Perayaan Imlek kiranya cukup relevan untuk mengembalikan kesadaran multikulturalisme bangsa Indonesia. Sebab, sampai detik ini cerita "lama" tentang konflik antargolongan di negeri ini masih saja terus bergejolak dan tampaknya enggan berakhir. Konflik antar suku di Papua, serangan atas gereja betawi beberapa waktu lalu, serta diskriminasi terhadap jamaah Ahmadiyah adalah bukti nyata betapa realitas multikulturalisme masih diwarnai dengan delik kekerasan.
Itulah sebabnya mengapa Imlek patut dirayakan tidak hanya oleh etnis Tionghoa, melainkan juga oleh seluruh elemen di negeri ini. Setidaknya kita bisa mengambil spirit perdamaian yang tersimpan dalam ritual Imlek.
Spirit perdamaian itu dapat kita lihat dalam lima ajaran Konfusius, yakni Jen(kebajikan dari segala kebajikan), Chun-tzu (hubungan ideal antara sesama manusia), Li (kesopanan), Te (kebajikan atau kekuatan untuk memerintah), dan Wen (seni perdamaian).
Nilai-nilai tersebut penting ditumbuhkan dalam setiap diri kita, terutama dalam menyikapi kemajemukan. Konfusius, sebagaimana dikutip Huston Smith (1985:211-212) mengemukakan bahwa, “Hanyalah manusia yang sungguh-sungguh real, yang dapat membangun dasar bagi suatu masyarakat yang beradab.
Hanya jika orang-orang yang menjadi masyarakat dapat diubah menjadi Chun-tzubaru dunia dapat mengarah ke perdamaian”. Ada spirit saling menghormati yang dibangun oleh sang guru Kung (Konfusius). Karena itulah kemudian mengapa Imlek cukup relevan kita rayakan.
Ibarat sebuah rumah, ritual Imlek adalah bangunan besar yang dihuni oleh beragam orang yang berbeda-beda. Semua penghuni memiliki kebebasan dengan saling menghargai satu sama lain. Tom Saptaatmaja (2008) mengungkapkan bahwa ternyata ada satu Imlek yang dirayakan oleh beragam etnis Tionghoa yang memang heterogen. Bagi umat Tao, Kong Hu Cu atau Budha, Imlek marak dengan ritual keagamaan.
Sedang bagi Tionghoa Muslim atau Kristen, Imlek adalah perayaan keluarga. Sedang di Masjid Cheng Ho Surabaya atau Masjid Karim Oei di Jakarta, teman-teman Tionghoa muslim juga dipersilakan berdoa dalam rangka Imlek. Lalu bagi Tionghoa sekuler, merayakan Imlek di mal atau tempat hiburan, juga tidak kalah afdolnya.
Hal itu menjadi cerminan bahwa spirit multikulturalisme sudah menjadi milik mayoritas Tionghoa di manapun. Sebagaimana dipertegas Saptaatmaja, dalam diri etnis Tionghoa sendiri juga tidak homogen, tapi terdiri dari beragam sub etnis dengan marga dan agama yang berbeda-beda.
Multikulturalisme selalu menyatukan jiwa etnis Tionghoa dan paling kentara setiap kali etnis Tionghoa merayakan Imlek. Karena itu dalam kehadirannya di banyak tempat di dunia, etnis Tionghoa selalu siap menerima dan menghargai setiap perbedaan yang ada.
Kita tentu saja mesti belajar banyak dari pengalaman etnis Tionghoa dalam menyikapi keberagaman. Dalam konteks keindonesiaan yang multy etnis dan agama, kita dituntuk untuk lebih dari sekadar merayakan perbedaan dalam suasana tenggang rasa, masyarakat multikultural justru meniscayakan adanya sinergitas berbagai elemen dalam menciptakan tatanan hidup yang adil, damai, toleran, harmonis dan sejahtera.
Mari kita jadikan Imlek kali ini menjadi momentum untuk mengakhiri semua prasangka dan mulai menumbuhkan spirit menghargai perbedaan dalam keberagamaan (Bhinneka Tunggal Ika). Gong Xi Fa Chai!