Bima merupakan daerah yang terbagi menjadi Kabupaten dan Kota. Sebelum pecah menjadi Kabupaten dan Kota, Bima merupakan daerah Kabupaten, dan sebelumnya berbentuk Kerajaan. Setelah menerima agama Islam berubah dari Kerajaan menjadi Kesultanan. Bima memiliki suku asli demikian pula bahasa bernama Mbojo.
Menyinggung tentang Mbojo dan Bima, Mbojo dari kata Babuju, asli bahasa daerah Bima yang memiliki arti "kerja sama". Bima berasal dari bahasa Sansekerta, Bhima yang berarti kuat, besar.
Masyarakat Bima menjunjung tinggi nilai soliditas, solidaritas dan kerja sama, seperti mafaka ro dampa "musyawarah mufakat" karawi kaboju "kerja sama".Â
Baca juga : Mengenal dan Menjaga Kelestarian Bahasa Bima
Istilah Mbojo sangat akrab ketika orang Bima berada di daerah lain. Misalnya bertemu di terminal bus atau di bandar udara, atau sama-sama berada di daerah lain, bahkan tradisi yang umum sekali bagi pelajar atau mahasiswa yang bertemu di daerah lain, sesama teman sering menyebut ndai dou Mbojo, "kita orang Bima". (Anwar Hasnun: Mengenal Orang Bima dan Kebudayaannya, 2020).
Ketika zaman kerajaan yang dilanjutkan dengan masa kesultanan, para sarjana, ilmuan dan penggiat budaya sudah mencurahkan perhatian besar pada bahasa, sastra, budaya dan sejarah kerajaan dan kesultanan Bima.Â
Menulis kembali tentang Bima dan kebudayaannya adalah menghidupkan kembali wasiat leluhur, tentu menjadi tugas generasi sekarang, agar generasi berikutnya mengetahui dan paham tentang peradaban leluhur dan daerahnya. Sebab apa yang dilakukan dan dialami oleh orang tua-tua terdahulu tidak mungkin kita ketahui sekarang secara pasti seperti budaya, adat istiadat, karakter kepemimpinan dan sebagainya tanpa dokumentasi dan inventarisasi dalam bentuk buku, karya ilmiah yang berharga untuk pendidikan dan kehidupan.
Baca juga : Bima, Si Kota Kecil di Ujung Pulau Sumbawa
Mengenal segala hal tentang Bima sama mestinya seperti mengenal diri sendiri. Tidak mengetahui dan memahami budaya leluhur, adat dan filsafat hidup merupakan kesalahan fatal yang dapat mengakibatkan Bima akan hilang ditelan zaman karena kelalaian generasinya.
Orang Bima sangat kaya akan sejarah, adat dan budaya, karakter kepemimpinan, filsafat hidup, bahasa dan sastra yang merupakan warisan leluhur dan kebanggaan bersama.
Dari sisi sejarah, Bima memiliki periodesasi sejarah, sejak zaman Naka (prasejarah), zaman Ncuhi (proto sejarah), masa Kerajaan (lebih kurang abad IX), Kesultanan (1640-1951) Swapraja sampai menjadi Kabupaten-Kota (1950-sekarang). Secara garis besar memiliki karakteristik masing-masing masanya. (M  Hilir Ismail: Peran Kesultanan Bima dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, 2004).
Tentang karakter kepemimpinan, orang Bima berkeyakinan bahwa seorang pemimpin harus memenuhi syarat yang nantinya akan dipegang teguh sebagai karakter kepemimpinan selama menjadi pemimpin, misalnya terdapat istilah Nggusu Upa, Nggusu Ini, Nggusu Waru yang tetap mengacu pada Maja Labo Dahu (malu dan takut) sebagai Fuu Mori (pilar kehidupan).Â
Orang Bima kaya akan filsafat hidup, dan kehidupan penuh lambang tertentu, seperti pada tradisi Rawi Made, Rawi Mori, Nika ra Noke (perkawinan) dan adat istiadat lainnya.
Baca juga : Kerajaan Bima NTB (Nusa Tenggara Barat)
Jika diperhatikan, filsafat hidup orang Bima memiliki kaitan yang sangat kuat dengan syariat agama Islam, secara garis besar Syariat Islam diterima, dipahami, dan dilaksanakan dalam kehidupan nyata. (Baca juga: Agama dan Bangsa dalam Bingkai Maja Labo Dahu)
Dua prinsip tersebut memiliki titik temu yang sejalan, dalam penerapannya menjadi landasan hidup yang mampu membimbing dan dijadikan sumber inspirasi dalam kehidupan sosial masyarakat Bima.
Kekayaan selanjutnya yaitu pada jenis sastra, dapat dilihat pada Nggahi Tua (dalam sastra Melayu dikenal dengan gurindam). Kande, jenis puisi lisan daerah Bima, diucapkan dengan lagu khas ketika pelantikan raja, sultan.Â
Isinya mengenai harapan rakyat kepada raja, sultan untuk berlaku adil dan selalu mengayomi rakyat. Nggahi Bale dalam sastra lama, Mpama Kadee dan Mpama Pehe, sampai sekarang masih hidup di tengah masyarakat, baik kota maupun desa.
Mengkaji sejarah, adat dan budaya Bima yang sangat kaya tersebut merupakan keharusan untuk diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi.
Generasi muda Bima, para pelajar, mahasiswa, dan masyarakat Bima secara keseluruhan, berkewajiban menjaga nilai-nilai luhur budaya Bima agar tetap terjaga dalam memori kolektif maupun dalam perilaku keseharian, demi membangun sumber daya Bima yang berkualitas untuk masa yang akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H