Cuti hamil dan melahirkan merupakan salah satu hak pekerja perempuan. Meski tiap perusahaan mempunyai kebijakan yang berbeda-beda terkait cuti hamil dan melahirkan, akan tetapi negara memiliki Undang - Undang yang mengatur secara jelas sehingga perusahaan wajib menjalankan setidaknya sesuai dengan yang sudah diatur dalam aturan ketenagakerjaan.
Di Indonesia, penetapan masa cuti melahirkan diatur dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dengan durasi cuti selama tiga bulan. Namun, hak cuti ini hanya bisa dinikmati oleh karyawan perempuan yang bekerja di sektor formal. Pun demikian, ternyata tidak semua ibu pekerja mendapatkan hak cuti sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pelanggaran hak karyawan perempuan juga ditemui pada Catatan Tahunan 2021 Komnas Perempuan. Pada tiga tahun terakhir, Komnas Perempuan mencatat sejumlah kasus diskriminasi, kekerasan, dan pelanggaran hak maternitas yang dialami oleh pekerja perempuan.
Adanya sebuah hak dalam undang-undang tentunya harus menjadi sebuah pedoman dan pengingat untuk semua para pemilik perusahaan yang memperkerjakan para perempuan ini untuk memerhatikan dan memberikan sebuah haknya pada mereka, pemilik perusahaan harus bersikap adil dan memerlakukan pekerja perempuan seperti kodratnya dimana jika perempuan sedang masa hamil maupun akan melahirkan perusahaan harus melakukan kewajibannya dengan memberikan hak cutinya kepada pekerja perempuan yang sedang hamil dan akan melahirkan.
Perusahaan tidak boleh memaksa maupun bertindak seenaknya pada tenaga kerja terutama pekerja perempuan dengan terus menyuruh mereka yang sedang hamil untuk tetap bekerja tanpa diberikannya cuti, namun di Indonesia sendiri apakah hak tersebut memang benar sudah dilaksanakan oleh para pemilik perusahaan? adanya sebuah undang-undang saja sepertinya masih banyak sekali perusahaan yang menyelewengkan hak-hak pekerja perempuan ini.
Berikut adalah peraturan Undang-Undang yang Mengatur Hak cuti hamil dan melahirkan bagi seorang calon Ibu yang bekerja
Perturan mengenai cuti hamil/melahirkan diatur dalam Pasal 82 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yakni sebagai berikut :
Ayat 1 “Pekerja perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan”
Aturan ini hanya menetapkan durasi minimal yang wajib diberikan bagi pekerja perempuan yang hamil dan melahirkan. Artinya perusahaan dapat memberikan waktu istirahat/cuti yang lebih lama dari ketentuan 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 bulan sesudah melahirkan tersebut
Lebih lanjut, Pasal 84 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menetapkan “Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat hamil dan melahirkan berhak mendapat upah penuh.”
Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003, pekerja perempuan yang hamil mendapatkan jatah cuti 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan. Namun di beberapa perusahaan diatur cuti melahirkan secara akumulatif 3 bulan, mengingat tidak mudah menghitung dan menentukan HPL (Hari Perkiraan Lahir). Faktanya banyak persalinan yang mendahului atau melewati HPL. Oleh karena itu biasanya perusahaan memberi kebebasan soal kapan cuti hamil akan diambil sepanjang totalnya 3 bulan.
Misalnya, dalam hal pekerja tersebut melahirkan prematur sehingga pekerja tersebut melahirkan sebelum mengurus hak cuti melahirkannya. Apabila kelahiran terjadi lebih awal dari yang diperhitungkan oleh dokter kandungan, tidak dengan sendirinya menghapuskan hak atas cuti bersalin atau melahirkan. Anda tetap berhak atas cuti melahirkan secara akumulatif 3 bulan.
Apabila kelahiran terjadi lebih awal dari yang diperhitungkan oleh dokter kandungan, seharusnya tidak dengan sendirinya menghapuskan hak atas cuti pra melahirkan. Anda seharusnya tetap berhak atas cuti bersalin/melahirkan secara akumulatif 3 bulan. Namun demikian pada implementasinya buruh perempuan seringkali kehilangan hak cuti pra melahirkan karena ketentuan Pasal 82 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang membagi 3 bulan cuti melahirkan dengan 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan.
Padahal pada praktiknya, pekerja perempuan yang sedang hamil mungkin tak selalu mudah menentukan kapan bisa mengambil haknya untuk cuti hamil dan melahirkan. Misalnya, dalam hal pekerja tersebut melahirkan prematur sehingga pekerja tersebut melahirkan sebelum mengurus hak cuti melahirkannya. OLeh karenanya perlu diatur pemberian hak cuti yang lebih dari ketentuan normatif, atau menyepakati pergeseran waktunya, dari masa cuti hamil ke masa cuti melahirkan, baik sebagian atau seluruhnya sepanjang akumulasi waktunya tetap selama 3 bulan atau kurang lebih 90 hari kalender dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan perjanjian kerja bersama.
Apakah dapat mengambil cuti melahirkan lebih dari 3bulan?
Dalam penjelasan Pasal 82 ayat (1) UUK bahwa lamanya istirahat dapat diperpanjang berdasarkan surat keterangan dokter kandungan atau bidan, baik sebelum maupun setelah melahirkan. Surat keterangan dokter kandungan atau bidan ini yang akan jadi penentu berapa lama pekerja dapat mengambil cuti. Apabila kemudian karena alasan kesehatan, dokter kandungan menganggap pekerja perlu waktu istirahat (Cuti) lebih dari 3 bulan sebelum atau setelah melahirkan, maka pekerja dapat mengajukan cuti sesuai waktu yang direkomendasikan dokter kandungan atau bidan.
Aturan waktu cuti hamil/melahirkan yang lebih lama dari aturan yang ada saat ini memang sedang didorong dan diupayakan, khususnya paska disepakatinya Konvensi Internasional ILO No. 183 tahun 2000 tentang Perlindungan Maternitas yang mencakup 4 perlindungan utama kehamilan:
- Jangkauan Perlindungan: baik bagi buruh perempuan hamil yang menikah dan tidak menikah, berstatus kerja tetap (PKWTT) maupun kontrak (PKWT).
- Jumlah waktu cuti melahirkan yakni tidak kurang dari 14 minggu (didalamnya termasuk cuti wajib 6 minggu setelah kelahiran anak, selama itu pekerja perempuan tidak diijinkan untuk bekerja). Termasuk cuti tambahan jika mengalami sakit, komplikasi atau resiko dari komplikasi tersebut yang membahayakan kehamilan. Dan istirahat untuk menyusui.
- Adanya tunjangan finansial dan medis selama kehamilan hingga kelahiran.
- Jaminan tidak akan kehilangan pekerjaan bagi pekerja perempuan yang mengambil hak cuti hamil/melahirkan dan perlindungan dari tindakan diskriminasi lainnya.
Apakah ada cuti bagi seorang pekerja yang istrinya melahirkan?
Pekerja yang istrinya melahirkan atau pun mengalami keguguran berhak atas cuti ayah selama 2 hari dengan upah penuh dari perusahaan tempatnya bekerja. Pasal 93 ayat (2) huruf c dan ayat (4) UU 13/2003 menyebut: pengusaha wajib membayar upah untuk selama 2 hari apabila: pekerja tidak masuk bekerja karena isteri melahirkan atau keguguran kandungan.
Sementara itu bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 24 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pemberian Cuti ASN menyebut, ASN berhak memperoleh cuti ketika istri sedang melahirkan atau operasi caesar karena alasan penting dengan menyertakan lampiran surat keterangan rawat inap, surat keterangan dokter kandungan, dsb. Pengajuan cuti ayah ini bisa didapatkan paling lama 1 bulan. Cuti untuk mendampingi istri melahirkan ini tidak mengurangi jatah cuti tahunan ASN dan selama cuti ini ASN berhak atas upah penuh.
Mengenai cuti untuk keperluan anak ini, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), melalui Konvensi ILO Nomor 156 tahun 1981 tentang Pekerja dengan Tanggung Jawab Keluarga, mendorong Negara anggota untuk melindungi perlakuan yang sama bagi pekerja laki-laki dan perempuan, dengan tanggung jawab keluarga, untuk menggunakan hak mereka melakukan tanggung jawab tersebut tanpa didiskriminasikan dan, sejauh memungkinkan dilindungi, tanpa ada konflik antara pekerjaan dan tanggung jawab mereka. Sayangnya Konvensi ini belum diratifikasi oleh Negara Indonesia
Dengan demikian, terdapat sanksi bagi perusahaan yang melanggar hak yang telah disebutkan diatas. Sanksi tersebut dapat berupa :
Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 187 UU Ketenagakerjaan, yang menegaskan pelanggaran terhadap ketentuan cuti tahunan merupakan tindak pidana pelanggaran dan dikenakan sanksi pidana:
- kurungan paling singkat 1 bulan dan paling lama 12 bulan, dan/atau
- denda paling sedikit Rp 10 juta dan paling banyak Rp 100 juta.
Pelanggaran atas hak cuti karyawan sebenarnya bukan hanya berdampak hukum, tetapi juga memperburuk reputasi perusahaan itu sendiri. Perusahaan dianggap bukan tempat yang baik untuk bekerja, dan pada akhirnya akan sulit menarik karyawan hebat di luar untuk bergabung.
Penulis :
1. Oryza Zativa Wulandari (Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang)
2. Dr. Ira Alia Maerani, S.H., M.H (Dosen Fakultas Hukum Universitas Sultan Agung Semarang)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI