Mohon tunggu...
Imam S Arizal
Imam S Arizal Mohon Tunggu... -

Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah Sumenep Madura. Saat ini sedang menyelesaikan studi di Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud featured

Imlek, Gus Dur, dan Spirit Multikulturalisme

5 Februari 2011   10:55 Diperbarui: 5 Februari 2019   04:19 2320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
[ARSIP FOTO] KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menggelar jumpa pers di Kantor PB Nahdlatul Ulama, Jakarta, Rabu (19/11/2009). (KOMPAS / TOTOK WIJAYANTO)

Tanggal 3 Februari 2011 kita semua merayakan Hari Raya Imlek 2562. Bagi penganut Tao, Kong Hu Cu atau Budha yang merayakan Imlek dengan ritual keagamaan mereka. Bagi kita yang bukan penganut agama-agama tersebut jelas tetap harus menaruh hormat dan toleransi. Karena biar bagaimanapun mereka adalah saudara kita yang patut kita hormati.

Merayakan Imlek adalah merayakan kebhinnekaan. Perayaan ini menjadi saksi sejarah betapa realitas multikulturalisme sempat dilupakan dalam waktu yang cukup lama. Selama Orde Baru (1965-1998), tahun baru yang .berawal dari adat petani di Tiongkok ini menjadi barang larangan. Semua kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat Tionghoa tidak boleh dilakukan lagi, termasuk Imlek. Larangan itu tertuang dalam Inpres Nomor 14 Tahun 1967.

Tak pelak, keberadaan ritual-budaya etnis Tionghoa selama masa Orde Baru selalu terdiskreditkan dan terisolasi dari masyarakat umum. Berbagai perayaan agama/adat istiadat Tionghoa antara lain Cap Go Meh, Ceng Beng, Sembahyang Rebut, dan lainnya hanya dapat dilakukan dalam lingkup keluarga (tidak di depan umum). 

Oleh pemerintah Orde baru Imlek dianggap sebagai bentuk afenitas kultural masyarakat Tionghoa terhadap ‘negeri leluhurnya’ (Tiongkok) yang asing dan menjadi penghambat atas proses asimiliasi. 

Seperti yang juga menjadi perfektif dari Instruksi Presidium Kabinet No.3/U/IN/1967 tentang Kebidjaksanaan Pokok Penjelesaian Masalah Tjina, masyarakat Tionghoa dipandang sebagai warga negara asing atau keturunan asing yang harus di’asimilasi’kan dengan melepaskan segala atribut ketionghoaanya.

Peran Gus Dur

Adalah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang coba menentang kebijakan Orde Baru tersebut. Lewat Keppres RI No. 6/2000, Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, mencabut inpres yang memarginalkan etnis Tionghoa di segala bidang dan hanya menjadikan etnis Tionghoa sebagai binatang ekonomi. 

Lewat Keppres itulah Gus Dur memberikan kebebasan bagi etnis Tionghoa untuk merayakan Imlek di bumi khatulistiwa ini. Gus Dur telah menebarkan angin segar bagi etnis Tionghoa untuk mengekspresikan spirit religiusitasnya dengan penuh kebebasan dan kedamaian. Maka tak heran bila Gus Dur dianugerahi gelar Bapak Tionghoa.

Sejak itu berbagai ekspresi kebudayaan dan tradisi, tidak saja dalam konteks Tionghoa, dapat diselenggarakan secara merdeka. Perayaan budaya ‘Seren Tahun’ masyarakat Karuhun Sunda di Cigugur, Kuningan, pun akhirnya juga dapat terselenggara setelah berdasawarsa mengalami pelarangan. Keputusan politik Gus Dur tersebut juga membuka ruang dan inisiatif pembaruan berbagai peraturan yang diskriminatif dalam bidang kewarganegaraan, catatan sipil dan anti diskriminasi.

Wahyu Effendy (2010) mengemukakan bahwa sekalipun Imlek merupakan ekspresi tradisi yang dirayakan di seluruh dunia, namun bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia perayaan Tahun Baru Imlek memiliki makna yang khas dalam pasang surut sejarah keberadaan masyarakat Tionghoa. Ini juga sekaligus sarat akan nilai keberagaman yang mencerminkan spirit Kebangsaan Indonesia seperti yang diwariskan oleh para pendiri bangsa, yang diingatkan kembali oleh Gus Dur.

