Istilah meaningful participation atau partisipasi yang dilakukan secara bermakna muncul dalam pertimbangan Hakim Konstitusi dalam Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 tentang pengujian formil UU Cipta Kerja.Â
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Konstitusi  menyatakan bahwa selain yang ditentukan dalam aturan legal formal, partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna (meaningful participation) sehingga terwujud keterlibatan publik secara sungguh-sungguh. Lebih lanjut dalam pertimbangannya, disebutkan ada tiga prasyarat partisipasi masyarakat yang lebih bermakna, yaitu :Â
pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atas pendapat yang diberikan (right to be explained).Â
Partisipasi publik ini juga seharusnya dikhususkan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung terhadap setiap rancangan undang-undang yang sedang dibahas.
Bagaimana ketentuan tentang Partisipasi Masyarakat dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan?
UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur ketentuan tentang partisipasi masyarakat dalam Pasal 96. Disebutkan bahwa partisipasi masyarakat dapat diberikan baik secara lisan dan/atau tulisan oleh orang atau sekelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi suatu Rancangan Undang-undang.Â
Adapun masukan tersebut dapat dilakukan melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, dan/atau seminar, lokakarya, dan/atau diskusi. Tentu media penyalur partisipasi masyarakat tersebut seharusnya tidak hanya sebatas formalitas atau alat legitimasi belaka.Â
Maka dari itu merujuk pada putusan MK di atas, partisipasi masyarakat sejatinya tidak hanya didengarkan, tetapi lebih jauh yaitu dipertimbangkan dan diberikan penjelasan terhadapnya.
Kenapa penting mengedepankan Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan?Â
Dalam sebuah Negara hukum, tentu segala ketentuan dalam menjalankan negara harus memiliki landasan yuridis yang jelas. Ketentuan dalam menjalankan Negara tersebut diwujudkan dalam kebijakan-kebijakan publik yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.Â
Tujuan dari kebijakan publik secara umum adalah untuk menghadirkan ketertiban dalam masyarakat, dan tentunya untuk melindungi hak-hak masyarakat.Â
Maka dari itu, sangat penting dalam proses perumusan kebijakan publik tersebut, masyarakat sebagai aktor yang akan terikat pada kebijakan-kebijakan publik yang akan ditetapkan diikutsertakan secara aktif dalam proses yang inklusif.Â
Di sisi lain, masifnya partisipasi masyarakat dalam pembentukan perundang-undangan juga berdampak positif terhadap kepercayaan masyarakat akan produk hukum atau kebijakan yang dibentuk.
Seperti apa bentuk partisipasi yang bermakna atau Meaningful Participation?
Sebelum menyimpulkan seperti apa bentuk dari meaningful participation, penulis ingin mengutip pendapat dari Sherry R. Anstein dalam jurnalnya A Ladder of Citizen Participation atau yang diterjemahkan sebagai Tangga Partisipasi Masyarakat. Secara garis besar, ada 3 jenis karakteristik dari partisipasi masyarakat yaitu :
- Tidak Partisipatif / Non-Participation yang terdiri atas manipulation dan therapy.
- Derajat Semu / Degrees of Tokenism yang terdiri atas information, consultation, dan placation.
- Kekuatan masyarakat / Degrees of Citizen Powers yang terdiri atas partnership, delegated power, dan citizen control.
Derajat partisipasi masyarakat yang paling tinggi adalah Citizen Control, Delegation, dan Partnership dimana masyarakat ikut turut serta dalam pengambilan keputusan secara deliberatif.Â
Sedangkan derajat partisipasi terendah adalah Manipulation, yaitu dimana proses pemberian keputusan hanya dengan sosialisasi satu arah semata dan publik hanya berperan sebagai "alat legitimasi".
Memaknai meaningful participation dari konsep tangga partisipasi di atas, tentu yang diharapkan terwujud adalah partisipasi masyarakat yang termasuk dalam kategori Citizen Control. Tentu Citizen Control yang diberlakukan disesuaikan dengan konsep demokrasi perwakilan di Indonesia.Â
Dalam arti, para pengemban suara rakyat harus lebih pro-aktif menemukan desain partisipasi masyarakat yang bermakna secara terbuka.Â
Misal dengan memperluas ruang partisipasi publik serta menghadirkan ruang partisipasi yang lebih representatif dalam proses pembentukan pembe ntukan Peraturan Perundang-undangan.
Dan mungkin lebih jauh lagi, pembentuk kebijakan harus dapat memberikan rasionalisasi terhadap setiap partisipasi yang disampaikan masyarakat baik secara lisan dan/atau tulisan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H