SBY berbisik ke telinga saya: "Bismillah saja Din, jangan putus asa. Kita terus berusaha. Mudah-mudahan berhasil." Alhamdulillah, dalam waktu tak terlalu lama, Meutya dan Budianto dibebaskan oleh para penculik dalam keadaan selamat tanpa disakiti sedikit pun.
Dalam masa krisis di mana situasi begulir dengan cepat, satu elemen yang sangat penting adalah respons yang real time. Real time di sini berarti tepat waktu dan tidak tertinggal oleh roda-roda perkembangan kejadian. Kaliber seorang pemimpin di masa krisis juga dapat diukur dari kemampuannya membuat keputusan yang berani.
Dari semua keputusan Presiden SBY, ada dua keputusan besar yang menurut saya sangat berani. Pertama, keputusan SBY untuk memulai kembali perundingan dengan GAM di awal 2005. Kedua, adalah tindakan SBY yang menurunkan subsidi dan menaikkan harga BBM. Apapun yang terjadi dalam kurun waktu 2004-2009, paling tidak dua keputusan besar ini sudah menjadi sejarah capaian Presiden SBY.
Masalah BBM sudah ada di benak Presiden SBY sejak awal. Ketika Presiden SBY dilantik, subsidi BBM melonjak tinggi sampai Rp 70 triliun. Dan defisit APBN 2004 membengkak dari Rp 26,3 triliun menjadi Rp 38,1 triliun. Perubahan memang sulit dilakukan, karena rakyat Indonesia terlalu lama dimanjakan dengan minyak murah.
Era 70-an, produksi minyak kita sempat mencapai 1,7 juta barel per hari, dan sebagian besar diekspor karena kebutuhan domestik waktu itu relatif kecil. Situasi ini mulai berubah di tahun 2004 dan setelahnya. Harga minyak naik terus, hingga USD 60 per barel pada awal 2005. Sementara, produksi minyak Indonesia turun jadi 1,18 juta barel per hari, dan konsumsi dalam negeri melonjak drastis karena semakin banyak orang yang memiliki motor dan mobil. Indonesia kini harus mengimpor minyak rata-rata 400-500 ribu barel per hari.
Subsidi BBM sebagian besar dinikmati kelas menengah ke atas yang tidak berhak menerimanya. SBY melihat masalah subsidi BBM sebagai kebijakan yang tidak rasional, salah kaprah, dan salah sasaran. SBY punya dua opsi: tetap memberikan subsidi seperti tahun 2004, atau mengurangi subsidi dan menaikkan harga BBM.
Di sinilah kepemimpinan SBY diuji. SBY akhirnya memutuskan menaikkan harga BBM. "Pilihan ini adalah pilihan sulit, amat sulit dan pahit. Namun di sini kita harus memilih, mana yang lebih penting dan dibutuhkan rakyat banyak: subsidi BBM atau subsidi kebutuhan pokok," katanya.
Langkah Presiden SBY yang 'ekstrim' itu banyak menarik perhatian, sehingga ada negara yang ingin belajar dari keberhasilan Indonesia menangani masalah BBM. Setelah mengambil keputusan ini, SBY bukannya jatuh namun justru semakin mapan.
Akhir Januari 2008, dunia diguncang krisis ganda: melonjaknya harga pangan dan minyak dunia. Peningkatan tajam harga BBM dunia menyebabkan melonjaknya harga pangan. Majalah The Ecnomist menjuluki krisis pangan kali ini sebagai The Silent Tsunami.
Presiden SBY lantas menulis surat kepada Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa-Bangsa Ban Ki-Moon, Ketua KTT G-8 Yasuo Fukuda, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong. Dalam semua korespondensi itu, SBY selalu menekankan bahwa Indonesia berbeda dengan dunia lainnya, pada saat ini tidak mengalami krisis pangan. Produksi beras Indonesia mencukupi, bahkan surplus.
Presiden SBY menekankan berkali-kali perlunya mengubah krisis menjadi peluang. "Pendekatannya harus crisis action management. Kita harus memiliki mental 'mesti bisa' dan 'harus lebih baik'."