Mohon tunggu...
Harun Anwar
Harun Anwar Mohon Tunggu... Desainer - Menulis sampai selesai

Lelaki sederhana yang masih ingin tetap tampan sampai seribu tahun lagi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Boleh Saja Mencintai Dalam Diam, Asal Jangan Mendiamkan Cinta

3 September 2019   05:22 Diperbarui: 28 Juni 2021   19:13 1021
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekadar menyukai dan jatuh cinta itu tentu sesuatu yang jauh berbeda. Arahnya memang satu, tapi sifat dan efeknya pasti berlainan. Perasaan suka adalah sesuatu yang dipicu indra, cinta pun demikian, tapi cinta menjorok lebih jauh sampai ke ranah perasaan. 

Itu yang kadang kala tak orang pahami hingga mudah menyebut diri sedang jatuh cinta, padahal kenyataannya tidaklah begitu. Cinta menuntut lebih banyak hal ketimbang rasa suka. Dan ini juga yang yg tak dilihat dengan jeli orang-orang.

Ini adalah pengalaman pribadi, bahwa betapa cinta itu membutuhkan penanganan yang lebih serius daripada sekadar rasa suka biasa. Cinta boleh-boleh saja disimpan-sembunyikan dalam diam, tapi mendiamkan cinta yang telanjur menyala adalah sudah barang tentu kekeliruan. Cinta itu hidup, ia pun butuh bernapas layaknya manusia. Hanya saja tiap orang selalu punya cara yang berbeda-beda dalam urusan ini.

Cinta itu, bagaimana pun rasanya, tetap harus diungkapkan. Tak peduli dengan cara apa. Dengan diam dan lebih menunjukkan sikap cinta, atau dengan mengatakan langsung kepada yang dicinta, bahkan bisa saja memilih memagari lisan serta tindakan dan hanya diam-diam sembari berharap akan ada keajaiban. Tapi yang terakhir itu sungguh payah namanya. 

Baca juga : Kisah Cinta dalam Diam

Mengharap keajaiban dalam cinta itu aneh. Coba lihat di luar sana, ada yang memilih berakselerasi sedini mungkin kala cinta datang, ada yang lebih berhati-hati dengan tetap sungkan, alih-alih melakukan penetrasi rupanya memilih diam seribu bahasa.

Suatu hari saya pun jatuh cinta. Sebutlah hari itu adalah hari ini, atau hari sekitar hari sekarang ini. Ini benar terjadi. Saya jatuh cinta, pada teman sepekerjaan saya sendiri. Setiap hari sebelum ini saya menganggapnya biasa: teman kerja yang saban hari saya temui dan menjadi rekan dalam banyak pekerjaan. 

Malah rasa jengkel terhadapnya sempat membumbung setinggi-tingginya karena satu dua hal, dan pernah sekali waktu saya membuatnya menangis, tak sengaja tentu saja. Saya tak bisa mengendalikan perasaan orang lain supaya tidak menangis. 

Tapi seiring waktu yang berjalan tanpa henti itu semua rasa jengkel akhirnya menggembos sendirinya. Perlahan-lahan saya akhirnya menjadi orang yang lebih baik lagi dalam berperilaku pada seorang teman itu. Tak ada lagi marah-marah, tak ada lagi jengkel-jengkel.

Sejak itu saya mulai mencurigai gelagat diri saya sendiri. Saya mulai bertanya-tanya perihal perasaan aneh yang menyesaki hati. "Perasaan apa ini?" Saya coba bertanya pada diri sendiri dan mencari jawaban. 

Sungguh saya tak pernah ke dukun, atau ke dokter, juga tak pernah ke ustad untuk memeriksa kondisi saya itu. Saya coba meraba lebih dalam perasaan saya sendiri, dan saya pun sadar: saya jatuh cinta pada teman itu. Benar rupanya cinta bisa datang kapan saja, dan tak tahu akan pada siapa saja.

Anda yang membaca ini barangkali pernah juga jatuh cinta pada teman kerja Anda. Anda pasti bisa menebak sedikit bagaimana perasaan saya. Tapi itu, cara orang selalu berbeda dalam pengambilan tindakan terhadap cinta. Saya pun demikian, tentu berbeda meski dengan pengalaman yang sama. 

Baca juga : Cinta dalam Diam

Saya memilih mengambil jalan panjang dalam kondisi ini. Saya membayangkan akan sulit mengatakan cinta secara langsung padanya. Saya membayangkan situasi kerja yang bisa saja tiba-tiba berubah setelah mengungkapkan perasaan itu. Itulah sebab saya mengulur waktu, sembari juga mengukur waktu kapan saya akan mengungkapkan perasaan cinta itu secara langsung.

Bukan tak berani atau penakut. Saya hanya tak bisa melihat sesuatu yang tiba-tiba berubah dari yang awalnya menyenangkan menjadi kaku. Bahkan untuk sekadar membayangkan semua saja saya sampai berat hati. Perempuan yang sehari-hari saya lihat tersenyum, tertawa lepas, riang gembira, akan mengubah mimik wajahnya ketika saya bilang saya mencintainya.

Berbulan-bulan sudah saya memilih diam daripada harus melafalkan langsung cinta itu sendiri. Saya hanya mengubah sikap lama menjadi cinta, bahasa tubuh serta bahasa penunjang lainnya. Sampai kini saya baru berani mengungkapkan cinta yang berapi-api itu lewat bahasa tubuh semata. 

Saya hanya menopang semua itu dengan perasaan yakin, "ia sudah cukup dewasa untuk bisa mengenali tindakan-tindakan saya. Bahwa itu semua tindakan yang didalangi perasaan cinta. Bukan tindakan yang biasa-biasa," ucap saya dalam hati.      

Saya percaya ia tahu saya mencintainya. Hanya saja saya tak yakin sepenuhnya akan menyatakan cinta ini secepat mungkin. Bermalam-malam waktu saya habiskan untuk mengenali perasaan saya sendiri, saya meyakinkan diri saya bahwa ini memang benar-benar cinta. 

Saya akan menunggu hingga datang waktu terbaik untuk melepaskan semua hasrat itu. Mengatakan cinta tanpa bisik-bisik, tentu saja. Toh ia bilang sudah dekat ia resign dari pekerjaan, dan saya merasa itulah waktu yang tepat, saya tak akan lagi diam.

Di satu malam yang sudah berlalu saya mengajaknya ke toko buku. Ya sekadar jalan-jalan dan memecah ketakutan di dalam diri. Ia langsung menyambut. Awalnya ia bertanya dengan siapa saja kita akan pergi, saya katakan kita berdua saja. 

Wajar jika ia bertanya demikian, selama ini ia hanya pergi-pergi bersama teman perempuannya, saudara, atau kakak lelakinya, tetapi dengan lelaki lain ia pasti sedikit canggung meski itu teman kerjanya. Kami pun pergi, beli buku di toko tujuan, makan malam sekadarnya di selasar jalan. Saya menguatkan perasaan setiap menatap wajahnya, saya berucap dalam diri, "Inshaa Allah."   

Baca juga : Taruhan dan Cinta dalam Diamnya      

Kelak setelah diam-diam ini, saya akan ambil langkah. Ada baiknya saat ia sudah resign dari pekerjaan, saya pun akan resign. Di situ saya akan bilang cinta, dengan cara saya sendiri. 

Sementara ini saya sedang latihan untuk berkata-kata. Saya akan mengatakan cinta, saya tak akan mengajaknya berpacaran. Itu saya rasa terlalu murahan untuk sebuah cinta. Saya mungkin akan mengajaknya menikah, dan tentu saja memintanya untuk menunggu beberapa waktu.

Ya, tak perlu pacaran, saya yakin itu sesuatu cara murahan untuk mengikat sebuah kedekatan. Toh selain sudah berteman ia juga adalah kekasih hati. Sekarang saya hanya perlu mempersiapkan semuanya. Sembari berdoa. Meminta petunjuk Tuhan yang memiliki semua cinta.

"Inshaa Allah, kau akan dapati diri ini sebagai laki-laki yang bagus tanggung jawabnya," ucapan saya dalam hati mengakhiri tulisan ngilu ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun