itu. Saat itu saya tidak tahu sama sekali masalah yang dibahas Pak Jakob dan Mas Swan.
Beberapa menit kemudian salah satu pimpinan Redaksi Kompas, Augus Parengkuan masuk, langsung duduk dan menangis tersedu-sendan. Pak Jakob dan Mas Swan diam.
Saya tidak tahu mau bicara apa dan mau berbuat apa. Saya ikut diam. Di tengah kebisuan itu, tiba-tiba Pak Jakob memandang saya seraya bicara, "Bung tahu nggak, dulu ada seorang pastor dari Eropa bilang sesuatu kepada saya." Lalu, Pak Jakob diam. Mas August dan Mas Swan juga diam.
Saya sudah tahu apa yang hendak dikatakan Pak Jakob saat itu, karena hal itu sebelumnya sudah sering diucapkan kepada saya dan teman-teman lain di Kompas dan Gramedia.
"Pastor Oudejans, bilang, 'Jakob sudah banyak guru di antara kita, mana wartawan, belum banyak',” kata Pak Jakob menirukan ucapan Pastor itu yang menggunakan aksen Eropa bila mengucapkan kata-kata Indonesia.
Saya sambut ucapan Pak Jakob itu dengan ketawa yang saya sedikit paksakan untuk sampai tertawa terbahak-bahak. Saya ulangi kalimat itu dengan aksen yag jenaka.
"Untung Pak Jakob kemudian memilih jadi wartawan, kalau tidak saya tidak bisa di sini saat ini," ujar saya sambil tertawa dan disambut ketawa Pak Jakob, Mas Swan, dan Mas August.
Kemudian saya mendapat tugas tertentu dari ketiga tokoh dan pemimpin Kompas itu. Saya senang karena tidak harus tiap hari ke istana dan acara kepresidenan yang sangat rutin.