Mohon tunggu...
Harun Anwar
Harun Anwar Mohon Tunggu... Desainer - Menulis sampai selesai

Lelaki sederhana yang masih ingin tetap tampan sampai seribu tahun lagi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menua Seperti Kakek

2 November 2020   20:12 Diperbarui: 2 November 2020   20:15 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto kakek tahun 2008. Dokumen pribadi

Seiring waktu, berbekal sekolah rakyat yang pernah dikenyam membuatnya ditunjuk jadi kepala desa Madongka di tahun 70 an. Sejenak itu membuatnya menepi dari lautan dan beralih mengelola kebun di samping pekerjaan sebagai kepala desa tadi.

Bagi beliau tak mudah menjadi kepala desa di masa itu. Jika ada urusan yang mengharuskannya pergi ke kecamatan di Gu berarti ia harus bersiap-siap sehari sebelumnya karena perjalanan ditempuh dengan perahu. Begitu seterusnya sampai bertahun-tahun selama menjabat kepala desa.

Di Madongka beliau diberi sepetak tanah untuk berkebun. Di tanah itulah beliau menanam jagung yang jadi makanan pokok saat pangan kita belum begitu akrab dengan beras seperti sekarang. Hasil panen selalu dibagi-bagi dengan keluarga yang lain. Sebagian lagi dicadangkan di atas loteng rumah untuk lain waktu. Semua hasil panen selalu dibagi-bagi. Nangka, jambu, mangga, dan lainnya.

Beliau selalu bilang bahwa berbagi itu penting. Dan paling baik adalah kepada keluarga pertama-tama.

Saat fisik dan usia memaksanya untuk tak lagi gesit ia pun mengalah. Waktunya lebih banyak dihabiskan di rumah. Sesekali ia akan ke kebun terdekat untuk menanam pisang. Sekali waktu pernah saya diajaknya menanam beberapa pohon. Di situ ia beri tahu cara menanam yang benar. Galian tanah dialas beberapa lembar satu jenis daun, lalu mata tunas dihadapkan pada satu arah mata angin, terakhir diniatkan.

"Niat itu penting," katanya.

Selain menanam beliau terbiasa menghabiskan buku-buku bacaan di rumah. Beberapa dibelinya, beberapa lagi diberikan orang. Kebanyakan buku sejarah nasional. Ada juga buku figur dan budaya. Karena tak cukup banyak buku beliau kadang membacanya berulang.

Kebiasaan lain di hari tua yang terus beliau jaga adalah baca Alquran dan terjemahannya. Itu beliau lakukan nyaris tiap hari. Tak ketinggalan buku-buku hadis. Entah kenapa beliau tak mau itu disebut mengaji. Kadangkala beliau juga menulis buri Wolio, aksara arab yang dimodifikasi dan digunakan orang-orang Buton di masa lalu.

Lantunan zikir tak berhenti dari bibir tuanya selama ia duduk di jendela pagi-pagi maupun jelang maghrib. Salat lima waktu di masjid pun selalu berusaha ia tunaikan biarpun berjalan kaki 500 meter bolak-balik ke masjid untuk satu waktu dan menjadi 2,5 kilometer jika ditotal dalam sehari. Itu pun harus berjalan dengan tongkat kayu buatannya sendiri. Bukan karena tak suka salat di masjid dekat rumah tapi baginya langkah yang lebih banyak itu lebih baik.

Semangatnya untuk dekat dengan Sang Pencipta di senja kala usia tak redup sama sekali. Tak jarang ia juga berpuasa sunnah.

Banyak hal yang hilang dari kakek berbarengan dengan usia yang mengikis. Selain fisik yang kian lemah ia juga bisa berhenti merokok. Hanya sikap kerasnya yang tetap beliau pertahankan. Sikap yang membuat orang sekitar mengiranya sombong. Padahal beliau selalu mengajarkan untuk bersikap rendah meski saya justru salah mengamalkannya. Ke mana-mana saya selalu mengaku paling tampan padahal kenyataannya cuma tampan sedikit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun