“Sudah tujuh bulan, Pak,”
“Wah, sudah lama juga yak,”
“Iya. Dulu, jualannya di depan terminal. Tapi, karena jalan di pinggir terminal sedang diperbaiki, jadi pindah di sini baru tiga bulanan, ” katanya sambil menunjuk arah terminal di sebelah kantor imigrasi.
“Lapak es dawet ini milik siapa?” tanyaku penasaran.
“Punya saya sendiri Pak,”
“Ah, masa!” ucapku terkejut. Terpana mengetahui lapak es dawet itu ternyata milik seorang anak muda. Membuat aku makin penasaran. Sederet pertanyaan pun sudah siap keluar dari mulut seseorang yang bergaya bak wartawan. “Lalu, mba ini hanya berjualan es dawet saja?, oh iya nama mba siapa?”, tanyaku kembali.
Agak terbata-bata mba penjual es dawet tersebut menyikapi pertanyaanku. Mungkin karena tidak enak dengan seorang wanita berkerudung yang duduk di sebelahku, istriku. “Saya ini seorang mahasiswi Pak. Nama saya Ajeng,” jawabnya.
Kagum juga melihat seorang Ajeng, mahasiswi berparas cantik, rambut pirang dan berkulit putih yang memiliki jiwa pengusaha. Di mana umumnya perempuan seusia dia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk main di mall, pedikur, menikur, dsb. Tapi tidak untuk Ajeng.
“Wah, hebat juga ya dek (panggilan istriku yang lain) Ajeng ini” ujarku sambil menepuk lembut bahu istriku dan dia hanya manggut. Meski hanya manggut, aku lihat istriku pun antusias mendengar wawancaraku dengan Ajeng.
“Kuliah di mana Jeng?”
“Di STIE, Pak?”