Mohon tunggu...
Joseph Osdar
Joseph Osdar Mohon Tunggu... Jurnalis - Wartawan

Lahir di Magelang. Menjadi wartawan Harian Kompas sejak 1978. Meliput acara kepresidenan di istana dan di luar istana sejak masa Presiden Soeharto, berlanjut ke K.H Abdurrahman Wahid, Megawati, SBY dan Jokowi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bukan Mona dari Sinosayang

31 Mei 2020   15:32 Diperbarui: 1 Juni 2020   05:38 1219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Keindahan Atas dan Bawah Laut Manado, Sulawesi Utara. (sumber: Shutterstock via kompas.com)

Melihat sulut tidak bisa melupakan salah satu episode sejarah Permesta (1957 - 1961). Bung Karno, pencetus Pancasila 1 Juni 1945, menyerukan Jasmerah, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. "Historia magistra vitae," (sejarah adalah guru kehidupan),"itu kata Marcus Tulius Cicero atau yang lebih dikenal dengan sebutan Cicero (106 - 43 sebelum Masehi.

Cicero hidup di Roma hampir duaribu tahun lalu. Cicero terkenal sebagai juru pidato atau orator ulung, selain sebagai filsuf, politisi dan ahli hukum. Tahun 1959, ketika pasukan bersenjata Permesta semakin terdesak, salah satu tokoh Permesta, Ventje Sumual merencanakan operasi merebut kembali Gorontalo dari tangan Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Operasi itu diberi nama sandi Cicero. Tapi rencana itu tidak terlaksana karena perpecahan di antara pemimpin Permesta (dari buku otobiografi salah seorang perwira Permesta Dolf Runturambi, Permesta - Kandasnya sebuah Cita-cita, halaman 125, 126 dan 128).

Dalam tulisan ini, saya ingin sedikit atau sekilas memerlihatan susana masyarakat Sulut ketika menerima Presiden Jokowi dan Presiden Soekarno. Jokowi datang ketika Republik Indonesia berusia antara 71 dan 75 tahun). 

Bung Karno datang ketika RI berusia hampir 15 tahun. Suasananya ada yang sama tapi ada bedanya juga. Menarik untuk dibaca dan dibahas tapi jangan debat kusir. Cukup menarik melihat masa depan tanpa melupakan sejarah. Jangan lupakan sejarah.

Ketika Jokowi mencari Mona.

Kita kembali ke acara perayaan Paskan Nasional 2016 di Tondano. Presiden telah menyapa rakyat Sulut. "Sebelum saya lupa, tadi pagi saya membaca di koran (Tribun Manado), ada ibu-ibu dari Bitung, nggak tahu saya dia ibu-ibu atau masih muda, namanya Mona. Katanya mau ketemu saya," seru Jokowi yang disambut tepuk sora hadirin yang menggema di dalam dan diluar gedung pertemuan termegah di tepi danau terbesar di Sulut itu.

"Orangnya mana? Suruh ke sini naik panggung. Mana? Mana? Jangan-jangan di luar. Coba dicari itu yang namanya Mona. Cari sampai ketemu," lanjut Presiden yang membuat sibuk para pejabat provinsi, kabupaten, kota, kecamatan sampai kelurahan.

Wakil Walikota saat Itu, Maurit Mantiri, sibuk ke sana kemarin dengan Handphone-nya mengkontak ke Bitung. Mona bisa dikontak, tapi tidak sempat sampai ke tempat acara.

Tapi Mona tetap mendapat hadiah sepeda, walaupun Mona sendiri saat itu belum bisa mengendarai sepeda. "Tapi sekarang kita so jago noh, so banyak balajar," kata gadis putih berambut panjang sebahu yang ditinggal ayahnya (meninggal) sejak masih di SMP itu ketika saya kontak lewat telepon genggamya hari Sabtu, 24 Mei 2020 lalu.

Kini Mona (26 tahun), sudah bekerja di bagian arsip kantor walikota Bitung. Ia sudah kerja di tempat pelayanan Kantor Pegadaian cabang Bitung. Ditanya apakah ia masih berharap bisa jumpa dengan Presiden Joko Widodo, Mona mengatakan masih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun