1
aku lari dari bingar pesta para penjudi
menarik taruhan dan memilih bertapa
mengunci setiap pintu dan jendela
mengisolasi diri dalam benteng pertahanan
bagai dalam goa di puncak gunung
sekedar mengintip konser demokrasi
dari setelit internet yang bocor
manusia tak ubahnya hewan di hutan
para petinggi partai saling menerkam
bertengkar berebut wilayah dan isi perut
Â
raja-raja akan terus lahir datang dan pergi
silih berganti, kenapa hidup membutuhkan
sosok pemimpin untuk melaksanakan titahnya
pikiran menjadi buntu pandangan gamang
kitab-kitab suci tak dihiraukan lagi
walau kesuciannya tidak akan terkotori
setitik pun oleh berhala-berhala abad kini
dunia memasuki kegelapan dan cahaya
akan dirindukan tapi dalam terang benderang
kitab undang-undang jadi membingungkan
bagi orang-orang buta semuanya tak penting
Â
2
halaman terakhir kitab sunyi
sampai pada satu pertanyaan
kenapa harus lahir ke bumi
sendirian lalu pulang sendiri
benarkah sekadar mencari rusuk
dari tulang iga yang kurang
lalu membawa pulang padamu
kalau demikian bagaimana nasib
rusuk-rusuk yang tak ditemukan
atau yang tertukar
betapa sia-sianya sang pencipta
mengirimku ke bumi
karena aku ingin mencuri rusuk
yang dimiliki orang lain
hingga setiap waktu adalah penantian
sebuah kitab kesedihan
yang musti dituntaskan
Â
halaman terakhir kitab sunyi, hilang
mungkin gugur seperti daun-daun
atau jatuh atau ada yang nyuri
aku pun menerka-menerka
mencari jawab akhir dari kitabmu itu
sebagai rusuk yang hilang
Â
3
apakah tangan ini bisa berbuat adil
seperti air hujan yang dikirim tuhan
Â
apakah tangan ini bisa mengayomi
setiap nyawa yang ada seperti matahari
Â
apakah tangan ini bisa memayungi
wajah-wajah di bumi seperti langitmu
Â
tidak akan pernah bisa
menjangkau yang diluar kuasamu
Â
jadikan aku sekerat roti
bagi perut-perut yang kelaparan
Â
jadikan aku setets air
bagi kerongkongan yang kehausan
Â
jadikan aku teman bicara
kala orang-orang pergi meninggalkanmu
Â
walau hanya puisi
menahanmu tidak bunuh diri
Â
walau hanya puisi meredakan depresimu
menahan syarafmu agar tidak putus
Â
walau hanya puisi
menjadi tangan lembut menuntunmu
Â
ke altar jiwa
Â
4
apakah satu abad lagi kotamu masih ada
aku menatap menara-menara itu tenggelam
tanggul-tanggul rebah lalu jalan-jalan layang
hanyut diseret arus dan kota menjadi mati
Â
keangkuhan telah ditanam
kelak buah zaman akan dituai
proyek-proyek raksasa itu untuk apa
apakah akan sampai dzikir akalmu
Â
pada kekuatan untuk mengelak titah semesta
aku pun menelan ludah, tapi bukan mencibir
teknologi atau merendahkan universitasmu
mimpimu tentang sorga tak akan usai
Â
kotamu mati
Â
5
sebelum habis energi dan dunia dipaksa untuk berubah
apakah bumi pernah bangkrut dan Tuhan merubah kebijakan
beribu tahun tak terhitung air tidak pernah hilang melainkan
yang terjadi ada ketidak adilan
sepanjang kehidupan makanan tak pernah habis melainkan
terjadi ketimpangan akibat keserakahan
negara boleh bangkrut, Amerika dan sekutunya boleh bangkrut
tapi kehidupan tidak akan pernah bangkrut
Tuhan selalu ada cara membuat keseimbangan di bumi
bahkan di jagat semesta dan manusia selalu saja berbuat ulah
yang bikin alam murka
lalu akal sehat ini untuk apa bila terkalahkan oleh nafsu
dan menjadikan Iblis sebagai panglima
Â
aku tidak sedang berdagang denganmu, mengharap untung
segala cinta dan penerimaan ini yang menundukanku
pada pilihan paling sunyi sebuah perjalanan jauh tapi singkat
aku pun singgah disini; di tanah tempat segala gerak minta
dituliskan tentang pertengkaran dan perang, wahai kegaduhan
dari sunyi kembali kesunyi dari bunyi ikut bernyanyi
dan dunia tempat tamasya yang singkat tak banyak meminta
kecuali ingin mengantarmu pulang dengan sukacita
sekedar bertapa seperti kupu-kupu aku pun musti pulang
dan terbang dengan sayap paling indah, Tuhan beri aku sayap
malaikat yang tak ternoda tak terkotori.