Mohon tunggu...
Pekik Aulia Rochman
Pekik Aulia Rochman Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Alhamdulillah, Hopefully I am better than yesterday

Seorang opinimaker pemula yang belajar mencurahkan isi hatinya. Semakin kamu banyak menulis, semakin giat kamu membaca dan semakin lebar jendela dunia yang kau buka. Never stop and keep swing.....^_^

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mengatasi Iri Hati dengan Filsafat

20 April 2021   17:44 Diperbarui: 20 April 2021   19:22 753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


"Duh, kenapa sih Dia selalu dapet rangking. Setiap pertanyaan guru bisa ia jawab dengan mudah pula. Jadi bikin jelous saja".

"Kapan aku seperti Dia, kemana-mana pake mobil, rumahnya tingkat, bajunya bermerk semua. Apalagi uang saku sehari-harinya, cukup tuh buat beli motor".

Sobat kompasianers pasti paham, apa maksud dibalik dari ekspresi kalimat-kalimat di atas. Iya, dua kalimat tersebut menandakan bahwa si empunya kata-kata itu iri terhadap kepandaian atau kekayaan orang lain.

Iri hati adalah adalah salah satu jenis sifat orang. Setiap orang memiliki sifat iri dan pasti pernah merasakannya. Sayang sekali sifat ini lebih memberikan dampak negatif bagi pelakunya. Sehingga sifat tersebut sering disebut sebagai penyakit hati.

Penyakit iri hati ini ternyata sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Iri hati terhadap pencapaian atau kekayaaan orang lain adalah manusiawi. Padahal dulu belum ada TV, bagaimana mereka bisa saling iri. Bisa dibayangkan mereka hanya bisa membandingkan diri dengan para tetangganya. Untuk melakukannya, mereka harus keluar rumah untuk melihat siapa yang tetangganya sudah punya kambing baru sampai suami/istri baru. Setelah jaman sudah ada TV, rasa iri mereka merambah lebih mudah, karena munculnya para artis yang umumnya bergaya hidup mewah di depan layar kaca.

Penyakit tersebut makin diperkuat seiring kemajuan teknologi. Begitu mudahnya kita membandingkan diri dengan siapa saja, kapan saja dan di mana saja melalui media sosial selama 7 kali 24 jam. Tekanan dan hasrat yang begitu besar untuk memamerkan kekayaan dan status sosial (atau 'terlihat' kaya atau sosialita) bahkan sampai 'memalsukan' gaya hidupnya agar terlihat hidup dalam kemewahan.

Dalam agama manapun, kita diajarkan untuk selalu bersyukur dengan apa yang kita miliki. Hal ini merupakan cara untuk mencegah rasa iri hati mendominasi diri. Ternyata, bukan dari sisi agama saja sifat iri ini dibahas. Namun, ilmu filsafat juga turut memberikan cara mengobati penyakit manusia yang alami dan manusiawi ini.

Sifat yang merupakan akar dari ketidakbahagiaan ini oleh para filsuf yang hidup 2000 tahun yang lalu telah ditelaah dan diantisipasi. Di antaranya ada Epictetus, seorang budak juga filsuf stoik dalam Enchiridion, berkata:
"Ini adalah nalar yang keliru, 'Saya lebih kaya, artinya saya lebih baik dari kamu', atau 'Saya lebih pandai berkata-kata, artinya saya lebih baik dari kamu'.
Yang benar seharusnya adalah, 'Saya lebih kaya, artinya saya memiliki lebih banyak aset dari kamu', dan, 'Saya lebih pandai berkata-kata, artinya saya memiliki gaya bahasa yang lebih baik dari kamu' ".

Kekayaan tidak lebih dari banyak tidaknya harta benda, aset atau properti. Itu saja. Persoalannya adalah seseorang tidak bisa memisahkan antara kekayaan seseorang dengan kualitas kepribadiannya. Seakan-akan orang-orang yang kaya itu otomatis kualitasnya sebagai manusia juga lebih baik.

Klarifkasi Epictetus atas kualitas pribadi seseorang tersebut sangat masuk akal. Kecerdasan, kekayaan, kecantikan, keahlian, jabatan atau kekuatan (fisik) tidak secara spontan menjadikan seseorang "lebih baik dari kita". Hal itu bisa menolong kita di kala iri terhadap kekayaan atau pencapaian orang lain. Demikian sebaliknya, Epictetus berpesan, kita jangan sampai memandang rendah seseorang yang kekayaan atau keahliannya di bawah kita. Boleh jadi mereka yang kita anggap rendah itu, justru lebih bahagia dengan harta berapapun yang mereka miliki. Seberapun rendahnya keahlian dan pencapain mereka tak pernah mengeluh karena ada kesyukuran yang mengobati iri hatinya.

"If you live according to what others think, you will never ne rich." - Seneca (Letters)

Sejurus dengan Epictetus, Seneca seorang filsuf juga penasihat Kaisar Nero yang hidup di tahun 65 M menyatakan bahwa jika kita hidup mengikuti apa kata orang lain, maka kita tidak akan pernah kaya.

Quote Seneca di atas bisa ditafsirkan ke dalam dua tafsiran. Pertama, hidup yang selalu menuruti opini orang lain, artinya kita tidak henti-hentinya mengikuti tren. Sesuatu yang sedang populer di antara banyak orang pada suatu periode atau disebut juga sebagai Tren yang jika kita ikuti berarti kita selalu mengikuti pendapat umumnya orang sehingga kita tidak sempat menabung, berinvestasi atau fokus meningkatkan kapasitas diri.

Makna keduanya kita tidak akan pernah merasa kaya jika terus membandingkan dengan orang lain karena akan selalu ada orang lain yang tampak lebih dari kita. Di atas langit masih ada langit. Bagaikan lari di atas Treadmill, sejauh dan sekuat apapun materi dikejar, tetap saja kita akan berada di tempat akibat rasa ketidakpuasan.

Referensi:
Henry Manampiring, Filosofi Teras.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun