Mohon tunggu...
rinrin indrianie
rinrin indrianie Mohon Tunggu... Blogger -

Hobi membaca fiksi, dan kemudian belajar menuliskannya. Pernah menerbitkan buku antologi kumpulan cerpen berjudul 'Little Stories' tahun 2013 lalu. Dan berharap dengan 'berlatih' di sini, buku-buku berikutnya akan segera diterbitkan :). Aamiin

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Lelaki dalam Cermin

3 Januari 2011   08:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:00 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Setelah jeda yang begitu lama, lelaki itu menghabiskan isi gelasnya dengan sekali tegukan.

“Apa gunanya?”

Maksudmu?

“Datang ke rumah Ibu tidak akan merubah apapun.”

Tapi beliau memintamu datang.

“Dan aku menolak untuk pergi.”

Kenapa?

“Dimana salahnya?”

Karena kau sudah mengecewakannya.

“Aku tidak ingin membuatnya khawatir.”

Beliau peduli padamu, tidakkah itu penting?

“Ya, dan karena beliau begitu penting buatku, aku tidak ingin menemuinya. Tidak saat aku seperti ini.”

Maksudmu kau tidak ingin dikasihani?

“Aku tidak perlu judgement seperti itu.”

Jadi itu benar?

“Apanya?”

Kau tidak ingin menerima simpati.

Lelaki itu hanya terdiam.

Kau tidak ingin terlihat lemah.

“Seharusnya aku tidak menceritakannya padamu.”

Kau manusia kan? Dan setiap manusia memiliki masalah, tidak terkecuali kau.

“Aku tidak memintamu mengajariku.”

Tapi kau datang padaku.

Lelaki itu menghela nafas, lelah.

“Sebetulnya apa maumu?”

Aku hanya ingin kau berhenti sok kuat seperti itu.

“Aku memang kuat.”

Tidak perlu berbohong dan memaksakan diri. Bukan sebuah dosa menerima bantuan dan simpati sekitarmu.

“Kau sangat cerewet. Seperti ibuku saja !”

Hey, itu karena aku peduli. Aku sayang padamu.

Praaangggg… gelas yang sudah kosong itu kini hancur berkeping. Lelaki itu menghempaskannya ke tembok tepat di sebelahku.

“Aku… Aku harus kuat. Titik !”

Mengakui kalau kau punya masalah tidak akan membuatmu terlihat lemah.

“Tapi aku seharusnya bisa menyelesaikan masalahku sendiri.”

Ya, seharusnya. Tapi kenyataannya kau memerlukan bantuan orang lain.

“Aku tidak ingin membebani orang lain.”

Apakah kau merasa terbebani saat kau menolong orang lain ??

“Konteksnya berbeda. Tidak bisa disamakan.”

Apa yang menjadikannya berbeda ? Hanya bertukar posisi, kali ini kau yang memerlukan bantuan, dan akan ada banyak orang di sekelilingmu yang bersedia menolongmu.

“Aku tidak yakin.”

Bagaimana kau bisa yakin jika  sekedar untuk mencobanya saja kau tidak mau?

“Entahlah…”

Berhentilah bersikap ‘sombong’. Mulailah dengan menemui ibumu. Seorang Ibu selalu dan selamanya mencintai anak-anak mereka.

“Mungkin. Tapi bukan anak seperti aku.”

Memangnya seperti apa dirimu? Hingga kau berpikir ibumu tidak akan bersikap demikian?

“Aku anak yang gagal.”

Lalu ?

“Perusahaanku gulung tikar, istriku selingkuh, anakku dipenjara. Kau pikir ibuku akan merasa bangga padaku ?”

Tapi kau pernah berada di puncak kejayaan. Jika sekarang kau berada di titik terendah hidupmu, kenapa kau berpikir roda itu tidak akan pernah berputar kembali mengantarmu kembali ke atas?

“Kau terlalu banyak bicara !”

Dan kau terlalu banyak tingkah !

“Dengar, semua yang terjadi padaku adalah salahku sendiri. Dan sudah sewajarnya jika aku menghukum diriku sendiri karena itu !”

Kenapa ? Kenapa semuanya menjadi salahmu ?

“Memang begitu faktanya.”

Sahabatmu itu yang keterlaluan, menipumu mentah-mentah hingga perusahaanmu bangkrut.

“Salahku sendiri sudah terlalu mempercayainya.”

Istrimu yang berkhianat meninggalkanmu demi lelaki lain.

“Aku yang kurang menyayanginya sehingga dia mencari perhatian selain dariku.”

Anakmu yang tidak tahu berterima kasih, mengkonsumsi narkoba hingga tertangkap tangan dan dijebloskan ke penjara.

“Karena aku kurang mempedulikannya, tidak mampu mendidiknya dengan baik.”

Ya Tuhaaannn… Kenapa kau selalu menjadikan dirimu sebagai penyebab segalanya?

“Tidak perlu bawa-bawa Tuhan, Beliau tidak punya kepentingan apapun dalam urusanku.”

Hahh???

“Sudahlah, aku tahu apa yang harus aku lakukan.”

Apa? Apa yang harus kau lakukan?

“Menyesali kesalahanku mempercayai sahabat yang salah.”

Tidakkah lebih baik kau memulai bisnismu yang baru dengan semua yang tertinggal padamu?

“Merutuki kebodohanku membiarkan wanita yang kucintai pergi.”

Jika istrimu penting bagimu, kenapa kau tidak menyusulnya, dan memintanya kembali padamu?

“Dan menghukum diriku telah menelantarkan anakku.”

Bukankah hukuman itu tidak akan mengubah apapun yang telah terjadi? Anakmu membutuhkan pertolonganmu saat ini, bukan hukuman yang kau ingin lakukan pada dirimu sendiri seperti itu.

“Ahh… Aku harus pergi.”

Kemana? Kenapa? Apa yang akan lakukan?

“Aku ingin mengakhiri semuanya. Semua masalah dan penderitaanku ini.”

Dengan cara apa? Bagaimana?

“Kau tak perlu tahu. Aku tidak ingin kau tahu. Selamat tinggal.”

Tapi…

Lelaki itu pergi, entah kemana, entah melakukan apa, entah kapan dia akan menemuiku lagi. Lagipula, apa yang bisa aku lakukan? Jika aku hanyalah sebuah cermin…

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun