Hari ini sudah bulan Oktober. Saya bangun dan keluar rumah seperti biasa, tapi kali ini lebih pagi. Sinar dunia dan suara air mengalir di kali depan rumah segera menyadarkan bahwa masih ada orang-orang di pinggiran pulau yang mengungsi di tanah-tanah yang lebih tinggi di hutan sana.Â
Mereka enggan pulang untuk sementara waktu. Bukannya meratapi rumah yang rusak atau harta benda lainnya, mereka hanya tak bisa memastikan situasi akan benar-benar aman jika sudah di rumah nanti.
 Memilih berada di tenda-tenda darurat yang mereka gubah sendiri rasanya lebih baik untuk waktu-waktu ini. Toh menunggu tangan cepat pemerintah sama rasanya dengan menjaring angin, tak guna.Â
Belum lagi bayi-bayi mungil yang tak menahu itu mereka mestinya segera diasupi makanan yang layak, atau ibu-ibu hamil dan orang tua renta yang harusnya berada tak jauh dari tenaga medis.Â
Kalau hanya mengharap pemerintah daerah mereka pasti mati lebih cepat di tengah hutan. Tapi begitulah manusia, punya akal dan insting. Inisiatif sendiri setidaknya masih bisa mereka andalkan.
Gempa ratusan kali yang susul-menyusul jelas membuat ciut nyali mereka, bahkan untuk sekadar turun di kampung dan belum masuk ke rumah. Ya, begitu, pengalaman traumatis melihat dinding rumah yang roboh jelas dengan cepat mengubah senyum di bibir menjadi khawatir. Belum lagi dengan berbagai berita miring yang tak jelas sumbernya dan beredar sporadis di lapangan yang menyebutkan akan terjadi ini dan itu membuat nyali masyarakat kian amblas. Tak ada pilihan lain selain mengungsi.
Dalam berbagai data laporan dampak bencana yang validitasnya sendiri berbeda-beda kita jadi tahu bahwa ratusan rumah telah rusak. Di dalamnya itu termasuk rusak ringan maupun berat.Â
Korban luka yang juga ratusan, korban meninggal yang angkanya puluhan dan bisa bertambah setiap hari menyusul berita banyaknya warga di pengungsian yang diterjang sakit. Itu semua belum lagi dengan korban-korban yang sakit perasaannya setelah gempa besar Kamis pagi lalu, mereka mengalami trauma, dan entah kapan akan baik.
Efek gempa sendiri tak main-main karena dirasakan langsung tiga wilayah berbeda: kota Ambon, kabupaten Maluku Tengah (yang sebagian wilayah admistratifnya masih berada di pulau Ambon) juga kabupaten Seram Bagian Barat.
Beberapa hari setelah gempa pemerintah kota Ambon akhirnya mengeluarkan putusan tanggap darurat selama 14 hari yang terhitung semenjak hari kejadian.Â
Dan dari Jakarta, di kantor Kemenkopolhukam, jalan Medan Merdeka Barat, sang hulubalang, Wiranto, memberi saran kepada para pengungsi gempa di Maluku untuk segera kembali ke rumah masing-masing dan tidak lagi termakan berita hoaks perihal kemungkinan adanya tsunami dan gempa susulan yang lebih dahsyat.Â
Wiranto, di kantornya mengimbau masyarakat untuk lebih tenang dan tak mudah mempercayai berita-berita miring yang bertebaran dengan liar di media sosial maupun dari mulut ke mulut. Baginya, sikap masyarakat yang lebih memilih bertahan di pengungsian itu hanya akan membebankan pemerintah pusat dan daerah.
       Â
Ah, Wiranto. Dia memang benar. Warga yang mengungsi hanya akan membebani pemerintah. Tapi sebenarnya seberapa berat beban pemerintah terhadap warga Maluku yang terkena bencana jika dibanding beban masyarakat gara-gara ulah pemerintah.Â
Akhir-akhir ini Wiranto memang sedang dihadapkan persoalan keamanan dan kemanusiaan yang sedikit banyak pasti telah mengganggu tidurnya. Sama seperti terganggunya tidur mereka-mereka di Maluku beberapa hari ini yang nyaris setiap waktu merasakan gempa.Â
Tapi yang bikin berbeda adalah kenyataan bahwa Wiranto memang punya tanggung jawab terhadap banyak persoalan keamanan di negara ini.Â
Dan untungnya beliau masih bisa tidur di rumahnya sendiri, atau di hotel di daerah tempat ia berkunjung. Ia mungkin tak cukup tahu, bahwa di pengungsian, masyarakat terdampak gempa di Maluku kebanyakan hanya tidur beratapkan langit dengan selimut dua lapis sekaligus; gelap hutan dan lalu lalang angin malam.Â
Di bangun tidurnya Wiranto masih akan minum air bersih dan segar, lalu sarapan yang baik setelah menggosok gigi dan mandi. Tapi di pengungsian, air sisa di gelas plastik kemasan pun tak boleh dibuang karena masih mungkin dipakai untuk minum. Jangan harap mandi tiga kali sehari karena untuk cuci muka dengan sabun seadanya saja itu sudah bersyukur.
     Â
Pak, tuan yang terhormat yang memimpin kementerian. Mengungsi bukan kemauan. Tanpa bapak jenderal perintahkan pun tetap mereka akan pulang. Ah, bapak tahu tidak raga manusia mana yang betah tidur di tengah hutan dengan gelap dan dingin yang menerjang? Bapak tidak akan punya jawaban.Â
Pak, tuan yang terhormat yang memimpin kementerian, orang-orang di pengungsian sana bisa mendengar dengan jelas suara derai hujan menyambar tenda mereka yang telah sobek saking dekatnya mereka dengan ketidaknyamanan. Lantas apa bapak mendengar mereka? Tentu saja tidak.
Ini sudah bulan Oktober, pak. Di bulan ini, perangkat di pemerintahan dan negara akan banyak berubah. Jokowi memang tetap jadi presiden, entah bapak sendiri. Mungkin akan digeser ke pos menteri yang lain, atau diberi tugas baru di luar menjadi menteri, atau justru undur diri dari pemerintahan mengingat usia yang kian sepuh.Â
Tapi, pak, sebagai orang yang pernah mengepalai militer bapak pasti paham betul betapa menyemangati itu adalah kebaikan. Toh, semua bisa dilakukan tanpa mencongkel kas anggaran yang ada.
Di tenda-tenda pengungsian sana, pak, mereka yang sedih tidak mungkin tertawa karena imbauan atau saran. Dari siapa pun itu. Lain lagi kalau bapak beri semangat, mungkin hanya sebagian juga yang tersenyum, tapi mungkin akan tumbuh tunas semangat dan rasa percaya diri yang baru setelah porak poranda.
Salam Pak Wiranto. Selamat pagi, selamat memasuki Oktober. Saya di Ambon, pak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H