Juni adalah bulan Bung Karno. Tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno menyampaikan rumusannya tentang Pancasila sebagai dasar negara. Tanggal 6 Juni 1901, Bung Karno dilahirkan di Blitar, Jawa Timur. Tanggal 21 Juni 1970, Bung Karno wafat dan dimakamkan di Blitar.
Bicara hal yang menarik tentang Bung Karno bagaikan bercerita keindahan satu persatu dari sejuta bintang di langit. Bercerita tentang Bung Karno adalah kisah Indonesia. Saya memilih satu yang menarik. Saat ini saya ingin bercerita tentang Bung Karno yang memindahkan bayi enam bulan Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta pada tanggal 3 sampai 4 Januari 1946.
"Dan begitulah, di malam gelap tanpa bulan tanggal 4 Januari 1946, kami membawa bayi Republik Indonesia ke ibukotanya yang baru, Yogyakarta, " kata Bung Karno dalam biografi "Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia" tulisan Cindy Adam edisi revisi tahun 2007 yang diterbitkan Yayasan Bung Karno halaman 284.
Untuk menuliskan kisah perjalanan dari Jakarta ke Yogya ini, saya mencoba beberapa kali melintasi jalur kereta api dan puluhan stasiun kereta api yang dibuka sekitar 100 tahun lalu itu.Â
Jalur kereta api dan sekitar 90 stasiun antara Manggarai - Stasiun Tugu Yogyakarta dibuka dan dibangun oleh Perusahaan Pemerintah Belanda Staatspoorwegen (SS) dan perusahaan kereta api swasta Belanda Ooster Spoorweg Maatschappij (BOSS) antara tahun 1887 - 1914.Â
Saat itu ada satu perusahaan kereta api Pemerintah kolonial Belanda (SS) dan 18 perusahaan kereta swasta api Belanda. Sampai tahun 1950-an perusahaan perusahaan kereta api Belanda itu masih hadir di Indonesia.
Setiap perjalanan saya selalu saya membawa beberapa buku sejarah tentang kereta api di Indonesia dan buku-buku tentang Bung Karno. Saya pernah melintasi di waktu matahari belum terbenam dan setelah terbenam di lintas perjalanan itu.
Setiap perjalanan selalu saya mendengarkan rekaman lagu sahabat saya, almarhum Franky Sahilatua, "Pancasila Rumah Kita". Kalau ke Purwokerto, Jawa Tengah, Franky selalu naik kereta api.
Suatu saat ketika ia sampai di wilayah Bumi Ayu, Jawa Tengah, Franky mengontak saya lewat telepon genggamnya. Ia menceritakan alam Bumi Ayu yang ia personifikasi keindahan, kemolekannya dan kegagahannya seperti Nyai Ontosoroh (ayunya) atau Bung Karno (kegagahannya). Siapa itu Nyai Ontosoroh, Franky hanya bilang itu wajah Bumi Ayu.
Antara NICA dan Sampah plastik
Banyak perbedaan, antara perjalanan saya dengan perjalanan Bung Karno. Dari buku otobiografi "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat" tulisan penulis Amerika, Cindy Adam, perjalanan Bung Karno dan Bung Hatta serta keluarga mereka dan para menteri, pengawal dan para awak kereta api dipenuhi dengan kecemasan , kekhawatiran dan ketegangan mencekam. Nasib bangsa dan negara baru itu berada di perjalanan mendebarkan itu.
Kereta Bung Karno dalam perjalanan dari halte Pegangsaan Timur sampai Bekasi dalam keadaan gelap gulita, jendela-jendela kereta tertutup rapat, pelahan dan pembicaraan hanya dengan bisik-bisik.
Mereka berjalan di bawah ancaman para serdadu Belanda dan sekutu. Bila seorang serdadu Belanda melemparkan sebuah granat maka hancurlah Indonesia ini, begitu kisah Bung Karno setelah berada di Bekasi.
Di stasiun Bekasi, para pemuda menyambut Bung Karno (walau kereta tidak berhenti). Terdengar pekik "Merdeka, Hidup Bung Karno-Bung Hatt". Sampai di stasiun Cikampek, kereta berhenti. Jam dinding di peron menunjukan jam 20.00 lebih beberapa menit.
"Para petugas stasiun dan massa rakyat, termasuk para pejuang bersenjata menyambut rombongan Bung Karno dengan pekik, Merdeka, Hidup Bung Karno," demikian tulis "Sejarah Perkereta Apian Indonesia jilid 2 (halaman 96)".
Maka di tidak jauh dari pintu keluar stasiun Cikampek ada tugu setinggi setengah meter untuk memperingati kedatangan Bung Karno dan rombongan 3 Januari 1946 malam. Prasasti itu ada di jalan belokan dekat halaman parkir stasiun yang banyak sampah plastik. Maret 2020 lalu saya lihat tugu prasasti itu dikitari gerobak-gerobak penjual makanan.
Rombongan Bung Karno tiba dan berhenti di Purwokerto, Jawa Tengah, jam satu pagi tanggal 4 Januari 1946. Di tengah pagi buta (belum ada sinar matahari), ribuan orang menyambut rombongan Presiden - Wakil presiden. Bergemalah pekik merdeka.
Kalau perjalanan Bung Karno saat itu di bawah gangguan ancaman senjata NICA, saya terganggu pemandangan sampah plastik hampir sepanjang tepian rel antara Manggarai dan Cirebon.Â
Setelah lepas dari Pegangsaan Timur, pemandangan adalah kekumuhan, sungai-sungai dengan air hitam, tumpukan sampah, coret-coretan liar dan diskotek kumuh (di dalam wilayah stasiun Jatinegara). Perjalanan saya terakhir diiringi kecemasan di bawah ancaman virus corona yang menyerbu penjuru dunia, termasuk dalam kereta api di Indonesia.
Perjalanan awal 1946 dimulai dari belakang rumah keluarga Bung Karno , Jalan Pegangsaan Timur nomor 56 , Jakarta. Dengan segala taktik dan strategi, rangkaian kereta api yang dinamakan Kereta Api Luar Biasa (KLB), berangkat sore ketika matahari mulai terbenam jam 18.00 tepat, tanggal 3 Januari 1946. Ketika kereta berhenti di belakang rumah, semua lampu dimatikan. Perjalanan super rahasia ini dimulai dengan keadaan gelap gulita.
Situasi Jakarta seperti di berbagai wilayah Indonesia lainnya mencekam. Berlansung perang antara para pejuang revolusi RI dengan tentara Belanda (termasuk tentara bayaran dan NICA atau Nederlands Indies Civil Administration), Inggris, Pakistan, India, Australia dan Gurkha. Menurut Bung Karno pasukan sekutu ini masuk Indonesia mula pertengahan September 1945.
"Catatan dalam arsip menunjukan, di kota Jakarta 8000 orang penduduk sipil telah dibunuh antara September sampai Desember 1945, " kata Bung Karno.
Karena suasana perang ini mengancam pemerintah RI yang belum lama lahir, Presiden Soekarno tanggal 1 Januari 1946, memanggil Pimpinan Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI) Eksplotasi Barat Sugandi.
Ia tidak bisa datang dan mengutus wakilnya, Soeriadiningrat menemui Bung Karno. Kemudian diadakan rapat DAKRI Ekpolitasi Barat (sekarang PT Kereta Api Indonesia Pesero atau KAI) dan dilaporkan ke Balai Besar DKARI (kantor pusat) di Bandung.
"Keadaan di Jakarta sudah begitu gawat sehingga aku tidak bisa begitu lama lagi tinggal di situ. Tanpa kesatuan polisi yang kuat kami tidak dapat menandingi NICA. Ini bukan soal kehidupan dari pemimpin negara, melainkan kehidupan dari negara seluruhnya yang dalam bahaya," kata Bung Karno dalam biografinya.
Persiapan untuk pelaksanaan dilakukan DKARI secara rahasia. Dibentuk penitia pengawas perjalanan ini, terdiri Soegito (dinas lalulintas DKARI), Soeharjono (dinas lalulintas perjalanan), Soedarjo (dinas lalulintas treindienst), BS Anwir (dinas traksi kereta) dan Mansoer Loebis (dinas traksi lokomotif). Persiapan yang dilakukan termasuk soal penyediaan bahan bakar lok, es batangan untuk pendingin kereta api.
Rangkaian KLB ini terdiri dari lokomotif uap C 2849, kereta barang begasi DL 8009, kereta penumpang kelas I dan 2 ABGL 8001 dan ABGL 8004, serta kereta makan FL 8001, kereta tidur kelas I SAGL 9006 dan SAGL 9004, kereta inspeksi khusus presiden IL8, serta kereta inspeksi khusus IL7.
Pagi 3 Januari 1946pukul 08.00 dipo lokomotif Jatinegara telah mempersiapkan lokomotif uap C 2849. Lokomotif C 2849 ini seharusnya secara reguler untuk jurusan Tanjung Priok.
Tapi pagi itu dialihkan ke Manggarai untuk dilangsirkan ke antara Jatinegara - Manggarai - Gambir. Langsir tipuan ini untuk mengelabuhi para serdadu NICA yang menjaga ketat Stasiun Manggarai dan Jatinegara. Di Manggarai dan Jatinegara waktu itu dipasang gerbong-gerbong kosong untuk menutupi KLB ini.
Dengan kecepatan lima kilometer per jam dan tanpa suara KLB berjalan dari Manggarai dan tepat jam 18.00 berhenti di belakang rumah Bung Karno.
"Di petang hari tanggal 3 Januari 1946, aku memberi tahu para menteri, pengawal dan pembantu-pembantu yang setia. Kedudukan pemerintahan harus dipindahkan ke daerah yang bebas dari gangguan Belanda sehingga kita bisa mendirikan benteng Republik," ujar Bung Karno dalam buku itu.
Kepada rombongan Bung Karno minta jangan ada yang membawa barang-barang. "Tidak ada waktu untuk mengepak perabot rumah tangga atau memindahkan harta benda. Selain itu sudara-saudara berada di dekatku, jadi saudara-saudara selalu diawasi," ujar Bung Karno.
Rombongan antara lain Bung Karno dan Nyonya Fatmawati, Mohammad Guntur Soekarnoputea (lahir 3 November 1944), Wakil Presiden Mohammad Hatta dan istri, Nyonya Siti Rahmiati Hatta.
Selain itu ada para menteri kabinet, beberapa pengawal (antara lain Letkol Polisi Mangil Martowidjojo), masinis Hoesain, dua juru api (Mortado dan Soead), pelayan kereta api (Sapi'ie dan Kasban, koki rumah makan kereta api (Moh Saleh dan Soelaiman), pelayam rumah makan (Amir, Kasim, Aje, Subandi, Rahall, Jimin Slamet, Jahidin, Nata dan Ilyas), mekanik (Toekimin, Kun Hai dan Irei), kodektur (Soedjono dan Sastrosardono) dan tenaga listrik Hidajat.
"Rumah kami terletak di tepi jalan kereta api. Jadi pada pukul enam sore. serangkaian kereta api yang sengaja digelapkan  berhenti tanpa suara di belakang rumahku. Dengan diam-diam, bahkan tanpa bernafas sedikit pun , kami menyusup ke belakang rumah dan naik kereta," Bung Karno berkisah.
Fatmawati gendong Guntur
Buku "Sejarah Perkereta Apian Indonesia", mengisahkan, bukan hanya lampu-lampu dimatikan. "Pembicaraan pun dilakukan secara berbisik-bisik, sehingga menambah tegangnya suasana.
Sapi'ie, pelayan kereta, turut menuntun Ibu Fatmawati yang mengendong Guntur, menerobos pagar kawat yang telah dibuka, diikuti Ibu Rahmi Hatta, Bung Karno, Bung Hatta, para menteri dan anggauta rombongan lainnya.
Setelah semua masukdalam kereta, Sugito memberi aba-ba berangkat tanpa peluit hanya dengan satu suara lirih, Oke". Para petugas lainnya meneruskan aba-aba itu secara berantai kepada Masinis, Hussein.
Kemudian kereta berjalan pelahan ke arah timur menuju Manggarai dan Jatinegara yang kedua sisi rel sudah ditutup dengan barikade gerbong-gerbong kosong.Â
Di stasiun Jatinegara ini dilakukan gerak langsir. Setelah melintasi Stasiun Jatinegara, kereta berjalan cepat. Di Stasiun Kranji, nampak para serdadu NICA, tapi mereka tidak menghiraukan KLB ini.
"Kami memiliki masinis yang setia di kabin lokomotif," kata Bung Karno.
Selepas Stasiun Kranji, KLB berjalan dengan kecepatan tinggi karena sudah di dalam wilayah kekuasaan para perjuang revolusi RI. Ketika itu lampu dinyalakan dan beberapa jendela dibuka. Semua lega. Bung Karno berkata dan berseloroh.
"Seandainya kami ketahuan, seluruh negara ini bisa dihancurkan dengan sebuah granat. Dan kami sesungguhnya tidak berhentik berpikir, apakah pekerjaan kami itu dapat berlangsung dengan aman. Sudah tentu tidak.
Tetapi Republik ini dilahirkan dengan risiko. Setiap gerak revolusioner menghendaki keberanian. Dan begitulah, di malam gelap tanpa bulan tanggal 4 Januari 1946 kami membawa bayi Republik Indonesia ke ibukota yang baru.....," Rombongan tertawa melepaskan ketegangan.
Ada baiknya sekali-sekali peristiwa ini diperingati walau secara sederhana. Supaya kita menjadi bangsa yang tahu akan sejarahnya.
"Jangan sekali-kali kita meninggalkan sejarah." Itu kata Bung Karno.
(J.Osdar, awal Juni 2020)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H