Spirit Multikultusalisme

Perayaan Imlek kiranya cukup relevan untuk mengembalikan kesadaran multikulturalisme bangsa Indonesia. Sebab, sampai detik ini cerita "lama" tentang konflik antargolongan di negeri ini masih saja terus bergejolak dan tampaknya enggan berakhir. Konflik antar suku di Papua, serangan atas gereja betawi beberapa waktu lalu, serta diskriminasi terhadap jamaah Ahmadiyah adalah bukti nyata betapa realitas multikulturalisme masih diwarnai dengan delik kekerasan.

Itulah sebabnya mengapa Imlek patut dirayakan tidak hanya oleh etnis Tionghoa, melainkan juga oleh seluruh elemen di negeri ini. Setidaknya kita bisa mengambil spirit perdamaian yang tersimpan dalam ritual Imlek. 

Spirit perdamaian itu dapat kita lihat dalam lima ajaran Konfusius, yakni Jen(kebajikan dari segala kebajikan), Chun-tzu (hubungan ideal antara sesama manusia), Li (kesopanan), Te (kebajikan atau kekuatan untuk memerintah), dan Wen (seni perdamaian).

Nilai-nilai tersebut penting ditumbuhkan dalam setiap diri kita, terutama dalam menyikapi kemajemukan. Konfusius, sebagaimana dikutip Huston Smith (1985:211-212) mengemukakan bahwa, “Hanyalah manusia yang sungguh-sungguh real, yang dapat membangun dasar bagi suatu masyarakat yang beradab. 

Hanya jika orang-orang yang menjadi masyarakat dapat diubah menjadi Chun-tzubaru dunia dapat mengarah ke perdamaian”. Ada spirit saling menghormati yang dibangun oleh sang guru Kung (Konfusius). Karena itulah kemudian mengapa Imlek cukup relevan kita rayakan.

Ibarat sebuah rumah, ritual Imlek adalah bangunan besar yang dihuni oleh beragam orang yang berbeda-beda. Semua penghuni memiliki kebebasan dengan saling menghargai satu sama lain. Tom Saptaatmaja (2008) mengungkapkan bahwa ternyata ada satu Imlek yang dirayakan oleh beragam etnis Tionghoa yang memang heterogen. Bagi umat Tao, Kong Hu Cu atau Budha, Imlek marak dengan ritual keagamaan. 

Sedang bagi Tionghoa Muslim atau Kristen, Imlek adalah perayaan keluarga. Sedang di Masjid Cheng Ho Surabaya atau Masjid Karim Oei di Jakarta, teman-teman Tionghoa muslim juga dipersilakan berdoa dalam rangka Imlek. Lalu bagi Tionghoa sekuler, merayakan Imlek di mal atau tempat hiburan, juga tidak kalah afdolnya.

Hal itu menjadi cerminan bahwa spirit multikulturalisme sudah menjadi milik mayoritas Tionghoa di manapun. Sebagaimana dipertegas Saptaatmaja, dalam diri etnis Tionghoa sendiri juga tidak homogen, tapi terdiri dari beragam sub etnis dengan marga dan agama yang berbeda-beda. 

Multikulturalisme selalu menyatukan jiwa etnis Tionghoa dan paling kentara setiap kali etnis Tionghoa merayakan Imlek. Karena itu dalam kehadirannya di banyak tempat di dunia, etnis Tionghoa selalu siap menerima dan menghargai setiap perbedaan yang ada.

Kita tentu saja mesti belajar banyak dari pengalaman etnis Tionghoa dalam menyikapi keberagaman. Dalam konteks keindonesiaan yang multy etnis dan agama, kita dituntuk untuk lebih dari sekadar merayakan perbedaan dalam suasana tenggang rasa, masyarakat multikultural justru meniscayakan adanya sinergitas berbagai elemen dalam menciptakan tatanan hidup yang adil, damai, toleran, harmonis dan sejahtera.

Mari kita jadikan Imlek kali ini menjadi momentum untuk mengakhiri semua prasangka dan mulai menumbuhkan spirit menghargai perbedaan dalam keberagamaan (Bhinneka Tunggal Ika). Gong Xi Fa Chai!

Imam S Arizal,
Staf Riset Laboratorium Religi dan Budaya Lokal (Label) Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun