Mohon tunggu...
Harun Anwar
Harun Anwar Mohon Tunggu... Desainer - Menulis sampai selesai

Lelaki sederhana yang masih ingin tetap tampan sampai seribu tahun lagi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Boleh Saja Mencintai Dalam Diam, Asal Jangan Mendiamkan Cinta

3 September 2019   05:22 Diperbarui: 28 Juni 2021   19:13 1021
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Boleh Saja Mencintai Dalam Diam, Asal Jangan Mendiamkan Cinta (lifestyle.okezone.com)

Anda yang membaca ini barangkali pernah juga jatuh cinta pada teman kerja Anda. Anda pasti bisa menebak sedikit bagaimana perasaan saya. Tapi itu, cara orang selalu berbeda dalam pengambilan tindakan terhadap cinta. Saya pun demikian, tentu berbeda meski dengan pengalaman yang sama. 

Baca juga : Cinta dalam Diam

Saya memilih mengambil jalan panjang dalam kondisi ini. Saya membayangkan akan sulit mengatakan cinta secara langsung padanya. Saya membayangkan situasi kerja yang bisa saja tiba-tiba berubah setelah mengungkapkan perasaan itu. Itulah sebab saya mengulur waktu, sembari juga mengukur waktu kapan saya akan mengungkapkan perasaan cinta itu secara langsung.

Bukan tak berani atau penakut. Saya hanya tak bisa melihat sesuatu yang tiba-tiba berubah dari yang awalnya menyenangkan menjadi kaku. Bahkan untuk sekadar membayangkan semua saja saya sampai berat hati. Perempuan yang sehari-hari saya lihat tersenyum, tertawa lepas, riang gembira, akan mengubah mimik wajahnya ketika saya bilang saya mencintainya.

Berbulan-bulan sudah saya memilih diam daripada harus melafalkan langsung cinta itu sendiri. Saya hanya mengubah sikap lama menjadi cinta, bahasa tubuh serta bahasa penunjang lainnya. Sampai kini saya baru berani mengungkapkan cinta yang berapi-api itu lewat bahasa tubuh semata. 

Saya hanya menopang semua itu dengan perasaan yakin, "ia sudah cukup dewasa untuk bisa mengenali tindakan-tindakan saya. Bahwa itu semua tindakan yang didalangi perasaan cinta. Bukan tindakan yang biasa-biasa," ucap saya dalam hati.      

Saya percaya ia tahu saya mencintainya. Hanya saja saya tak yakin sepenuhnya akan menyatakan cinta ini secepat mungkin. Bermalam-malam waktu saya habiskan untuk mengenali perasaan saya sendiri, saya meyakinkan diri saya bahwa ini memang benar-benar cinta. 

Saya akan menunggu hingga datang waktu terbaik untuk melepaskan semua hasrat itu. Mengatakan cinta tanpa bisik-bisik, tentu saja. Toh ia bilang sudah dekat ia resign dari pekerjaan, dan saya merasa itulah waktu yang tepat, saya tak akan lagi diam.

Di satu malam yang sudah berlalu saya mengajaknya ke toko buku. Ya sekadar jalan-jalan dan memecah ketakutan di dalam diri. Ia langsung menyambut. Awalnya ia bertanya dengan siapa saja kita akan pergi, saya katakan kita berdua saja. 

Wajar jika ia bertanya demikian, selama ini ia hanya pergi-pergi bersama teman perempuannya, saudara, atau kakak lelakinya, tetapi dengan lelaki lain ia pasti sedikit canggung meski itu teman kerjanya. Kami pun pergi, beli buku di toko tujuan, makan malam sekadarnya di selasar jalan. Saya menguatkan perasaan setiap menatap wajahnya, saya berucap dalam diri, "Inshaa Allah."   

Baca juga : Taruhan dan Cinta dalam Diamnya      

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun