Pemilihan Umum (Pemilu) sebagai salah satu instrumen pergantian kekuasaan dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi. Indonesia menjadi salah satu negara demokrasi terbesar, tentu saja menjadikan pemilu sebagai transisi kepemimpinan baik Presiden, Kepala Daerah dan termasuk juga pemilihan DPR dan DPD. Tahun 2024 menjadi momentum 5 (lima) tahunan pergantian kepemimpinan nasional, pelaksanaan pemilu ini dilandasi dengan pemilihan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (jurdil) sehingga pemimpin yang terpilih harus merupakan representasi rakyat.Â
Proses pelaksanaan pemilu juga harus berjalan sesuai dengan tujuannya dengan proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan sehingga bisa mewujudkan pemilu yang berkualitas dan akuntabel. Untuk itu, pemilu harus diselenggarakan oleh pihak yang telah ditetapkan secara aturan perundang-undangan dengan profesionalitas dan kompetensi.Â
Penyelenggaran pemilu berdasarkan pasal 22E ayat (5) UUD menetapkan, "Pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi pemilu (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri". Selain itu, dalam ranah sengketa pemilu, Mahkamah Konstitusi (MK) yang merupakan lembaga yudikatif yang dibentuk pasca reformasi juga termasuk dalam bagian penyelenggara pemilu.Â
Salah satu fungsi MK dalam hal ini merupakan lembaga krusial dalam menegakkan supremasi hukum dan keadilan dalam sebuah negara demokratis. MK berperan penting sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilihan umum, termasuk dalam hal Pilpres.Â
Pada Pemilu 2024, berdasarkan keputusan KPU menetapkan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka paslon dengan nomor urut 02 sebagai presiden dan wakil presiden terpilih dengan perolehan sebanyak 96.214.691 suara, sedangkan paslon 01 yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar memperoleh sebanyak 40.971.906 suara, dan paslon nomor urut 03 Ganjar Pranowo-Mahfud MD memperoleh 27.040.878 suara (KPU, 2024).Â
Atas keputusan KPU dalam pilpres ini, kubu Paslon Anies-Muhaimin dan Paslon Ganjar-Mahfud menyatakan ketidakpuasannya atas hasil pilpres, oleh sebab itu mereka menyampaikan gugatan mereka di MK. Dalam gugatan tersebut, salah satu perdebatan di MK terkait sengketa Pilpres adalah argumen-argumen yang mengkritisi proses pemilihan, menyoroti potensi pelanggaran atau ketidakberesan yang terjadi selama proses tersebut dengan mengajukan bukti-bukti yang menurut mereka menunjukkan adanya kecurangan atau pelanggaran hukum yang signifikan.Â
Di sisi lain, kubu 02 yakni Prabowo-Gibran sebagai pihak terkait yang dianggap menang dalam Pilpres, berusaha mempertahankan kemenangan mereka dengan menyajikan argumen-argumen yang menegaskan validitas dan keabsahan proses pemilihan. Mereka mengklaim dan menyampaikan argument-argumen hukum bahwa proses tersebut telah dilaksanakan secara transparan dan sesuai dengan peraturan yang berlaku mereka juga bisa menyanggah bukti-bukti yang diajukan oleh pihak pemohon, mengklaim bahwa bukti tersebut tidak memadai atau tidak relevan dalam konteks permasalahan yang sedang dipertimbangkan.
Salah satu momen yang menjadi sorotan selama sidang MK yaitu kehadiran Romo Magnis Suseno sebagai saksi ahli dari kubu Ganjar-Mahfud dalam persidangan sengketa Pilpres 2024. Romo Magnis Suseno dalam perkara tersebut banyak memaparkan persoalan etika seorang presiden ketika memberikan keterangan dihadapan sidang.Â
Ia menyinggung seorang presiden yang tak ubahnya sebagai seorang pemimpin organisasi mafia bila menggunakan kekuasaannya untuk pihak-pihak tertentu sebab menurutnya presiden adalah penguasa atas seluruh masyarakat yang harus sadar bahwa tanggung jawabnya adalah keselamatan seluruh bangsa, sehingga tidak boleh menggunakan kekuasaan demi keuntungan pribadi dan keluarganya.
Di sisi lain, kubu Prabowo-Gibran sebagai pihak terkait memberikan keterangan untuk membantah dalil yang disampaikan oleh Romo Magnis Suseno sebagai saksi ahli Ganjar-Mahfud dalam sidang MK. Kubu 02 menyampaikan bahwa keterangan yang disampaikan oleh Romo Magnis Suseno ini bernada judge mental dan menghakimi sebab landasan yang disampaikan oleh Romo Magnis Suseno di MK menurut Tim 02 tidak didasarkan pada bukti-bukti pelanggaran hukum.Â
Yusril Ihza Mahendra sebagai Ketua Tim Hukum 02 menyatakan bahwa keterangan Romo Magnis ini tidak didasarkan oleh logika hukum, walaupun dia mengakui bahwa putusan Hakim atas usia pencalonan presiden dan wakil presiden yang kemudian membuka pintu untuk Gibran untuk mencalonkan diri memang bermasalah secara etika dan terbukti dengan dicopotnya Answar Usman sebagai Ketua MK yang memberikan putusan tersebut juga sebagai paman dari Gibran Raka Buming Raka.Â
Selain itu, terjadi pelanggaran etika yang dilakukan oleh KPU atas tindak lanjut keputusan MK tersebut. Namun, menurut Yusril bahwa masalah etik itu berkaitan dengan etika dalam pengertian code of conduct atau kode etik profesi. Kode etik profesi ini merupakan amanat undang-undang. Yusril menjelaskan, hal itu berbeda dengan etika dalam pengertian filsafat moral yang kedudukannya lebih tinggi dari hukum sebagaimana dipaparkan oleh Romo Magnis (kompas.com, 2024).Â
Perdebatan antara Romo Magnis Suseno dengan Tim Kuasa Hukum 02 dalam sidang perkara sengketa pilpres ini menggambarkan latar belakang para tokoh tersebut. Dalam hal ini, Romo Magnis Suseno dengan latar belakang ahli filsafat dan dosen filsafat ini menggunakan pendekatan filsafat etika dan moral dalam politik.Â
Dalam konsep etika politik menurut Romo Magnis Suseno khususnya dalam kepemimpinan yaitu: Pertama, pemimpin harus menjaga lembaga-lembaga seperti hukum dan negara berjalan dengan adil yang bijaksana. Kedua, kepemimpinan seharusnya menjadi tujuan dasar dan sasaran segala kebijakan politik. Berdasarkan pemikiran tersebut menunjukan bahwa gagasan yang disampaikan oleh Romo Magnis ini berlandaskan pada filsafat etika dan moral kepemimpinan.Â
Di sisi lain, Tim Kuasa Hukum 02 berangkat dari logika hukum, dalam hal ini bahwa segala sesuatu perkara harus melalui proses pembuktian, acara pembuktian merupakan tahap terpenting untuk membuktikan kebenaran terjadinya suatu peristiwa atau hubungan hukum tertentu, atau adanya suatu hak, yang dijadikan dasar oleh penggugat untuk mengajukan gugatan ke pengadilan.Â
Sengketa Pilpres di MK yang sedang berlangsung ini menunjukan cerminan realitas politik yang kompleks dam kadangkala kontroversial. Perdebatan yang terjadi antara Romo Magnis Suseno dengan Tim Kuasa Hukum 02 ini juga tampak tidak terlepas dari kepentingan masing-masing kelompok.Â
Seperti diketahui bahwa Romo Magnis sebelumnya secara tegas menyatakan dukungannya kepada paslon Ganjar-Mahfud sebab menurutnya hanya pasangan tersebut yang tidak bertentangan dengan etika dan moral kepemimpinan, sedangkan Tim Kuasa Hukum 02 tampak jelas merupakan pakar hukum yang juga petinggi partai politik yang mendukung Prabowo-Gibran dalam pilpres ini tentu memberikan pembelaan hukum penuh untuk paslon tersebut.Â
Oleh sebab itu, menurut hemat penulis bahwa penting bagi kita sebagai masyarakat untuk tetap mempertahankan sikap yang kritis dan objektif dalam melihat setiap argument yang disampaikan oleh kedua belah pihak secara rasional dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik atau emosional semata.
Sumber referensi : https://youtu.be/m8NJ9CipODE?si=qa8EJ3UnNLFs_IYq
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H