Ia juga mengutarakan pemerintahannya bersama Wakil Gubernur Sulut Steven Kandou antara lain mengurangi angka kemiskinan di provinsi ini. Maka tiga bulan sebelumnya Olly dan Steven Kandou bersama seluruh jajarannya mengadakan perjalalan sejauh 200 kilomer ke wilayah paling miskin di Sulut, yakni Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel) untuk mengatur strategi gerakan pengikisan jumlah masyarakat miskin.
Langkah untuk mengurangi orang miskin di Sulut, langkah besar yang dicanangkan Olly adalah mendatangkan banyak turis dari luar dalam negri. Langkah ini membutuhkan sinergi dengan pemerintah atau lembaga-lembaga terkait di pusat, Jakarta.
Maka selama 2015 - sampai 2020, di Sulut sudah hadir tujuh mega proyek yang sebagian besar ada kaitannya dengan pariwisata. Ketujuh proyek pembangunan itu adalah pembangunan jalan tol Manado - Bitung, ring road III, jalan bandar udara -Likupang, tempat pengelolaan akhir sampah (TPA) regional Wori, rumah susun Tomohon dan Universitas Sam Ratulangi Manado, palapa ring paket tengah, dan kawasan ekonomi khusus (KEK) Bitung. Selain itu dibuka penerbangan langsung antara beberapa kota provinsi di Cina dan Manado.
Banyak acara penarik wisata diadakan secara progresif. Sampai Presiden Jokowi menyebut Sulut laksana bintang yang sedang bersinar (The Rising Star) di bidang wisata. Dari tahun 2015 hingga 2019, jumlah wisata yang datang mencapai 600 persen.
Sampai ada yang berani membuat buku dengan judul penuh cita-cita dan citra romantis : "Sang Pembuka Gerbang -Terobosan Olly Dondokambey Membangun Pariwisata Sulawesi Utara".
Benar apa yang diucapkan Pramono Anung menurut cerita Sukardi Rinakit' Olly Dondokambey memang pintar. Di tengah pandemi covid 19 ini, dari tempat tinggalnya di Desa Kolongan, Jalan Sukarno Nomor 1, Manado, antara lain ia menyerukan masyarakat untuk melakukan kegiatan di rumah dengan menanam jahe merah, kunyit, temulawak dan lain-lainnya. Ia sendiri ikut menanam di halaman rumahnya.
Nampaknya di masa "New Normal" oleh akan menghidupkan ekonomi pertanian rakyat dengan memanfaatkan cengkeh, padi, ubi-ubian, jagung dan kopra (kelapa). Olly nampak sekali gerakan ini disinergikan dengan pemerintah pusat.
"Tapi kami siapkan dulu rumah sakit covid, di tiga tempat yakni Rumah Sakit Noongan, RSUD Bitung dan Klinik Siloam. Selain itu kami dirikan rumah singgah penampungan pendatang yang masuk Sulut, di Malalyang, Kairagi, Mapanget dan Kairagi Maumbi," kata Olly.
Ketika Olly menyebut kopra, pala dan cengkeh saya jadi ingat tentang tuntutan otonomi daerah yang berkaitan dengan kopra dari gerakan Permesta (1958) di Sulawesi Utara kepada pemerinatah pusat di bawah Bung Karno yang baru berusia 15 tahun.Â
Tuntutan Permesta itu bukan berlanjut dengan menselaraskan atau bersinergi dengan pusat tapi dengan mengumumkan pemutusan hubungan dengan Jakarta (17 Frebuari 1958).