Pernah di satu pagi saya berlari cepat dari sekolah ke rumah hanya untuk bilang bahwa saya masuk juara umum dan harus ada wali murid yang naik menemani di hadapan guru-guru saat masih esde. Rupanya waktu itu tak ada orang di rumah, kecuali beliau. Saat memberitahunya bahwa saya dapat peringkat lima umum beliau tak banyak bereaksi. Mungkin tak percaya saja anak yang kemarin sore baru saja ketahuan main judi di kolong rumah tetangga pagi-paginya sudah jadi juara kelas.
Sikap keras beliau tak ubahnya batu karang. Tidak untuk tidak. Ya berarti ya. Menawar itu hal yang lain. Pernah digelandang gara-gara tuduhan sebagai simpatisan PKI, pernah mengalami kecelakaan motor laut di perairan Ambon yang untungnya selamat, pernah juga diadang perompak di laut Tanjung Pinang saat hendak berlayar ke Malaysia.Â
Rupa-rupa pengalaman hidup yang keras itu tak jua membuatnya lembut. Tangannya kasar tapi penuh kasih. Ia membuka pintu rumah untuk merawat siapa saja yatim atau papa yang datang. Pada siapa saja ia bisa memberikan apa yang ada di tangannya. Suara kerasnya lah yang membuat orang sulit membedakan mana baik dan bukan.
Hingga tibalah di satu waktu. Ia benar-benar melemah. Bukan dihantam penyakit. Ia hanya bisa salat dari pembaringan beberapa hari. Sampai malam itu datang. Malam terakhirnya. Ia seakan tahu waktunya telah tiba, seperti yang kerap ia katakan bahwa pelayarannya sudah mau menemui tepi. Di saat subuh ia mendesak untuk membuka jendela. Ia ingin melihat langit, melihat dunia. Barangkali berpamitan. Kamis, 28 Oktober 2010, kakek La Ode Abdul Latif pulang. Semoga rahmat dan ampunan selalu tercurah untuknya. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H