SELASA, 27 Desember 2016 lalu, Presiden Joko Widodo yang didampingi istri, Nyonya Iriana, membuat kejutan dan kehebohan bagi masyarakat Sulawesi Utara.Â
Dari atas mimbar, di tengah sambutan resminya, Presiden menyerukan nama Mona. Presiden mencari Mona. "Mana? Mana? Coba itu dicari yang namanya Ibu Mona. Suruh ke sini, naik panggung," seru Presiden dalam acara perayaan Natal Nasional Bersama di Gedung Wale Ne Tou, kota Tondano, Sulawesi Utara.
Hadirin yang memenuhi dalam gedung maupun pelataran gedung jadi heboh dan bergembira, bersukacita. Hadir saat itu Presiden Republik Indonesia ke-5 dan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri, Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey dan istri Nyonya Ir Rita Tamuntuan, para Menteri Kabinet Kerja serta para pejabat provinsi itu.
Saat itu juga Gubernur Sulawesi Utara mengatakan, "Kedatangan Presiden Jokowi membawa berkat". Nama Mona saat itu juga menjadi ikon masyarakat Sulawesi Utara.Â
Nama lengkapnya Mona Valentin Kumendong (22 tahun pada hari itu, 2016). Ia sedang berada di tempat kerjanya sebagai pegawai lepas kantor Walikota Bitung, sekitar 41 kilometer timur laut Tondano.Â
Hari itu Mona, lulusan Fakultas Ekonomi jurusan akutansi Universitas Negeri Manado (Unima), baru saja diterima sebagai pegawai lepas atau tidak tetap. Di masayarkat Bitung, Manado atau Tondano apalagi di masyarakat Sulawesi Utara, Mona bukanlah siapa-siapa, tidak banyak yang kenal, anonim.
Ketika Jokowi menyerukan nama Mona, masyarakat yang hadir bertepuk tangan gembira. Diwakili oleh Olly Dondokambey masyarakat Sulut mengucapan seribu terimakasih, Presiden berkenan menyapa ribuan masyarakat anonim yang disimbolkan oleh nama Mona. "Presiden Jokowi membawa berkat di Hari Natal bagi Sulut," kata Olly. Hari Natal bagi sebagian besar masyarakat Sulut adalah hari perayaan terbesar.
Di antara anggota rombongan adalah Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat PUPR) Basoeki Hadimoeljono dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung dan anggota tim komunikasi kepresidenan/Staf Khusus Presiden Sukardi Rinakit. Dalam percakapan dengan saya Jumat 29 Mei 2020 lalu, Sukardi Rinakit mengaku pada Selasa 27 Desember 2016 itu, dirinya satu mobil dengan
Pramono Anung dan Basoeki dalam perjalan dari Manado ke tempat acara Natal Nasional 2016 di Tondano. "Di mobil kami bertiga banyak bercerita tentang pembangunan di provinsi Sulut. Saat itu saya masih ingat Mas Pramono antaralain berkomentar Pak Olly Dondokambey memang pintar.......,"begitu kisah Sukardi Rinakit.
Satu hari setelah acara Natal Nasional 2016, Olly Dondokambey datang lagi merayakan kebaktian Natal dengan masyarakat Tondano di tempat yang sama. Dalam sambutannya, Olly bicara pentingnya sinergi antara pemerintah daerah dan pusat dalam program pembangunan.Â
Olly mengulangi lagi seruan terimakasih atas hadirnya Presiden Jokowi di Tondano sehari sebelumnya. Sekali lagi Olly menyatakan kedatangan Presiden Jokowi adalah berkah bagi Sulut.
Ia juga mengutarakan pemerintahannya bersama Wakil Gubernur Sulut Steven Kandou antara lain mengurangi angka kemiskinan di provinsi ini. Maka tiga bulan sebelumnya Olly dan Steven Kandou bersama seluruh jajarannya mengadakan perjalalan sejauh 200 kilomer ke wilayah paling miskin di Sulut, yakni Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel) untuk mengatur strategi gerakan pengikisan jumlah masyarakat miskin.
Langkah untuk mengurangi orang miskin di Sulut, langkah besar yang dicanangkan Olly adalah mendatangkan banyak turis dari luar dalam negri. Langkah ini membutuhkan sinergi dengan pemerintah atau lembaga-lembaga terkait di pusat, Jakarta.
Maka selama 2015 - sampai 2020, di Sulut sudah hadir tujuh mega proyek yang sebagian besar ada kaitannya dengan pariwisata. Ketujuh proyek pembangunan itu adalah pembangunan jalan tol Manado - Bitung, ring road III, jalan bandar udara -Likupang, tempat pengelolaan akhir sampah (TPA) regional Wori, rumah susun Tomohon dan Universitas Sam Ratulangi Manado, palapa ring paket tengah, dan kawasan ekonomi khusus (KEK) Bitung. Selain itu dibuka penerbangan langsung antara beberapa kota provinsi di Cina dan Manado.
Banyak acara penarik wisata diadakan secara progresif. Sampai Presiden Jokowi menyebut Sulut laksana bintang yang sedang bersinar (The Rising Star) di bidang wisata. Dari tahun 2015 hingga 2019, jumlah wisata yang datang mencapai 600 persen.
Sampai ada yang berani membuat buku dengan judul penuh cita-cita dan citra romantis : "Sang Pembuka Gerbang -Terobosan Olly Dondokambey Membangun Pariwisata Sulawesi Utara".
Benar apa yang diucapkan Pramono Anung menurut cerita Sukardi Rinakit' Olly Dondokambey memang pintar. Di tengah pandemi covid 19 ini, dari tempat tinggalnya di Desa Kolongan, Jalan Sukarno Nomor 1, Manado, antara lain ia menyerukan masyarakat untuk melakukan kegiatan di rumah dengan menanam jahe merah, kunyit, temulawak dan lain-lainnya. Ia sendiri ikut menanam di halaman rumahnya.
Nampaknya di masa "New Normal" oleh akan menghidupkan ekonomi pertanian rakyat dengan memanfaatkan cengkeh, padi, ubi-ubian, jagung dan kopra (kelapa). Olly nampak sekali gerakan ini disinergikan dengan pemerintah pusat.
"Tapi kami siapkan dulu rumah sakit covid, di tiga tempat yakni Rumah Sakit Noongan, RSUD Bitung dan Klinik Siloam. Selain itu kami dirikan rumah singgah penampungan pendatang yang masuk Sulut, di Malalyang, Kairagi, Mapanget dan Kairagi Maumbi," kata Olly.
Ketika Olly menyebut kopra, pala dan cengkeh saya jadi ingat tentang tuntutan otonomi daerah yang berkaitan dengan kopra dari gerakan Permesta (1958) di Sulawesi Utara kepada pemerinatah pusat di bawah Bung Karno yang baru berusia 15 tahun.Â
Tuntutan Permesta itu bukan berlanjut dengan menselaraskan atau bersinergi dengan pusat tapi dengan mengumumkan pemutusan hubungan dengan Jakarta (17 Frebuari 1958).
Melihat sulut tidak bisa melupakan salah satu episode sejarah Permesta (1957 - 1961). Bung Karno, pencetus Pancasila 1 Juni 1945, menyerukan Jasmerah, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. "Historia magistra vitae," (sejarah adalah guru kehidupan),"itu kata Marcus Tulius Cicero atau yang lebih dikenal dengan sebutan Cicero (106 - 43 sebelum Masehi.
Cicero hidup di Roma hampir duaribu tahun lalu. Cicero terkenal sebagai juru pidato atau orator ulung, selain sebagai filsuf, politisi dan ahli hukum. Tahun 1959, ketika pasukan bersenjata Permesta semakin terdesak, salah satu tokoh Permesta, Ventje Sumual merencanakan operasi merebut kembali Gorontalo dari tangan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Operasi itu diberi nama sandi Cicero. Tapi rencana itu tidak terlaksana karena perpecahan di antara pemimpin Permesta (dari buku otobiografi salah seorang perwira Permesta Dolf Runturambi, Permesta - Kandasnya sebuah Cita-cita, halaman 125, 126 dan 128).
Dalam tulisan ini, saya ingin sedikit atau sekilas memerlihatan susana masyarakat Sulut ketika menerima Presiden Jokowi dan Presiden Soekarno. Jokowi datang ketika Republik Indonesia berusia antara 71 dan 75 tahun).Â
Bung Karno datang ketika RI berusia hampir 15 tahun. Suasananya ada yang sama tapi ada bedanya juga. Menarik untuk dibaca dan dibahas tapi jangan debat kusir. Cukup menarik melihat masa depan tanpa melupakan sejarah. Jangan lupakan sejarah.
Ketika Jokowi mencari Mona.
Kita kembali ke acara perayaan Paskan Nasional 2016 di Tondano. Presiden telah menyapa rakyat Sulut. "Sebelum saya lupa, tadi pagi saya membaca di koran (Tribun Manado), ada ibu-ibu dari Bitung, nggak tahu saya dia ibu-ibu atau masih muda, namanya Mona. Katanya mau ketemu saya," seru Jokowi yang disambut tepuk sora hadirin yang menggema di dalam dan diluar gedung pertemuan termegah di tepi danau terbesar di Sulut itu.
"Orangnya mana? Suruh ke sini naik panggung. Mana? Mana? Jangan-jangan di luar. Coba dicari itu yang namanya Mona. Cari sampai ketemu," lanjut Presiden yang membuat sibuk para pejabat provinsi, kabupaten, kota, kecamatan sampai kelurahan.
Wakil Walikota saat Itu, Maurit Mantiri, sibuk ke sana kemarin dengan Handphone-nya mengkontak ke Bitung. Mona bisa dikontak, tapi tidak sempat sampai ke tempat acara.
Tapi Mona tetap mendapat hadiah sepeda, walaupun Mona sendiri saat itu belum bisa mengendarai sepeda. "Tapi sekarang kita so jago noh, so banyak balajar," kata gadis putih berambut panjang sebahu yang ditinggal ayahnya (meninggal) sejak masih di SMP itu ketika saya kontak lewat telepon genggamya hari Sabtu, 24 Mei 2020 lalu.
Kini Mona (26 tahun), sudah bekerja di bagian arsip kantor walikota Bitung. Ia sudah kerja di tempat pelayanan Kantor Pegadaian cabang Bitung. Ditanya apakah ia masih berharap bisa jumpa dengan Presiden Joko Widodo, Mona mengatakan masih.
"Tapi apakah beliau masih inga pa kita? Beliau Presiden banyak kesibukan dan banyak orang yang suka bakudapa deng (bertemu dengan) beliau. Apalagi deng presiden, deng Pak Gubernur Olly Dondokambey lei kita blum pernah bakudapa langsung (dengan Gubernur saja, saya belum pernah ketemu langsung) Pak Olly dan Pak Jokowi kan bukan orang sembarangan, " ujar Mona yang lahir di kecamatan asal ayahnya, di Desa Wulur Maatus, Kecamatan Modoinding (Kabupaten Minahasa Selatan), sekitar 132 kilometer selatan Manado.
Bulan Mei 2020 lalu, ketika saya mencari alamat Mona ternyata tidak mudah lagi. Beberapa wartawan di Manado yang hubungi tidak bisa langsung tahu di mana posisi perempuan Minahasa itu.
Dari Koordinator liputan Redaksi Tribun Manado, Sigit Sugiarto, saya mendapatkan nomor Mona. Tentang impian Mona bertemu dengan Presiden, Gubernur Sulut Dondokambey hanya mengatakan, "Kemungkinan, kalau jadi, Presiden mau meresmikan tol Manado - Bitung, bulan Desember 2020."
Tatkala hadirin Perayaan Natal Nasional 2016 sibuk mencari dan bertanya-tanya tentang Mona yang dicari Presiden, saya duduk di bagian tengah gedung pertemuan. Kebetulan di deretan saya duduk ada seorang perempuan yang bernama Mona. Ketika saya tanya padanya, Mona ini berkilah, "Kita (bahasa Melayu Manado menyebut saya dengan kata kita) bukan Mona dari Bitung, kita Mona dari Sinonsayang.".
Kebetulan sekali, beberapa hari sebelum saya datang ke Kecamatan Sinonsayang, sekitar 70 kilometer selatan Manado. Di Kecamatan Sinonsayang, beberapa kilometer selatan kota Amurang (Ibukota Kabupaten Minahasa Selatan), ada Gunung Sinonsayang. Di lereng gunung itu ada sebuah lesung (lisung, tempat untuk neumbuk padi) yang cukup besar.
Ada cerita legenda tentang lesung itu. Katanya bila kita mengisi air ke dalam lesung itu sampai penuh malam harinnya putri Si Non Sayang yang cantik jelita akan mandi dari air di lesung itu. Tapi ini sebuah legenda atau cerita rakyat setempat.
Menurut Wakil Bupati FrankyWongkar yang namanya cukup legendaris di Sulut, Kecamatan Sinonsaya yang dilintasi jalan raya pantai Trans Sulawesi lebih terkenal sebagai penghasil cengkeh, padi dan rambutan.
Selain itu Sinonsayang, kata Franky Wongkar, adalah tempat asal, perwira militer Adolf Gustaaf Lembong, yang sampai sekarang namanya dijadikan nama jalan di depan Museum Mandala Wasit, di Bandung Jawa Barat. AG Lembong meninggal dunia dalam peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di Bandung, 23 Januari 1950.
Selain itu teman saya, seorang wartawati yang pernah bertugas di Solo, Jawa Tengah dan pernah bertugas di istana kepresiden di masa pemerintahan Presiden Jokowi juga berasal dari Kecamatan Sinonsayang.
Dari temen saya ini, Sonya Helen Sinombor dari Sinonsayang ini, saya kenal Pak Jokowi semenjak jadi walikota di Solo. Sonya cukup dekat dengan Jokowi. Sonya mengatakan masyarakat Kecamatan Sinonsayang punya lagu kebanggan tersendiri berjudul, "Di bawah Gunung Sinonsayang ada Letkol AG Lembong".
Tokoh perjuangan bersenjata Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta, dideklarasikan di Makasar 2 Maret 1957), Dolf Runturambi, dalam bukunya terbitan 1988, berjudul, "Permesta -- Kandasnya sebuah cita-cita - Kenangan Seorang Panglima Permesta."juga menyebut nama Gunung Sinonsayang .
Pertengan tahun 1960, Dolf Runturambi bersama istri, dan anaknya serta pasukan pengawalnya berda dua hari dua malam di lereng Gunung Sinonsayang. Dalam perjuangan Permesta 1958 - 1961, Dolf Runturambi secarat berturu-turut menjabat Kepala Staf Gubernur Militer Sulawesi Utara-Tengah merangkap Komandan Batalion 714, kemudian Komandan Resimen Ular Hitam.
Jabatan selanjtnya adalah Panglima Komando Daerah Pertempuran III- Gorontalo - BolaangMongondow. Sebelum Permesta kembali ke pangkuan RI, ia menjabat Kepala Staf Angkatan Perang Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Antara setelah Piagam Permesta dicanangkan Di Makasar 1957 dan Permesta mengumumkan putus hubungan dengan Pemerintahan RI di Jakarta pada 17 Frebuari 1958, Dolf Runturambi bertemu dengan Presiden Soekarno di Manado (antara akhir September sampai awal Oktober 1957). Dalam bukunya Dolf Runturambi mengatakan : "Kunjungan Presiden RI Bung Karno waktu itu merupakan kejutan bagi Permesta".
"Semua orang tahu, bahwa pada dasarnya Bung Karno adalah seorang Bapak Rakyat yang selalu ingin merangkul rakyat yang sangat dicintainya. Oleh sebab itu, Permesta menyambut Bung Karno dengan gembira dan dengan cara-cara kebesaran.......".
Menurut catatan Dolf Runturambi, Bung Karno selama di Minahasa, Bung Karno mengunjungi Kantor Pusat Sinode Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM), Sekolah Tinggi Seminari Pineleng dan Universitas Permesta di Sario, Manado.
Ketika itu Bung Karno mengadakan dialog dengan para mahasiswa." Foto yang terkenal ketika mengunjungi Kantor Pusat GMIM di Tomohon, Presiden Soekarno berjalan di depan Gereja GMIM Sion memegang payung hitam.
Tidak dipayungi. Bulan Agustus 2016, sebelum acara Natal Nasional di Tondano, Presiden RI ke V, Megawati Soekarnoputri juga datang untuk pertamakali ke gereja itu dan banyak bicara tentang Pancasila.
Dalam bukunya Dolf Runturambi juga banyak mengkritik pemerintahan masa Bung Karno. Menurut Dolf pemerintahan di masa Bung Karno terlalu berdekatan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan penuh pertikaian.
Dolf mengkhawatirkan Indonesia akan menjadi jajahan pemerintahan komunis Uni Soviet dan Cina (waktu itu). Soal "banyak pertikaian" itu, justru terjaadi di dalam gerakan bersenjata Permesta sebelum kembali ke Ibu Pertiwi.
Selama berada di Manado, kedatangan Bung Karno juga disambut antara lain oleh spanduk-spanduk yang berbunyi :"Takut kepada Tuhan adalah permulaan dari segala Kearifan."Â
Ini menurut catatan penulis buku tentang Permesta yang paling lengkap, komprehensif, akurat, dan mendalam, Barbara Sillar Harve, dari Amerika Serikat dalam bukunya "Permesta Pemberontakan Setengah Hati" yang dicetak pertama dalam bahasa Indonesia tahun 1984.
Buku itu juga mencatat: "Dalam pidatonya dirapat-rapat umum di Manado, Tomohon, Tondano, Gorontalo dan Palu, Sukarno mendapat dukungan atas seruannya untuk persatuan.......Tapi para pendukung Permesta juga ada yang menyerukan , "Maaf Bung Karno, kami tidak menghendaki komunisme".
Di masa kampanye pemilihan gubernur Sulut tahun 2015, lawan-lawan tanding Olly sering juga mengemukakan ayat Kitab Suci yang berbunyi "Takut kepada Tuhan adalah Permulaan dari Segala Kearifan." Namanya juga ingin menang segala cara ditempuh, termasuk menggunakan hal-hal berkaitan dengan agama.
Menanggapi hal seperti ini, dalam buku tulisan Cindy Adam, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Bung Karno antara lain mengatakan, "Tampaknya tak seorang pun yang bercerita kepada Pope bahwa Soekarnolah yang menghancurkan orang-orang komunis di tahun 1948.......Aku tidak ingin membiarkan mereka atau orang lain meniadakan Tuhan di Tanah Airku."
Alen Pope adalah penerbang dari Angkatan Udara Amerika serikat yang peswatnya jatuh ditembak anggota Tentara Republik Indonesia setelah pengeboman di pelabuhan Ambon 18 Mei 1958. Setelah Pope ditahan Pemerintah RI, Amerika, Inggris, Taiwan, Korea Selatan dan Filipina menarik bantuan dan dukungan mereka kepada perjuangan PRRI/Permesta.
Ini terjadi sekitar hampir tiga bulan setelah Permesta melakukan gerakan bersenjata. Seterusnya, Permesta berjalan menuju suasana "tafuraga" (berntakan) dan mencapai habis riwayatnya.Pope dihukum mati tapi diampuni Bung Karno dan dikembalika ke negeri asalnya di Amerika.
Kembali lagi kita ke acara Mona Valentina Kumendong. Ketika saya tanya pada hari Minggu , 24 Mei 2020 lalu, apakah ia pernah ke Sinonsayang, Mona mengtakan belum pernah datang ke kecamatan itu. Dia tidak banyak tahu tentang tempat itu.
Kamis, 28 Mei 2020 lalu, saya tanya suasana di dalam rombongan presiden sebelum setelah Mona dicari Presiden Jokowi, Staf Khusus Presiden Sukardi Rinakit bercerita, dalam perjalannya pulang ke Jakarta, ia sempat tanya Presiden tentang Mona yang tidak sempat naikpanggung di Tondano.
"Sayang ya tidak bisa jumpa, "kata Presiden seperti diceritakan Sukardi Rinakit.
Sukardi Rinakit juga menceritakan, dalam perjalanan ke Tondano, dia sempat membaca Tribun Manado yang memuat Mona yang ingin bertemu dengan Presiden Jokowi. "Mona ini perlu disapa antara lain karena orang ini tidak punya maksud politis. Dia rakyat kecil yang berharap bisa jumpa langsung Presidennya."
Saling mengejutkan
Sekitar dua bulan sebelum acara Natal Nasional di Tondano, 16 Oktober 2016, Jokowi datang ke Miangas Dalam suatu acara, dari atas panggung memanggil seorang pemuda yang pekerjaan sehari-hari sebagai penangkap ikan di laut (nelayan kecil).Â
Jokowi seperti biasanya, bertanya nama-nama jenis ikan yang ada di perairan pulau kecil itu. Yang pertama disebut oleh sang pemuda berkulit hitam karena terbakar matahari itu adalah ikan indosiar.
"Hah, apa ? Ikan apa ? Ikan Indosiar ?," tanya Jokowi.
Pemuda itu tanpa canggung mengatakan, "Ya ada di laut,"
"Coba, saya tanya Pak Gubernur. Benar ada ikan indosiar di sini Pak Gubernur ?," tanya Jokowi.
Gubernur Olly Dondokambey pun menjawab dengan suara lantang, "Ya ada Bapak Presiden".
"Wah, saya sungguh nggak ngerti sebelumnya kalau ada ikan indosiar," kata Jokowi.
Tapi pemuda itu mendapat hadiah sepeda. Ketika hal ini menjadi tulisan saya di suratkabar Jakarta, Harian Kompas, seorang yang ikut hadir di Miangas mengatakan, "wah televisi Indonesia mendapat promosi gratis. Warga nelayan di Sulut menyebut ikan laut yang bisa terbang di permukaan air laut itu sebagai ikan indosiar karena seperti simbol televisi Indosiar."
Setelah mendapat kejutan dari pemuda Miangas, Jokowi mencuci muka di pantai. Gubernur Olly Dondokambey mengatakan, barang siapa yang mencuci muka di pantai sini suatu saat akan kembali ke sini.Â
Waktu di Miangas, Kepala Staf Presiden (waktu itu) Teten Masduki yang kini menjadi Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah juga hadir. "Waktu itu Pak Jokowi memnyempatkan membasuh mukanya mukanya dengan air laut yang bening kebiru-biruan ,'kata Kang Teten kepada saya hari Jumat 29 Mei 2020 yang lalu di Jakarta.
"Beliau tampak melakukannya dengan penuh emosi. Baru kali pertama bumi di ujung utara Indonesia disentuhnya dengan penuh khitmah. Pak Jokowi seperti ingin memeluk bagian Indonesia yang jarang disentuh. Saya sangat terharu melihat pemandangan ini, kekhitmatan Kepala Negara ini," begitu kata Kang Teten.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H