Mohon tunggu...
Rohman Aje
Rohman Aje Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Alhamdulillah, Hopefully I am better than yesterday

Seorang opinimaker pemula yang belajar mencurahkan isi hatinya. Semakin kamu banyak menulis, semakin giat kamu membaca dan semakin lebar jendela dunia yang kau buka. Never stop and keep swing.....^_^

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah di Balik Prosedur BAP dan Memori "Fitsa Hats"

8 Januari 2017   15:23 Diperbarui: 9 Januari 2017   08:18 2202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi BAP (Dokpri )

Berikutnya, saya tanya riwayat hidupnya secara singkat. Dari nama, tempat, tanggal & lahir, alamat rumah, pekerjaan dan pendidikan terakhir, semua saya tanyakan. Ketika beliau menjawab pada bagian pendidikan terakhir, Bu Desi menjawab bahwa beliau lulusan Srata II dan sedang melanjutkan S3. Sebelum menuju pada pertanyaan inti, yakni tentang kronologis hilangnya Paspor, saya tertarik dengan riwayat hidup pendidikannya Bu Desi sehingga memancing saya untuk tanya-tanya lebih jauh seputar pendidikannya tersebut.

Di usia yang tergolong senja, sekitar 56 tahun, Bu Desi masih semangat untuk sekolah. Seorang Dosen di bidang kesehatan, Bu Desi mengabdi mengajar sudah cukup lama dan semangatnya untuk menimba ilmu cukup menginspirasi. Saat ini beliau sedang di semester akhir untuk menyusun Disertasinya. Bahkan untuk sekolah S3, Bu Desi memilih bersekolah di luar negeri dengan cara beasiswa.

Kebetulan Akper milik Pemda Cianjur ada hubungan kerja sama dengan pemerintah Filipina dan menyediakan beberapa beasiswa. Bu Desi pun tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Alhamdulillah, sejak tahun 2013 beliau dapat beasiswa tersebut dan mendapatkan kesempatan untuk menimba ilmu di Filipina.

Sistem kuliahnya dilakukan hanya empat kali pertemuan dalam satu semester. Satu kali berangkat menggunakan pesawat dan hidup selama dua minggu di Filipina. Mengenai beasiswa yang beliau peroleh tidak penuh, hanya uang kuliahnya saja. Sedangkan untuk akomodasi dan biaya hidup ditanggung sendiri.

Saya agak sedikit heran kenapa beliau mau mengambil beasiswa tersebut. Dalam pikiran saya, namanya beasiswa itu biasanya penuh. Baik biaya kuliah, akomodasi maupun biaya hidup itu free of charge. Apalagi kuliah di luar negeri, bisa kebayang kan, berapa biaya hidup dan tiket PP yang harus dikeluarkannya setiap kali akan kuliah. Tapi, Bu Desi menjawab dengan enteng dan sumringah, “saya suka sekolah, mas!”. Beliau kuliah didukung penuh suaminya yang seorang pensiunan di kantor yang sama dan juga anak-anaknya. Bikin saya semakin tertarik dengan kisah hidup dan semangatnya.

Kemudian beliau menjelaskan kondisi sosial, ekonomi dan pendidikan di Filipina. Katanya, biaya sekolah di Filipina itu lebih murah ketimbang di Indonesia. Di samping itu, para Profesornya tidak jaim dan sederhana kehidupannya. Sikap mereka terhadap mahasiswanya selalu welcome. Mobilnya pun biasa-biasa saja. Menurutnya, bila dibandingkan dengan mayoritas kehidupan para Profesor dan Dosen di Indonesia berbeda jauh.

Filipina itu tergolong negara miskin. Menurut Bu Desi, kampus yang dia gunakan untuk kuliah saja mejanya masih terbuat dari kayu dan kursinya ada kursi plastik. Bangunan kampus jelek dan Rumah-rumah penduduk kumuh. Pokoknya bila dibandingkan perekonomian di Indonesia kalah jauh. Meski demikian, pendidikan di Filipina terbilang maju pesat. Rata-rata mahasiswa dan mahasiswinya selalu serius dalam belajar. Mereka tidak sibuk sendiri dengan Hp dan urusan lainnya selain belajar. Kesederhanaan mereka juga terlihat, saat berangkat kuliah hanya jalan kaki atau menggunakan transportasi publik. Di samping itu, yang membuat Bu Desi takjub adalah mahasiswa dan mahasiswi di Filipina yang bergelar doktor rata-rata masih berusia muda. Usianya sekitar kepala 3 dan kepala 4.

Ketika saya tanya bagaimana Bu Desi bisa menyimpulkan dunia pendidikan kampus di Filipina bisa di atas Indonesia, sedangkan menurut Ibu mereka tergolong negara miskin. Apakah Ibu hanya menilai di kampusnya Ibu sendiri? Beliau menjawab tidak. Sebab, sebelum dia masu kampus ada program orientasi kampus terlebih dahulu. Orientasinya adalah mendatangi kampus-kampus yang ada di Filipina yang nantinya bisa jadi referensi pilihan kampus yang akan dituju. Begitu caranya Bu Desi menilai dunia pendidikan di Kampus-kampus di Filipina.

Bu Desi kuliah S3 di Filipina untuk melanjutkan penelitiannya tentang reproduksi para remaja. Kebetulan awal tahun 2017 ini sedang persiapan sidang Desertasinya. Ketika saya tanya, bahasa apa yang Ibu gunakan untuk kuliah di Filipina, Inggris atau tagalog? Beliau menjawab bahasa Inggris. Saat itu beliau terkendala Paspornya yang hilang di rumah. Saat dibutuhkan untuk berangkat kuliah, Paspornya hilang. Akhirnya dia datang ke Kantor Imigrasi Sukabumi dan berurusan dengan saya, sebagai Staf Sub Seksi Penindakan Keimigrasian Kantor Imigrasi Kelas II Sukabumi.

Di sela-sela BAP saya masih sempat bertanya kepada beliau;

“Bu, saya lulusan Sarjana Hukum, namun saya merasa belum bisa membuat karya tulisa Ilmiah dengan baik dan benar, bagaimana tipsnya?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun